Friday, November 28, 2008

Aku VS Mama

Di kantin sekolah saat istirahat.

“Setiap kali selesai nerima telepon nyokap pasti selalu nanya, ‘Itu siapa? Mau apa dia nelepon kamu?’ begitu… terus. bayangin dong, selama 16 tahun hidup gue tersiksa gara - gara nyokap selalu nanya hal - hal nggak penting tentang gue.” ceritaku, pada Reni, sahabat yang selalu setia nyediain telinganya untuk mendengarkan ceritaku kalau lagi kesal sama mama. Reni tersenyum jengah padaku sambil geleng - geleng kepala.

“Ya wajar dong Yas, dia kan nyokap lo.” jawab Reni. Aku merengut sambil menyeruput minumanku.

“Waktu itu gue pernah berantem sama nyokap. Bener - bener berantem, nggak tau deh lo percaya atau nggak.” ujarku sambil menggigit - gigit sedotan. Reni tersenyum.

“Lo udah pernah cerita sama gue sebelumnya. Yang lo bilang lo duet jerit sama nyokap kan?” tanya Reni. Aku mengangguk.

“Gue pengen kabur dari rumah, Ren.” ujarku yakin. Reni melotot padaku.

“Gila ya lo, lo pikir dong gimana nanti nyokap bingung nyariin lo, jangan konyol deh, Yas.”

“Tapi gue udah nggak tahan, Ren. Pengen berontak!” seruku yakin, Aku selalu bersemangat kalau sedang membicarakan minggat dari rumah. Reni menggeleng - gelengkan kepalanya.

“Lo udah nggak waras ya. Coba lo pikir, lo tidur di jalanan, makan dari tong sampah, pake baju bolong - bolong, masuk angin. Nggak mau kan? Makanya nggak enak minggat dari rumah.” mendengar itu nyaliku seketika menciut.

“Terus gimana?” tanyaku bingung.

“Ya nggak ada pilihan lain. She’s your mother , harusnya lo seneng dong diperhatiin.” jawab Reni. Aku menggaruk - garuk kepalaku yang sebenarnya ku rasa tidak gatal.

* * *

Di rumah sepulang sekolah

“Kok baru pulang? Darimana aja kamu? Ponsel pake dimatiin segala.” pertanyaan yang sama yang selalu saja ditanyakan mama padaku.

“Ngerjain PR bareng Reni, Ma. Di rumahnya.” jawabku, malas.

“Tadi mama telepon ke rumah Reni…” ujar mama. Aku melotot, “Jangan coba - coba bohong ya sama mama.” lanjut mama.

“Ok, mama mau aku jujur?” tanyaku tak sabar. mama mengangguk.

Of Course dong, mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bohong kan.” jawab mama.

“Aku udah gede, Ma. Umurku 16 tahun, hampir 17. Nggak bisa ya, Ma, sedikit… aja buat aku ngerasa nggak dikekang. Aku capek, Ma. Mama selalu aja nanya ‘Dari mana kamu? Kok baru pulang?’ padahal Mama tau seberapa jauh rumah kita sama sekolahku. Mama tau rumah Reni bersebrangan sama sekolahku kenapa Mama harus nanya Reni? Mama juga sebenarnya tau kan, Aku selalu matiin ponselku setiap naik bus, karena emang Mama yang ajarin Aku untuk ngelakuin itu. Mama juga tau kan kalo kita tinggal di Jakarta, di mana - mana selalu macet, Ma. Aku capek, Ma, selalu jadi anak kecil di mata Mama. Mama kira aku nggak bisa jaga diriku? Aku bisa, Ma. Bahkan jauh dari perkiraan Mama.” Aku pergi meninggalkan mama menuju kamarku, airmataku mulai mengalir, mungkin sudah saatnya Aku pergi dari rumah ini, tapi ke mana?

* * *

Di rumah Reni.

Aku memencet bel rumah Reni, malam ini hujan, Aku tidak membawa payung, alhasil tubuhku basah kuyup.

“Tyas?” Reni menatapku heran. Aku menggigil kedinginan.

“Hai, Ren.” sapaku.

“Dalam keadaan kayak gini lo masih bisa bilang hai. Ayo masuk.” suruhnya padaku. Aku mengikutinya.

“Ya ampun, Tyas. Kamu kok bisa kehujanan? Bik, tolong ambilin handuk dan masakin air hangat buat Tyas mandi ya.” suruh Tante Vera, mama Reni.

“Makasih Tante.” ujarku. Tante Vera tersenyum.

“Tante tinggal dulu ya. Ren, temenin Tyas ya.” Tante Vera berlalu dari hadapan kami berdua.

“Lo gila atau apa sih, Yas? Lo bener - bener kabur dari rumah?” Reni menatapku tak percaya saat melihat tasku yang berisi baju - baju dan buku - buku pelajaranku.

“Abis mau gimana lagi, Ren?” tanyaku, pasrah.

“ ‘Abis mau gimana lagi?’ Lo gila ya, anak macem apa sih lo?” Reni menatapku kesal.

“Ren, tolong… hanya untuk beberapa hari ini aja.” ujarku, yakin.

“Trus kalo udah ‘beberapa hari ini aja’ lo mau kemana? Mau jadi gembel?” Reni bertanya padaku, pertanyaannya sungguh pedas. Aku terdiam, “Nyokap protektif sama lo, itu berarti nyokap bener - bener sayang sama lo, kalo lo nggak suka lo tinggal ngomong.” Reni merangkul pundakku yang masih basah. Aku tetap diam.

“Gue nggak tau harus apa, Ren. Gue capek.” ujarku akhirnya. Reni menatapku.

“Kalo capek lo istirahat aja di kamar gue, tapi mandi dulu, gue nggak mau kamar gue basah gara - gara lo.” jawab Reni. Aku menghela napas.

“Maksud gue bukan itu, Ren.” kataku gemas. Reni menatapku, bingung.

“Maksud lo?” Reni setengah berpikir.

“Udahlah. Gue mau mandi dulu ya?” Reni mengangguk dan tersenyum.

“Ya udah sana, udah basah kuyup gitu, ntar masuk angin lagi lo.”

Selesai mandi rasanya segar, sesaat Aku sedikit merasa bersalah, mama nggak tau Aku ada di sini. Aku terdiam dan menghela napas sejenak, memang terlihat sedikit konyol, kabur dari rumah. Tapi Setidaknya mama tahu apa yang sebenarnya Aku inginkan.

“Iya, Bu… Oh kenapa? Tidak apa - apa tenang saja, anggap saja dia sedang menginap di sini, ya… hitung - hitung menemani Reni. Mereka kan sahabat karib. Nggak ngerepotin kok, justru saya seneng. Iya, tadi dia basah kuyup, tapi sekarang dia lagi mandi. Ya sudah ya, Bu… Maaf mengganggu.” Aku mendengar percakapan Tante Vera yang pastinya dengan mama. Aku menghela napas lagi, mungkin ada baiknya kalau Aku pura - pura tidak tahu.

“Tadi Ibu nelepon mamanya Tyas.”

“Kok Ibu nggak bilang - bilang sama Aku sih?”

“Ibu nggak tega sama mamanya Tyas.”

“Aku juga nggak tega, Bu. Tapi harusnya Ibu bilang ke Aku dulu.”

“Ibunya Tyas bener - bener khawatir, Ren. Masa Ibu nggak mau kasih tau dia?”

“Tapi, Bu… Tyas itu lagi…”

“Udah. Yang penting mamanya Tyas tau kalo Tyas ada di sini. Jadi nggak khawatir.”

Aku mendengar percakapan Reni dengan Tante Vera. Aku tertunduk, mungkin Aku salah atau memang benar - benar salah karena telah pergi dari rumah.

Malamnya Aku tidak bisa tidur. Aku berusaha memejamkan mataku tetapi tidak bisa. Aku menatap Punggung Reni, Aku tahu Aku sangat merepotkannya hari ini, meskipun dia berkata tidak.

“Belom tidur?” tanya Reni tiba - tiba, yang jelas saja membuatku terkejut karena seketika saja dia berbalik badan ke arahku.

“Hah? Belom.” jawabku. Reni menatapku dan membenahi posisi tidurnya.

“Ngerasa bersalah?” tanya Reni. Aku terdiam, “Kalo ngerasa bersalah ya pulang dong!” lanjut Reni. Aku menatap Reni dengan seksama.

“Maaf ya, Ren. Gue udah banyak ngerepotin lo hari ini, dan mungkin untuk beberapa hari nantinya.” ujarku. Reni terkejut atas perkataanku, lalu dia menghela napas.

“Sebagai sobat yang baik. Cuma ini yang bisa gue kasih.” ujar Reni. Aku menatapnya dengan penuh rasa terima kasih

“Makasih ya, Ren.” ujarku sambil memeluknya. Reni tersenyum.

“Eh, tau nggak? Hal apa yang terindah dalam hidup ini?” Reni bertanya sembari melepaskan pelukkanku.

“Persahabatan?” jawabku tak yakin. Reni tersenyum.

“Itu yang kedua.” ujarnya. Aku menatap Reni bingung.

“Jadi apa?” Reni menatapku saat pertanyaan itu ku lontarkan dan duduk di atas ranjang.

“Lahir di dunia ini.” jawabnya. Aku ikut duduk di atas ranjang.

“Kok?”

“Kadang atau mungkin sering, kita selalu nanya kenapa kita dilahirin di dunia ini. Tapi Yas, seberapa banyaknya kita nanya pertanyaan itu nggak akan terjawab dengan sempurna.” jawab Reni. Aku kurang mengerti atas jawabannya.

“Gue nggak ngerti.” ujarku. Reni kembali tersenyum.

“Tadinya gue juga nggak ngerti, Yas. Tapi… akhirnya gue ngerti, saat gue berada di samping orang yang gue sayang.” Reni menepuk bahuku kemudian tidur kembali, “Lo nggak ngantuk?” tanya Reni. Aku terdiam.

“Gue masih nggak ngerti, Ren.” jawabku sambil kembali berbaring.

“Tentang?”

“Yang barusan lo omongin.”

“Udah. Udah malem, gue ngantuk, mau tidur.”

Aku menghela napas. Seperti kata - kata Reni yang tak Aku mengerti, entah kenapa pikiranku saat ini dipenuhi pertanyaan tentang mama. Sedang apa mama saat ini? Apakah mama mengkhawatirkanku atau tidak? Kenapa bukan mama yang menelepon ke rumah Reni melainkan Tante Vera yang menelepon ke rumahku? Aku terus bertanya - tanya dalam hati, Aku memejamkan mataku, meskipun terasa sulit entah kenapa aku sangat berharap bertemu dengan mama di alam mimpi.

* * *

Selamat pagi dunia! Aku tersenyum saat ku sadari Aku telah terbangun dari tidurku yang nyenyak.

“Tyas. benahi diri kamu lalu sarapan. Ok?” ujar Tante Vera. Aku menatap punggung Tante Vera yang berjalan menjauh dari hadapanku. Agak aneh ketika Aku menyadari Aku telah berada di rumah orang lain dan ketika ku sadari orang yang mengatakan hal itu setiap paginya, bukan mama.

“Pagi sobatku sayang, cerah banget.” sapa Reni saat Aku duduk di kursi meja makan. Aku tersenyum.

“Reni, ini ayah mau bicara.” ujar Tante Vera. Reni menanggapi dengan senang, diterimanya gagang telepon dari tangan ibunya.

“Ayah Reni kangen!” seru Reni. Aku terus menatap Reni yang sedang bercakap - cakap dengan ayahnya melalui telepon. Aku terdiam.

Ayah Reni berada di luar kota karena tuntutan pekerjaan, sedangkan ayahku, meninggal sebelum Aku dilahirkan. Itulah, kadang Aku merasa iri terhadap Reni, meskipun ayahnya di luar kota setidaknya dia masih bisa merasakan kasih sayang seorang ayah.

“Woy! Bengong aja lo. Ntar ayam tetangga mati lho.” Reni mengagetkanku. Aku tersenyum.

“Lo udah sarapan?” tanyaku. Reni mengangguk.

“Yas, tau nggak? Bokap gue lusa ini pulang!” seru Reni. Aku tersenyum lagi, ikut senang.

“Dapet oleh - oleh dong?” tanyaku, menggoda. Reni tersenyum.

“Nggak tau. Tapi yang terpenting bokap gue pulang.” jawab Reni. Aku terdiam, “Yas… maaf.” lanjut Reni. Aku tersenyum jengah.

I’m Okay. Nggak apa - apa lagi.”

“Yas… setelah gue pikir - pikir. Mungkin… nyokap lo kelewat protektif sama lo, karena… lo satu - satunya harta milik dia.” ujar Reni. Aku terhenyak mendengar kata - kata Reni. Bodohnya Aku!

“Kata ayah apa, Sayang?” tanya Tante Vera yang tiba - tiba hadir di antara kami berdua. Reni tersenyum.

“Ayah lusa mau pulang, Bu.” jawab Reni. Mereka berdua saling berpelukkan, “Baguslah. Kamu kangen sama ayah kan?” tanya Tante Vera lagi. Reni mengangguk dalam pelukkannya. Aku menatap mereka berdua dengan seksama, Aku tersenyum melihat keduanya. Entah mengapa Aku merasa sangat merindukan rumahku terutama isinya yang sangat berharga… mama.

* * *

“Tyas! Cepet bangun! Apa kamu mau terlambat ke sekolah?!” Ku dengar suara mama memanggilku. Aku terbangun dari tidur nyenyakku, ternyata keberadaanku di rumah Reni hanyalah mimpi. Aku bangkit dari tempat tidurku lalu berlari menuruni tangga menghampiri mamaku, lalu memeluknya.

“Mama!” seruku dalam pelukkannya. Mama terlihat kaget atas sikapku.

“Kamu ini apa - apaan sih? Cepat sana mandi, nanti telat lho!” Aku melepaskan pelukkanku. Mama berjalan menyiapkan sarapan.

“Ma…” panggilku. Mama diam saja tetap sibuk menyiapkan makanan, Aku tidak peduli, Aku harus mengatakan ini, “Makasih ya, Ma, udah ngelahirin Aku ke dunia ini, makasih… banget udah ngerawat Aku dari kecil sampe jadi diriku yang sekarang ini. Makasih karena Mama udah buat Aku ngerasain hal yang terindah dalam hidup ini.” mama menatapku usai ku katakan hal itu.

“Kamu ini kenapa? Kemarin marah - marah. Sekarang… tiba - tiba ngomong kayak gitu, kamu nggak sakit kan?” ujar mama sambil meraba dahiku. Aku tersenyum. Mama menatapku, ku lihat setitik air jernih jatuh dari mata mama. Aku menyapunya.

“Mama nangis?” tanyaku. Mama tersenyum dan memelukku.

“Maafin mama ya, karena udah terlalu protektif sama kamu, jadi buat kamu ngerasa terkekang.” ujar mama. Aku tersenyum lepas. Pelukkan mama sangat hangat terasa di tubuhku.

“Harusnya Aku yang minta maaf, Ma. Aku nggak ngerti dan nggak berusaha nyari tau apa yang Mama mau.” jawabku. Mama melepaskan pelukkannya kemudian mencium keningku.

“Kamu adalah harta berharga dalam hidup Mama. Mama cuma nggak mau kamu kenapa - kenapa. Karena kamu, Mama kuat jalanin hidup tanpa papa.” ujar Mama. Aku tersenyum.

“Aku sayang mama.” mama tersenyum mendengar kata -kataku.

“Mama juga sayang sama kamu.” jawab mama. Kami berpelukkan lagi.

Kini Aku mengerti perkataan Reni waktu di mimpiku. Reni benar, hal terindah dalam hidup ini adalah saat kita terlahir di dunia ini, memang tidak akan terjawab dengan sempurna kenapa kita terlahir ke dunia ini, tapi segalanya akan jadi sempurna ketika kita berada di samping orang yang kita sayangi.

Dan buatku… mama adalah lebih dari orang yang Aku sayang. Mama… adalah harta berharga bagiku dan memiliki mama adalah hal terindah dalam hidupku, saat ini dan untuk selamanya. Terima Kasih Mama.



Tamat


Story by Dita Oktamaya

2 comments:

adnan said...

Cerpennya keren, mengalir seperti air. Saya ikut terhanyut ama jalan ceritanya. (Sungai kalee...hehe) Terus nulis ya? saya tunggu cerpen2 berikutnya...:)

Dita Oktamaya said...

mas adnan!!! hihihihi..sekali lagi terima kasih ya mas....^^