Saturday, December 22, 2012

Selamat Hari Wanita Hebat, Mama

Mama, selamat hari ibu, semoga mama selalu dalam keadaan baik-baik saja, semoga mama panjang umur dan selalu sehat, semoga mama bisa selalu mendampingi dede dimana pun dede berada, semoga mama tidak pernah lelah jadi inspirasi untuk dede.

Mama adalah orang yang benar-benar menerapkan perilaku "talk less, do more" kepada dede. Mama yang selalu bilang kepada dede untuk "bekerja tanpa suara dan bekerja tanpa bau". Dede selalu ingat itu Ma, selalu.

Mama, selamat hari ibu, selamat hari wanita hebat. 

Ma, sehat terus ya, sampai 100 tahun lagi, nanti setelah 100 tahun berikutnya, mama terus sehat lagi, kita hidup sama-sama, bahagia. Biar nanti mama bisa menikmati gaji dede, biar nanti tetap bisa mendampingi wisuda S2, S3 dan berbagai macam gelar dan karya yang dede raih. Sehat terus ya, Ma. Dede sayang mama.



by Dita Oktamaya

Friday, December 7, 2012

I Do This For You, Sis

Mungkin belakangan ini orang-orang sering melihat saya tergopoh-gopoh berjalan sambil membawa komputer jinjing dan mondar-mandir keluar-masuk perpustakaan kampus. Melihat saya terbengong tiba-tiba sambil memeluk gitar dan sesekali memainkannya dengan tidak sabar. Melihat saya duduk terdiam seperti tidak memiliki daya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ya, saya belakangan ini seperti itu. 

Teman-teman mengatakan saya seperti anak ayam yang kehilangan induknya, seperti tubuh yang dipasang mesin kemudian dikendalikan oleh remote kontrol yang bergerak, tetapi tidak berekspresi. Saya menolak beberapa pekerjaan sukarela yang saya sukai untuk satu kewajiban saya. Kewajiban terakhir saya di Jogjakarta sebelum akhirnya saya kembali pulang ke Jakarta. Saya menolak, menolak beberapa hal yang menjadikan diri saya terkurung dengan berbagai macam pikiran membuat saya tidak tenang, menolak dengan berbagai macam pikiran bahwa saya tidak akan mendapat kesempatan yang sama untuk kedua kalinya. Ya, saya menolak hal yang saya sukai untuk kewajiban yang harus saya penuhi. Saya tidak menyesal, tetapi menolak sesuatu selalu membuat perasaan saya tidak baik, apalagi hal itu adalah hal yang saya sukai.

Bukan tanpa alasan.

Saya melakukan semua ini demi kamu, demi membuktikan bahwa apa yang kamu harapkan dari saya, bisa saya penuhi dengan baik. Saya melakukan semua ini demi membuat kamu merasa tidak sendirian lagi di kota metropolitan yang menyebalkan karena tahu saya akan kembali pulang ke sana. Saya melakukan semua ini demi kamu, demi memelukmu ketika kelelahan dan rasa ingin menyerah menghadangmu, demi menjadi samsak ketika kemarahan dan rasa gemas menghantuimu, demi menjadi pendengarmu ketika kebosanan dan kegundahan menyelimutimu. Saya melakukan semua ini demi kamu yang menginginkan saya cepat kembali pulang ke Jakarta. Ya, saya akan segera pulang, tidak lama lagi.

Kamu tidak banyak menghubungi saya belakangan ini karena begitu banyak hal yang harus kamu lakukan untuk kelulusan bidang profesimu. Saya pun begitu. Kita sama-sama tidak saling menghubungi. Sampai tiba beberapa hari yang lalu, saya membaca berita tentang seorang wanita yang mengalami kecelakaan di daerah dekat kampusmu. Saya panik, saya tidak bisa tidur karena khawatir, takut bahwa wanita itu adalah kamu. Saya mengirimkan sebuah pesan ke tempat obrolan online tempat kita sering bercerita dari jauh. Namun, itu sudah malam dan kamu tidak membalasnya. Saya berusaha menenangkan diri saya, mencoba menutup mata saya dan berharap pagi nanti kamu membalas pesan saya. 

Paginya kamu membalas pesan saya, saya lega. Kamu bertanya kenapa saya menghubungimu selarut itu, saya hanya berkata iseng karena tidak mungkin saya mengatakan alasan konyol yang membuat tidur saya tidak tenang. Kamu menggoda saya, mengatakan bahwa saya merindukanmu, saya berkelit dengan gengsi untuk tidak mengiyakan itu.

Mungkin iya. Saya rindu kamu.

Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya untuk berbagi berbagai macam hal, ketika saya tahu mama dan papa kesulitan untuk menyeimbangkan pikiran saya yang sering keluar dari jalur yang seharusnya. Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya untuk mejadi semangat saya agar dapat menyelesaikan kewajiban saya dengan baik. Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya ketika saya merasa tidak ada orang yang bisa saya ajak susah atas kekurangan saya. 

Kamu adalah orang tercerewet dan menyebalkan yang pernah saya temui di dunia ini, orang yang selalu banyak mau tahu tentang kehidupan pribadi saya, orang yang selalu banyak menyalahkan saya ketika ada beberapa hal tidak bisa kamu tangani dengan baik sendirian. Kamu adalah orang terjahil yang sering menggoda saya ketika saya sedang ingin banyak marah-marah. Kamu adalah orang yang selalu balik marah dengan lebih besar ketika saya memarahi kamu. Kamu adalah orang dengan segudang ketidaknyamanan yang anehnya selalu membuat saya nyaman berada di samping kamu.

Kamu adalah satu-satunya kakak yang saya punya. 

Saya tahu, kita harus banyak berkorban untuk menyelesaikan berbagai macam hal yang menjadi kewajiban kita, untuk membuktikan bahwa kita layak disebut sebagai manusia yang baik. Kamu selalu berkata saya bisa, kamu bisa, kita bisa. Kamu sering mengatakan bangga terhadap saya, terhadap karya-karya saya, terhadap apapun hal yang saya lakukan dan ya bagi saya, kamu adalah orang yang perkataannya selalu mempengaruhi jalan pikiran saya, kamu adalah acuan saya.

Di sini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir saya dengan baik dan secepat yang saya bisa. Saya lakukan ini karena saya tahu kamu melakukan hal yang sama di sana. Maaf selama tiga tahun ini saya meninggalkanmu untuk menempuh pendidikan tinggi saya di Jogjakata, maaf tiga tahun lalu saya memutuskan semangatmu untuk berkuliah di tempat yang sama dengan saya, maaf jika banyak harapanmu akan saya belum saya penuhi dengan baik. Sekarang saya sedang berusaha keras untuk bisa sesegera mungkin kembali berkumpul bersama-sama lagi. 

I do this for you, Sis.
 
Sekarang tunggulah dengan manis, saya tidak akan pergi kemana-mana, karena seberapa jauh pun saya pergi, saya akan tetap kembali, saya akan pulang. Sesegera yang saya bisa.


by Dita Oktamaya

Tuesday, November 27, 2012

Atau....


-----

I'm not looking for someone to talk to
I've got my friend, I'm more than O.K.
I've got more than a girl could wish for
I live my dreams but it's not all they say

------

Akhirnya saya menemukan lagu yang sejak dulu saya cari. Saya tidak tahu judulnya, hanya tahu penyanyinya dan tahu nada lagunya dengan mengganti liriknya menjadi na na na. Lagu The Corrs yang berjudul All The Love In The World. Awalnya saya tidak terlalu paham dengan lirik lagunya, saya hanya suka dengan melodinya yang membuat tenang ketika mendengarnya, tetapi semakin lama mendengar lagu ini saya semakin  tahu makna lagu ini.

Saya jadi teringat beberapa pertanyaan orang-orang yang dengan sangat baik hati menyempatkan diri untuk membaca blog saya. Banyak yang menanyakan mengapa saya lebih banyak menulis postingan tentang mimpi-mimpi saya, tentang kejenuhan-kejenuhan saya, tentang prespektif-prespektif saya, tentang teman-teman saya, tetapi tidak menulis tentang cinta (seseorang) dalam hidup saya.

Ah, cinta. Saya paling susah ditanyakan soal kata dengan lima huruf ini. Bukan mau menghindar, tetapi saya masih kesulitan untuk bicara masalah hati yang diiyakan oleh pikiran, tetapi tidak sejalan dengan logika. Hati saya cuma satu, tetapi memilki bagian-bagian yang bersekat untuk menempatkan segala hal yang berada di hidup saya dan cinta adalah hal tersulit bagi saya karena saya selalu bingung untuk menempatkannya di hati bagian mana.

Saya terbiasa menjadi 'tong sampah' untuk teman-teman saya, mendengar mereka bercerita tentang pasangan mereka yang begini, pasangan mereka yang begitu, saya suka mendengarnya. Saya tidak mempermasalahkan cerita mereka tentang kehidupan cinta mereka, hingga suatu ketika saya disadarkan oleh kakak saya sendiri.

"Aku susah cerita tentang cinta sama kamu secara mendetail yang benar-benar detail. Karena ketika aku bercerita tentang masalah percintaanku, aku pasti mengharapkan respon, bukan responmu jelek, Dek. Bukan. Hanya saja ketika aku membutuhkan sudut pandang lain tentang cinta, aku butuh orang yang benar-benar pernah merasakan itu. Kalau aku cerita sama kamu ketika aku emosi karena cinta dan menanyakan responmu, aku takut malah jadi kita yang berantem karena menurutku bagaimana kamu bisa kasih respon seperti apa yang aku inginkan, pacar aja belum ada."

Ya, saya memang belum punya seseorang untuk saya cintai. Saya mengerti perkataan kakak saya. Ketika teman-teman saya bercerita tentang pasangannya, saya tahu mereka hanya ingin mengungkapkan apa yang berada di benak dan hati mereka, bukan meminta respon dari saya, tetapi membutuhkan teman untuk sekedar menjadi pendengar karena mereka sedang dibahagiakan atau bahkan dijenuhkan dengan pasangan mereka. 

Saya jadi ingat perkataan salah satu teman saya yang dahulu punya masalah dengan pasangannya, dia menceritakan masalahnya kepada saya ketika masalah itu sudah selesai. Ya, saya tidak pernah keberatan karena saya tahu yang dia butuhkan adalah pendengar untuk mendengarkan seberapa jauh dia bisa bertahan ketika keterpurukan menghampiri hubungannya dengan pasangannya.

Saya tidak pernah keberatan mendengar cerita macam apapun dari siapapun di sekitar saya. Banyak yang mengkhawatirkan saya tidak bisa merespon dengan baik tentang beberapa hal, terutama masalah cinta, ya saya memang tidak punya bayangan tentang hal itu. Saya mungkin juga tidak dapat dipercaya karena respon yang saya keluarkan pasti bukanlah pelajaran dari pengalaman cinta yang saya dapatkan, tetapi jika mereka ingin mendengarkan pandangan saya tentang cinta atau apapun itu, saya rasa saya sanggup untuk mengusahakannya.

Dulu, saya punya hubungan dengan seseorang. Orang yang baik, tetapi mungkin sayanya saja yang belum mengerti apa itu menjaga perasaan seseorang dan menjaga hubungan yang telah dibentuk, jadi kami berpisah. Saya meminta maaf kepadanya yang pernah saya sakiti dan beberapa orang yang hatinya masih enggan untuk saya masuki. 

-----

Love's for a lifetime not for a moment
So how could I throw it away
Yeah I'm only human

-----

Pada saat itu saya sedang berusaha meyakinkan diri saya untuk tidak menyakiti perasaan orang lain lagi,  saya tahu saya adalah orang yang egois dan pasti akan banyak membuat kalian lelah, jadi ketika saya berkata 'tidak' bukan berarti untuk selamanya saya tidak ingin masuk ke dalam salah satu sekat yang berada di hati kalian. Saya hanya sedang ingin berusaha menata hati saya, mempelajari diri saya, mengontrol emosi saya, sehingga jika pun saya harus menyakit perasaan kalian suatu saat nanti, saya tahu dimana saya harus memperbaikinya dan bisa mempertahankan hubungan yang telah dibentuk.

Saya bukan takut memulai, saya hanya butuh waktu untuk tidak terus menerus menjadi anak kecil yang egois. Saya tahu saya bukan orang baik, saya masih sulit untuk mencari tahu apa itu cinta, masih sulit untuk berbagi hal yang saya punya, masih sulit berkata rindu lebih dulu, masih terpaku dengan 'keakuan' bukan 'kekitaan' seperti seharusnya hubungan berjalan. Saya hanya sedang butuh waktu untuk memangkas beberapa hal buruk yang saya miliki, sehingga meskipun kalian tersakiti oleh hubungan yang terjalin dengan saya nanti, setidaknya sakit kalian tidak terlalu dalam.


-----

(Still...) Still I believe
(I'm missing) I'm missing something real
I need someone who really sees me...

-----


Atau...

Mungkin sekarang bukan tentang saya yang membutuhkan waktu untuk memangkas hal buruk yang berada di dalam diri saya, tetapi tentang hati saya yang belum terketuk untuk dibuka.



by Dita Oktamaya

Saturday, November 24, 2012

Saya Yakin Kamu Bisa Lebih Dari Itu

Hal yang paling sulit saya hadapi adalah ketika seseorang yang saya kenal dengan sangat baik, ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh orang yang paling ia sayangi. Ketika dihadapi dengan situasi seperti ini rasanya saya menjadi orang yang paling tidak berdaya sedunia.

Saya percaya dan sangat yakin bahwa ia sanggup menghadapi kondisi seburuk apapun seperti sekarang ini, tetapi justru saya lah yang kewalahan karena tidak tahu harus berkata apa untuk membuatnya nyaman dengan kenyataan yang sama sekali tidak nyaman untuk dirasakan.

Adik yang manis, dahulu, saya pernah berada di posisimu ketika kakek dan nenek yang saya sayangi meninggal dunia, tetapi saya pikir pasti rasanya sangat berbeda jauh dengan kondisimu sekarang ini. Sudah sangat jelas karena yang meninggalkanmu sekarang adalah salah satu dari orangtuamu yang darahnya mengalir langsung di dalam tubuhmu. Maka saya simpulkan bahwa saya tidak tahu harus berkata apa untuk sekedar menenangkanmu.

Ya, saya payah, Adik yang manis. Mungkin nama saya adalah nama yang ke seratus sekian yang muncul di kepalamu ketika kamu membutuhkan teman yang bahunya ingin kamu pinjam untuk bersandar. Namun, meskipun saya orang ke seratus, ketahuilah bahwa saya tidak akan pernah lelah untuk mengantri di belakang sembilan puluh sembilan temanmu yang lain untuk membuatmu kembali tersenyum.

Saya sangat percaya bahwa kamu adalah orang yang tegar, jadi teruslah bersemangat seperti sebagaimana dirimu biasanya. Segalanya tidak lagi sama, saya tahu dan itu berarti ketegaranmu tidak lagi sama seperti sebelumnya. Ya, saya yakin kamu bisa lebih dari itu.


by Dita Oktamaya

Friday, November 23, 2012

Berkah Dari Langit



Dulu saya punya sebuah mimpi. Mimpi melihat orang-orang tersenyum senang atas apa yang saya lakukan. Saya suka membuat orang-orang senang, siapapun itu, kenal tidak kenal, dekat tidak dekat, tahu nama tidak tahu nama, kenal muka tidak kenal muka, semua orang. Saya senang melihat semua orang merasa senang dan nyaman atas apa yang saya lakukan. 

Kemudian mimpi itu seolah disukai juga oleh langit, langit mengirim Anda untuk saya. Langit mempertemukan kita seolah tahu kita punya kesukaan yang hampir seratus persen sama. Bagi saya, anda adalah salah satu dari beribu berkah yang langit titipkan kepada saya. Anda yang membuat salah satu dari beribu mimpi saya membuat orang-orang senang melihat apa yang saya lakukan menjadi nyata.

Ya, pada akhirnya saya dan Anda memutuskan untuk berkarya bersama, membuat orang-orang tersenyum senang dengan lantunan nada. Anda adalah salah satu dari beribu berkah yang langit titipkan kepada saya dan saya selalu berterima kasih kepada langit untuk itu.

Kalau diperbolehkan, saya mau terus berkarya bersama Anda. Sampai habis suara karena baya, hingga habis waktu karena tiada.


by Dita Oktamaya

Wednesday, November 7, 2012

Saya Tidak Mau Berjalan Sendirian

"I used to think the worst thing in life was end up all alone. It's not. The worst thing in life is ending up with people who make you feel all alone." -World's Greatest Dad


Itu sebuah monolog dalam film. 

Saya jadi memutar otak saya. Menapak tilas. Bayang-bayang masa lalu jadi (kembali) muncul. Ketika (entah mengapa) saya pernah merasa sangat sendirian di antara banyak orang yang mengelilingi saya.

Saya cinta damai. Sebaik apapun (nanti) saya, secemerlang apapun (nanti) saya, seberhasil apapun (nanti) saya,  saya tidak mau berjalan sendirian.

Saya suka sunyi, suka sepi, suka menyendiri dan berpikir. Tapi saya tidak suka menjadi sendirian. Mungkin orang berpikir bahwa manusia membutuhkan "me time" untuk menghabiskan waktu buat dirinya sendiri. Ya, saya juga butuh itu, tetapi saya tidak mau menjadi sendirian. Sendirian membuat saya tidak menemukan apa yang saya cari dalam hidup saya. Sendirian membuat saya payah karena tidak bisa membuat orang lain tertawa dan bahagia. Sendirian membuat saya merasa tidak berguna. Bukan sendirian yang kemana-mana melakukan kegiatan sendiri. Bukan, melainkan sendirian yang merasa sendiri. Sendirian yang benar-benar sendirian.


by Dita Oktamaya

Tahu Apa Kamu

Aku yang duduk di belakangmu,
menatap bahumu penuh harap agak ragu

Tahu apa kamu tentang hatiku?
Berkata yakin aku sanggup menjalani semua tanpamu

Tahu apa kamu tentang pikirku?
Berkata bisa aku sanggup melalui semua tanpa tawamu

Kamu tidak tahu aku,
begitu pun mereka

Mengumpulkan serpihan kenangan pembentuk angan,
kata siapa akan berakhir?
Karena terbiasa yang akan berubah,
terkurung rindu yang terus lupa

Tahu apa kamu tentang diriku?
Kamu tidak tahu,
tidak pernah ingin tahu,
tidak akan mencari tahu

Karena itu jangan katakan apa-apa padaku,
jangan sok tahu.
Karena kamu tidak tahu.


Puisi by Dita Oktamaya

Tuesday, October 16, 2012

Semoga

Hari ini saya sudah mendapatkan kelanjutan kabar mengenai skripsi saya yang mulai semester ini harus (mau tidak mau, suka tidak suka) saya kerjakan dan selesaikan. Akhirnya, hari ini saya mengetahui siapa dosen pembimbing skripsi saya. Bapak yang sangat baik dan sangat sangat berkharisma. Beliau bersedia membantu saya mencapai target untuk lulus sesuai pada waktu yang saya inginkan.

Semoga apa yang saya jalani dengan dosen pembimbing skripsi saya ini diberi kelancaran dan keberkahan oleh Allah.

Semoga segalanya selalu baik-baik saja sesuai dengan rencana yang seharusnya.

Semoga saya tidak tiba-tiba menjadi orang tanpa tulang yang tidak bisa bangkit dari kasur (malas).

Semoga kalian semua diberi kesehatan dan kebaikan sehingga senantiasa dapat mendoakan saya yang berjuang untuk tugas akhir saya di sini.

Semoga orang tua saya selalu diberi sehat dan rezeki yang cukup oleh Allah, sehingga mereka tidak kekurangan satu apapun ketika masih menyekolahkan saya di sini.

Semoga kakak saya dimudahkan jalannya untuk menjadi apoteker terbaik di Indonesia dan mendapat pekerjaan yang sangat layak atas perjuangan kerasnya selama ini.

Semoga sahabat saya, Damar Rakhmayastri, dimudahkan presentasi seminarnya tanggal 17 Oktober 2012 nanti dan dilancarkan skripsinya, penelitiannya, penyelenggaraan pamerannya, dan segala bentuk macam hal yang dia lakukan, sehingga saya jarang bisa sering-sering menghabiskan waktu tertawa, bergosip, melakukan hal konyol karena imajinasi berlebih, diskusi, dan lain sebagainya (kecuali hari ini, saya senang karena hari ini saya seharian banyak tertawa dengan anak konyol ini).

Semoga jodoh (yang paling baik) saya datang di waktu yang tepat, sehingga saya dapat berani membuat komitmen bahwa dia adalah orang yang tepat untuk teman hidup saya.

Semoga semua teman-teman saya yang sedang menyusun skripsi maupun tidak sedang menyusun skripsi senantiasa diberi kebahagiaan, sehingga stress tidak menjangkiti mereka.

Semoga orang baik tetap menjadi orang baik.

Semoga orang yang tadinya jahat, menjadi orang yang baik.

Semoga kehidupan selalu seimbang.

Semoga dunia damai.

Semoga bumi terus berputar.

Semoga Allah selalu bersama saya.

Amin.


by Dita Oktamaya

Monday, October 15, 2012

Selamat Ulang Tahun!

Selamat ulang tahun! 

Iya, hari ini ulang tahun saya. Iya, saya tambah tua. Iya, saya seharusnya berpenampilan sesuai dengan usia saya. Iya, saya masih kaget ternyata saya sudah berumur sedemikian adanya. Iya, tanggung jawab semakin banyak di depan mata. Iya, saya takut menyadari hal itu. Iya, saya belum siap jadi orang yang dianggap 'dewasa' karena usia yang semakin bertambah. Iya, saya banyak mengiyakan tetapi sesungguhnya itu beban untuk saya. 

Hari ini saya dibangunkan oleh telepon dari mama saya yang berada di Jakarta. Mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya dengan nada yang ceria, sedangkan saya dengan malas-malasan menerima telepon dari mama karena pada jam sedemikian paginya, saya masih tertidur. 

Setelah mama menelepon, beberapa menit kemudian papa juga menelepon. Sama seperti mama, papa menelepon mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi papa dengan nada sedih kemudian terdengar sedikit terisak. Saya bingung hal apa yang membuat papa sedemikian sedih hingga menangis saat mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Saya hanya mampu menenangkan sekedarnya karena pikiran saya masih kacau antara bingung dan mengantuk, memang bukan anak yang baik. 

Kemudian kakak saya menelepon saya, dengan nada suara yang ceria tanpa beban, seperti biasa. Mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya, mengatakan ini-itu. Untungnya saya sudah benar-benar terjaga dari tidur saya, jadi saya dapat merespon kakak saya dengan baik dan benar.

Selanjutnya teman-teman yang datang menghampiri saya yang berantakan (meskipun sudah mandi), memberikan kue ulang tahun, menyanyikan lagu ulang tahun, berbincang bersama, tertawa bersama, dan menentukan hari kapan makan bersama padahal yang berulang tahun adalah saya.

Berikutnya teman kesayangan saya yang sampai detik ini saya juga heran mengapa dia bisa menjadi teman kesayangan saya, Damar, seorang perempuan bernama laki-laki. Dia mengirimkan pesan singkat, menanyakan keberadaan saya dan meminta saya untuk mengambil hadiah ulang tahun darinya. Sungguh, saya bingung mengapa Damar bisa menjadi teman kesayangan saya, padahal dia dengan sebegitu cueknya malah meminta saya menghampirinya untuk mengambil hadiah ulang tahun, bukan dia yang datang menghampiri saya dan mengucapkan selamat ulang tahun dengan baik dan benar, persahabatan yang unik. Memang pada akhirnya dia singgah ke kos saya, seperti biasa, mengacaukan kamar saya yang sudah kacau. (Hampir) makan kue ulang tahun di atas kasur saya, mencoret-coret time table saya, mempermainkan ukulele saya, dan membuat video untuk saya (yang ini tidak bisa dipublikasi karena merupakan konsumsi pribadi :D)

Lalu teman lelaki saya, manajer WEBG (saya pernah menulis tentang WEBG di postingan sebelum-sebelumnya) dia datang, kemudian hujan turun. Kami terjebak hujan. Dia memberikan hadiah ulang tahun kepada saya, kemudian kami menghabiskan bensin motor dengan cuma-cuma karena berkeliling kota Jogja tanpa arah dan tujuan.

Yang terakhir, teman saya, Alin. Dia menelepon saya, menyanyikan lagu ulang tahun dengan sangat baik. Dia bernyanyi, lewat telepon, karena sekarang dia berkuliah di Solo.

Ada banyak hal yang ingin saya katakan kepada mereka, terima kasih yang banyak banyak banyak banyak tak terhingga sampai saya bingung bingung bingung bingung bagaimana mengungkapkannya. 

Untuk mama dan papa : Terima kasih untuk dukungan dan doa yang selalu diberikan kepada saya dan selalu menyerahkan pilihan kepada saya dengan alasan yang penting saya suka menjalankannya, sampai akhirnya saya selalu ikhlas menjalani apapun karena saya menyukainya. Terima kasih karena kalian tidak pernah menuntut saya untuk jadi ini atau jadi itu. Saya akan berusaha untuk selalu membuat kalian bangga dengan apa yang saya lakukan. Dengan karya-karya saya, dengan cita-cita saya. Tolong jangan pernah berhenti mendoakan saya karena doa kalian selalu jadi semangat yang tidak pernah buat saya merasa sendirian di tempat jauh ini.

Untuk Kakak (Kak Tami) : Terima kasih untuk dukungan dan doa yang tidak pernah habis untuk saya. Terima kasih karena ketika banyak orang tidak percaya dengan kemampuan saya, kamu masih percaya. Terima kasih sudah menjadi teladan yang paling baik untuk adik macam saya. Saya tahu, menjadi anak pertama adalah hal yang tersulit dan membebankan karena harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya, tapi sesulit apapun itu kamu selalu berhasil jadi contoh yang baik untuk saya. dan selalu bisa jadi penyemangat terbaik saya. Terima kasih untuk doa-doa baik yang kamu kasih untuk saya, karena doa-doa itu lah saya mampu bertahan sendirian di 512 km jauhnya dari rumah.

Untuk teman-teman (Tiara, Jessica, Febi, Fitri, Ayi) : Terima kasih sudah jadi teman yang suka tertawa, hal itu yang selalu berhasil menghibur saya ketika saya berada di sekitar kalian. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan kejutan untuk saya, kalian teman yang baik.

Untuk Damar : Kamu adalah satu-satunya teman yang selalu ingin saya ceritakan apapun itu. Maafkan saya jika saya selalu banyak merepotkanmu dengan segala bentuk permintaan ini-itu. Terima kasih karena kamu selalu bersedia menyediakan rumah untuk saya berteduh ketika saya merasa haus akan keberadaan saya di rumah saya yang sesungguhnya. Terima kasih telah memperkenalkan saya dengan hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah saya kira saya menyukainya. Terima kasih karena kamu telah menjadi teman yang menyenangkan. Saya tahu saya bukan teman yang baik, yang selalu ditunggu kedatangannya, yang selalu diharapkan keberadaannya, tetapi saya suka sekali karena seperti apapun saya, kamu masih bersedia menjadi teman saya, sahabat saya, soul sister saya, partner bermusik dan segala bentuk kesenian saya, teman diskusi saya, teman tertawa saya, teman menangis saya, teman menggila saya, teman melakukan hal konyol dengan imajinasi yang berlebih. Terima kasih, Dam, kamu telah berusaha memahami saya dan menutupi segala kekurangan saya sebagai temanmu. Maafkan saya jika banyak hal yang saya lakukan menyakitimu dan membuat dirimu merasa tidak baik, maafkan saya teramat sangat. Jika kamu masih mempertanyakan mengapa saya menjadikanmu teman kesayangan saya, sampai saat ini pun saya tidak tahu pasti kenapa saya begitu menyayangimu, yang saya tahu sangat jelas adalah saya senang berteman denganmu karena kamu membuat saya membuat sesuatu.

Untuk Herry : Terima kasih sudah menjadi teman (dan manajer) yang baik dengan tingkat baik berlebihan sampai kamu rela meluangkan waktu untuk menemani saya ini-itu. Maaf jika saya banyak merepotkanmu, semoga kamu selalu diberi keberkahan karena telah menjadi orang baik.

Untuk Alin : Terima kasih nyanyian selamat ulang tahunnya. Kamu selalu bisa mengingatkan saya bahwa jarak bukanlah halangan seseorang untuk terus berteman, menjalin tali silaturahmi. Terima kasih kamu telah mengajari saya banyak hal tentang pandangan-pandanganmu tentang masa depan. Terima kasih kamu selalu berusaha meluangkan waktu untuk menemui saya ketika kamu mampu. Kamu teman yang baik.

Dan untuk teman-teman lain yang memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada saya, terima kasih banyak  karena kalian telah bersedia meluangkan waktu untuk itu. Semoga hari kalian selalu menyenangkan, semoga keberkahan hadir di antara kalian. Semoga di usia saya yang bertambah ini, saya masih bisa terus berada di hati kalian. Semoga kita selalu diberi kesehatan dan kemudahan dalam menjalani berbagai macam hal dalam hidup kita. Semoga Allah selalu memberkahi setiap langkah kita. Semoga.


by Dita Oktamaya

Monday, October 1, 2012

Cerpen itu...

Hari ini saya (sengaja) mengunjungi pusat studi korea demi keberlangsungan hidup skripsi saya. Ah, berlebihan memang. Mana ada skripsi hidup? Di sana saya bertemu dengan beberapa teman kuliah saya yang (pada dasarnya, selalu) tingkat kerajinan dan kepintarannya dalam menerima ilmu (jauh) di atas saya. 

Kami saling membantu mencari buku yang kami butuhkan. Melihat wajah-wajah tegang seperti mereka saya jadi ingin membuat suasana terasa menyenangkan, sehingga sesekali saya melontarkan lelucon kepada mereka. Untung saja mereka tertawa. Hal yang harus diketahui bahwa membuat orang yang tingkat kepintarannya (jauh) di atas kita tertawa adalah hal yang (terlalu) sulit untuk dilakukan. Karena lelucon kita akan (terasa) seperti lelucon tidak cerdas, tak bermakna. Banyak tidak nyambungnya.

Namun, mereka tertawa dan (sangat) cukup menyenangkan berbincang dengan mereka. Hal yang tidak dapat dilupakan hari ini adalah ketika salah seorang dari mereka tiba-tiba (curhat colongan) mengatakan bahwa dia hampir tidak berdaya menerjemahkan cerpen berbahasa korea yang menjadi bahan skripsinya.

Dia : "Kalau dalam kamus bahasa Indonesia, definisi cerpen kan cerita yang selesai dibaca dengan sekali duduk ya, Dit?"
Saya : "He eh. Trus?"
Dia : "Meskipun aku udah duduk berkali-kali nih ya, tetap aja cerpen berbahasa Korea ini enggak selesai-selesai juga aku baca."

Entah perasaan saya saja atau kalian juga merasakan hal yang sama. Saya agak tergelitik (karena lucu) dengan pernyataan cerdas teman saya itu. 


by Dita Oktamaya

Sunday, September 30, 2012

Substistusti (?)

Hari ini saya menghabiskan waktu dengan seorang teman yang saya kenal dari teman lain. Seorang teman perempuan, teman perempuan yang enerjik yang tingkat ketidakpeduliannya lebih parah dari saya. Cueknya di atas rata-rata orang biasa, tetapi tetap semenyenangkan orang yang paling menyenangkan di dunia. Namanya Mutia atau saya lebih sering memanggilnya Mumut.

Dia adalah seorang gadis yang selalu kesulitan melafalkan huruf R. Mendengarnya bercerita dengan aksen sundanya yang khas dan ketidaksanggupannya melafalkan huruf R adalah sesuatu yang selalu menarik perhatian saya. Unik. Dan itulah saya, saya selalu menyukai aksen setiap teman saya yang berasal dari daerah mana pun. Saya suka cara mereka bercerita yang selalu terdengar unik di telinga saya. Bukankah semua orang memiliki keunikan masing-masing?

Satu hal juga yang tidak bisa saya lupakan dari Mumut adalah ketidaksanggupannya melafalkan kata subtitusi. Ya, baginya kata itu terlalu sulit dilafalkan, hingga ia pun melafalkannya menjadi substistusti. Saya tergelitik mendengarnya yang kewalahan melafalkan kata itu, hingga hasrat saya untuk menggodanya pun semakin tinggi. Namun, melihat tatapannya yang seolah berkata 'Aku beneran enggak bisa melafalkan itu' membuat saya akhirnya memutuskan untuk mengajarinya.

Saya : "Yoo, Mut. Subtitusi. Coba bilang."
Mumut : "Substistusti."
Saya : "Subtitusi, Mut. Bukan substistusti."
Mumut : "Enggak bisa, Dit. Enggak bisa."
Saya : "Coba ya, Sub..."
Mumut : "Sub..."
Saya : "Ti..."
Mumut : "Ti..."
Saya : "Tu..."
Mumut : "Tu..."
Saya : "Si..."
Mumut : "Si..."
Saya : "Subtitusi."
Mumut : "Substistusti."
Saya : "Arrgggghhhh!"

Dan akhirnya saya pun menyerah. Dia memang benar-benar tidak bisa melafalkan kata itu -..-


by Dita Oktamaya

Tuesday, September 25, 2012

Sangat Baik

Hari ini mama saya menelepon saya. Bertanya apa saya berada dalam keadaan baik-baik saja karena beliau tahu keadaan saya di Jogja sudah menjadi manusia setengah pengangguran karena sibuk berkutat dengan skripsi, tetapi tidak melakukan hal lain yang membuat seluruh badan saya bergerak.

Saya menceritakan kepada mama saya, mengenai salah seorang dosen yang pada hari ini mengajak saya bertemu dengan seorang sutradara film. Dunia yang sejak dulu saya minati, tetapi sulit untuk saya raih karena keseganan saya dalam memulai.

Saya suka dunia perfilman, suka menjadi bagian dari mereka (jika saya bisa). Saya suka berada di belakang layar, sibuk berjalan ke sana ke mari, menjadi crew yang bertanggung jawab ini itu. Saya suka pekerjaan yang membuat seluruh badan saya bergerak. 

Saya pernah mendengar cerita salah seorang teman SMP saya yang terjun langsung menjadi asisten sutradara. Dulu sekali, ketika kami sama-sama berada di bangku kelas 2 SMP (atau sekarang kelas 8). Hal itu yang menarik minat saya, berada di belakang layar, bergerak, sibuk, dan hal-hal lainnya yang membuat saya jadi manusia berguna. Penghasil karya. Penghibur orang lain. Bertemu banyak orang baru. Saya berterima kasih dengan dosen saya karena beliau mengajak dan memperkenalkan dunia baru kepada saya. Saya menjadi menemukan dunia yang sejak dulu saya cari. Semua jadi (agak) lebih terlihat jelas, apa yang ingin saya lakukan kelak, setelah saya menyelesaikan skripsi saya. 

Saya menceritakan rencana-rencana saya, bagaimana selanjutnya hal yang saya inginkan ketika saya sudah lulus strata 1 nanti kepada mama saya. Mama terasa mendengarkan dengan baik kata demi kata yang saya ucapkan. Setelah saya menyudahi cerita saya, mama pun memberikan respon yang jauh dari apa yang saya bayangkan.

"Pokoknya yang kamu percaya baik untuk kamu dan kamu suka menjalaninya, ya lakukan saja. Asal ingat satu hal, jangan lupa Tuhan."

Respon mama yang begitu sederhananya membuat saya tersadar bahwa sejak dahulu, orang tua saya tidak pernah menekan saya untuk menjadi ini, menjadi itu. Mereka selalu membiarkan saya memilih apa yang saya suka, apa yang membuat saya nyaman menjalaninya. Orang tua saya membiarkan saya masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial ketika SMA karena mereka tahu saya menyukainya, padahal pada saat itu Ilmu Pengetahuan Alam menjadi jurusan favorit di sekolah saya, hingga terjadi penambahan kelas.

Orang tua saya membiarkan saya memilih jurusan bahasa Korea karena mereka tahu saya menyukainya, padahal pada saat itu bisa saja mereka menyuruh (memaksa) saya memilih untuk masuk ke jurusan ekonomi atau jurusan yang dapat dikatakan lebih memiliki ketenaran yang lebih baik lainnya, tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan sampai sejauh 512 km saya berada jauh dari mereka hanya untuk menyelesaikan hal yang saya sukai, mereka membiarkan saya memilih pilihan untuk berdiri sendiri di sini, di Jogja. 

Orang tua saya memberikan saya gitar, memberikan saya keyboard, memberikan saya ukulele, dan  memberikan alat musik lainnya kepada saya hanya karena saya menyukainya, padahal bisa saja mereka menolak permintaan saya yang tidak pernah becus memainkan alat musik macam apapun. Bahkan sampai detik ini.

Saya jadi membenahi kembali rencana-rencana apa yang akan saya lakukan nanti, setelah saya lulus dari strata 1. Saya ingin memberi pembuktian kepada mereka bahwa mereka tidak akan kecewa dengan menaruh kepercayaan mereka sepenuhnya kepada saya. Saya ingin membuktikan kepada mereka bahwa saya bisa dipercaya, bahwa yang mereka lakukan dengan mengembalikan semua pilihan kepada saya itu benar. Saya ingin melihat mereka tersenyum bangga kepada saya yang selalu bisa menikmati apa yang dilakukan karena saya menyukainya. 

Izinkan saya berterima kasih karena saya selalu merasa bisa diandalkan karena kalian selalu memberi kepercayaan kepada saya. Izinkan saya berterima kasih, meskipun saya tahu rasa terima kasih ini tidak akan pernah bisa menggantikan apa yang telah kalian lakukan untuk saya. Kalian orang tua terbaik, sangat baik. Kalian orang tua yang selalu menjadi semangat saya melakukan berbagai macam hal. Terima kasih karena kalian selalu menerima saya seperti apa pun cara yang saya lakukan dalam menjalani hidup saya. Saya beruntung memiliki kalian. Beruntung sekali. 


-----


NB : Dedicated to lovely mom and dad, you're always be a part of me. Semoga kalian selalu sehat dan berada dalam keadaan baik-baik saja ya. Jangan bersedih karena saya berada di sekian banyak kilometer untuk meraih cita-cita saya. Ingatlah seberapa jauhnya saya, saya akan selalu kembali kepada kalian. Jadi, bersabarlah dan tunggu saya pulang :)

by Dita Oktamaya

Sunday, September 23, 2012

Saya dan Hujan

Belakangan ini banyak hal yang saya pikirkan tentang Jogja. Ah, ya! Salah satunya adalah Jogja butuh hujan! Tolong Tuhan, cuaca Jogja makin hari makin panas dan gersang, saya bahkan selalu menyipitkan mata saya pada siang hari ketika matahari bersinar dengan titik paling teriknya. 

Sebenarnya beberapa hari yang lalu hujan sempat turun di Jogja, hanya sebentar, sangat sebentar sekali teramat sangat! Padahal saya sudah tersenyum sambil mengendarai motor menuju kampus, celana saya juga sebagian sudah basah karena hujan. Namun, ketika saya memarkirkan motor saya. Hujan berhenti bersamaan dengan berhentinya mesin motor saya di parkiran. Saya jadi manyun.

Ada cerita tentang saya dengan hujan, dulu ketika saya masih sekolah menengah atas di Jakarta, salah seorang teman pernah dengan murung menatap saya tanpa daya. Saya yang pada dasarnya suka sekali membuat orang tertawa tidak suka melihatnya seperti itu. Kemudian saya mencoba mencari lelucon agar dia tidak merasa bosan. 

"Hujan nih, lo enggak ngasih selamat ke gue?"

"Ngapain?"

"Gue kan ulang tahun setiap hujan turun."

"Nyahahaha. Kalau lo ulang tahun tiap hujan, gue ulang tahun tiap napas."

Begitulah, dia balik melontarkan lelucon kepada saya. Kami jadi bercerita panjang lebar dan akhirnya saya melihat semangatnya kembali lagi. Syukurlah, saya tidak suka melihat teman saya terduduk lemah atas alasan mengenai beberapa hal (kecuali jika mereka memang sedang lelah), saya mungkin hanya bertanya ada apa dengan mereka. Tidak, saya tidak berharap mereka menceritakan masalah yang dihadapi, saya hanya ingin menegaskan kalau-kalau mereka memang sedang memikirkan sesuatu yang membuat bibir mereka manyun, jadi saya ingin menawarkan tawa untuk mereka. Ya, setidaknya imajinasi saya yang terkadang orang bilang suka di luar akal sehat orang biasa bisa membuat mereka terhibur, setidaknya, saya harap seperti itu.

Saya suka sekali dengan hujan, saya bahkan bisa menatap hujan turun di depan jendela dalam waktu yang cukup lama. Melankolis? Tidak. Menatap hujan seperti itu membuat saya menjadi lebih tenang. Saya suka bau tanah yang terkena air hujan, baunya mendamaikan hati. Sejuk.

Ada satu cerita lagi tentang saya dan hujan. Ya, dulu ketika ada beberapa hal yang membuat saya tidak nyaman dengan lingkungan sekitar, saya sempat menangis di depan teman kesayangan saya. For your information, saya akui saya adalah orang dengan gengsi yang cukup tinggi. Jadi, jika saya tidak yakin dengan orang tersebut, saya tidak akan sembarangan mengeluarkan airmata saya karena saya merupakan orang yang berkeyakinan bahwa titik terlemah seseorang adalah ketika dia mengeluarkan airmata (dalam kondisi tertentu) dan saya bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar airmata atau lebih tepatnya kesedihan saya. 

Saya mengatakan pada teman saya, ketika saya menangis, hujan dapat sewaktu-waktu turun. Entah kebetulan atau memang langit yang ikut bersedih. Setiap saya menangis, langit seolah-olah merasakan kesedihan yang sama, hingga pada akhirnya menurunkan hujan (menangis). Ya, mungkin imajinasi saya yang agak berlebihan, tetapi itulah yang terjadi. Hingga teman saya pun akhirnya melarang saya menangis karena dia lupa membawa jas hujan ketika dia ingin pulang ke rumahnya. Kebetulan yang membingungkan? Ya, nama korea (haneul = langit) yang diberikan kepada saya, seolah-olah menyatu sekali dengan diri saya. Begitulah. Saya juga tidak terlalu mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu.

Saya suka sekali hujan, meskipun terkadang ketika hujan turun banyak agenda atau janji yang tertunda atau bahkan batal begitu saja. Tidak apa. Saya tetap suka hujan. Hujan yang membasahi tanah, hujan yang memberikan aroma tanah menjadi lebih terasa sejuk. Hujan yang membuat saya tidak perlu berpikir seberapa rapinya saya karena sudah terlanjur terkena basah. Hujan yang membuat saya memakai payung (saya suka sekali memakai payung saat hujan). Saya suka hujan karena hujan bisa dengan sekejap memberikan istirahat yang terkadang tidak dapat diraih orang sibuk seperti beberapa teman kesayangan saya. Semoga mereka selalu sehat dan tidak marah ketika kesibukannya diganggu dengan turunnya hujan. Semoga saja. Saya harap seperti itu.


by Dita Oktamaya

Friday, September 21, 2012

Itu Saja

Kita bertemu lagi dalam sapa hangat seperti dulu.

Banyak tawa terbagi karena butuh kuungkapkan semua cerita seperti janji.

Tidak ada kata yang tidak terucap, semua meluap seolah menuturkan kata menjadi ahliku.

Aku tidak ingin diam, menjadikan pertemuan sia-sia.

Membiarkanmu bosan karena sama-sama kehabisan kata.

Aku bercerita, dengan dirimu yang mengangguk dan mengiyakan kata demi kata agar leluasa aku tertawa.

Bukan ego yang merajai masing-masing kita.

Namun, paham untuk saling berinteraksi bertukar cerita.

Begitulah kita dengan berbagai cara.

Aku dengan bercerita, kamu dengan tertawa.

Interaksi yang begitu sulit ditentukan karena imajinasi kata tidak merata.

Namun, kita tetap nyaman. Itu cara kita.

Cara kita untuk mempertahankan kita.

Cara kita untuk tidak kehilangan kita.

Menyesuaikanmu adalah hal tersulit bagiku.

Tentu tak kuungkapkan karena kutahu sulit bagimu menyesuaikanku.

Namun, Kuleluasakan dirimu untuk menjadi apa adanya saat bersamaku.

Itu caraku.

Karena inginku semua berjalan dengan kenyamanan yang apa adanya.

Tanpa dirimu yang menjadi orang lain.

Itu saja.


by Dita Oktamaya

Thursday, September 20, 2012

Aku Ingin Pergi Ke Sana Ke Mari Bersamamu

Aku ingin pergi,
mengunjungi tempat,
ke sana ke mari bersamamu

Namun, inginku kututupi begitu saja,
karena kau terlalu sibuk dengan duniamu

Siapa aku?
Yang kau tahu hanya sebuah pemanis dalam cerita masa lalu

Kemudian kau pun bercumbu dengan waktumu,
yang enggan melepasmu dari belenggu

Sedang apa dirimu?
Melepaskan penat melalui hari tanpa ucapan dalam bisu

Aku yang ingin pergi ke sana ke mari bersamamu,
meninggalkan waktu karena kutahu aku akan senang bersamamu

Dimana dirimu?
Begitu banyak egomu membiarkanku larut dalam sepi,
menunggumu yang bahkan kutahu tak ada setitik juangmu untuk menemui

Aku sendiri di sini,
pergi ke sana ke mari yang kuingin singgahi bersamamu

Namun, kemudian dengan paksa kutahan inginku,
karena menghabiskan waktu bersamaku,
tidak akan pernah menjadi inginmu

Puisi by Dita Oktamaya

Tuesday, September 18, 2012

Saya Hanya Sedang Teringat

Entah sudah berapa lama kamu menahan ketidaknyamananmu untuk menjaga perasaan saya.

Bukan ingin mengeluh, tetapi setiap saya teringat perkataanmu terhadap sikap saya, rasanya saya jadi kembali merasa bersalah.

Saya jadi mempertanyakan bagaimana tulus itu seharusnya.

Maaf jika banyak sikap saya yang tanpa saya duga telah menyakitimu.

Saya tahu saya bukan orang baik, bukan orang yang setiap saat diharapkan kehadirannya.

Maaf jika saya terlalu banyak membuatmu tidak nyaman dengan keberadaan saya di sekitarmu.

Maaf jika banyak sulit saya menunjukkan tulus saya, hingga kamu merasa terpaksa melakukan hal yang berkaitan dengan saya.

Saya tidak tahu yang mana hal yang kamu lakukan terhadap saya dengan suka rela, yang katamu jadi terasa tidak tulus karena kamu lakukan dengan ketidaknyamananmu menyesuaikan saya.

Saya tidak tahu paksaan macam apa atau mungkin hanya dirimu yang sekedar ingin menjaga perasaan saya hingga kamu pun melakukannya terhadap saya.

Namun, apapun itu, selama kamu yang melakukannya saya selalu berusaha untuk tetap baik-baik saja.

Semuanya sudah selesai.

Saya menulis ini bukan karena saya mempermasalahkannya.

Kamu tahu saya, saya akan ingat meskipun saya tidak ingin mengingatnya.

Sekarang saya hanya sedang teringat, kemudian menulis untuk membuat diri saya nyaman atas ingatan yang selalu datang meski saya tidak berusaha mengingatnya, itu cara saya.

Dan maaf jika kamu tidak merasa bisa menyesuaikan dengan cara saya yang seperti ini.

Ada beberapa hal yang saya ingin katakan, hanya sekedar mengatakan.

Saya tidak bermaksud komplain atau memintamu menyesuaikan saya, hanya sekedar ingin bercerita.

Sesungguhnya saya bukan orang yang terbiasa mendominasi pembicaraan.

Menjadi orang yang cerewet dan banyak bercerita adalah hal yang melelahkan bagi saya.

Namun, saya pikir tidak apa jika saya melakukannya bersamamu karena saya ingin semua berjalan baik-baik saja.

Saya pikir saya harus bersikap seperti itu agar keanehan tidak hadir di antara kita.

Saya mengatakan ini bukan untuk mengkomplain atau memintamu menyesuaikan saya, bukan.

Saya terkadang hanya lelah menjadi yang paling dominan ketika kita sama-sama diam, kehabisan kata.

Namun, ketika saya berpikir kembali, sudah seharusnya saya melakukan itu jika ingin suasana di antara kita dan perasaan masing-masing kita terjaga.

Jangan terlalu memikirkannya, saya hanya sekedar bercerita.

Sekarang biar saya memperbaiki semuanya.

Memperbaiki semua hal yang membuatmu banyak berkorban untuk menyesuaikan saya.

Maaf atas ketidaknyamanan yang saya timbulkan selama saya berada di sekitarmu.

Sekarang sudah saatnya memulai semua dari awal.

Dengan kamu yang tanpa beban bertemu dengan saya, apa adanya dirimu,

dan saya yang apa adanya saya, saat saya bersama kamu.



by Dita Oktamaya

Friday, September 14, 2012

Mungkin Saya Belum Beruntung

Hari ini banyak janji yang harus sedikit ditunda karena berbagai kesibukan masing-masing beberapa orang di sekitar saya. Padahal saya sudah menunggu waktu untuk berbincang-bincang dan menghabiskan waktu bersama mereka dengan sangat bersemangat. Salah satu janji bahkan hingga sampai terbawa mimpi karena terlalu kangennya saya terhadap salah satu teman saya itu.

Namun, semua hal harus dijalani sesuai dengan prioritas masing-masing. Mereka memiliki kewajiban yang sudah sangat sepantasnya dijadikan prioritas utama demi kelangsungan kegiatan mereka yang jauh dari urusan saya. Saya tidak boleh menyalahkan, tidak boleh protes, dan tidak akan pernah punya hak untuk mengeluhkannya kepada mereka karena mereka pun pada dasarnya sudah ingin berusaha meluangkan waktu untuk bertemu saya, meskipun ada sedikit kecewa karena merasa janji itu terbengkalai begitu saja.

Semua orang memiliki skala prioritas dalam melakukan kegiatannya. Mungkin kali ini saya saja yang masih belum beruntung untuk dijadikan prioritas utama mereka. Tidak apa. Saya tidak keberatan akan hal itu.

Memikirkan waktu yang begitu sulit ditemukan untuk dibagi bersama, menjadikan diri saya lebih menghargai sedikit waktu yang saya miliki untuk dihabiskan bersama mereka, sedikit waktu yang terkadang membuat hati saya terenyuh ketika waktu itu habis dan kami harus menyudahi pertemuan yang terjadi dalam waktu hanya beberapa jam saja.

Seolah-olah di otak saya tertanam satu kalimat : "Kapan lagi bisa ketemu seperti ini?"

Ya, saya paham betul bagaimana rasanya berada di antara orang-orang sibuk yang memiliki waktu hanya satu dua jam, atau bahkan hanya setengah jam untuk saling sapa atau sekedar bertukar salam. Tidak apa. Saya berusaha belajar menerimanya. Karena menurut saya, ketika kalian sudah memutuskan untuk memiliki keterkaitan hubungan dengan seseorang, ketika itu juga kalian memutuskan untuk rela (bagaimana pun caranya) menyesuaikan diri kalian dengan mereka, tanpa merasa terbebani sedikit pun.



by Dita Oktamaya

Di Ujung Jalan Itu

Di ujung jalan itu,
kenangan terhapus tanpa sisa
satu per satu kembali berjuang untuk hidupnya
tanpa kenal iba

Aku tak menyalahkan,
tak mengeluhkan juga

Di ujung jalan itu,
ada kenangan yang terenggut
terbawa hembusan angin, entah kemana
bersedih pun susah,
karena indah menutupi segala

Ada kenangan yang harus dipuja,
diingat karena indah, dibuang karena luka
aku tak ingin lupa, mengingat kenangan yang dulu
menghabiskan waktu bersamamu, atas nama kita

Ada kenangan yang terbawa karena suka,
yang kemudian disentuh waktu hingga menjadi hampa

Di ujung jalan itu,
hujan telah menghapus semua
hingga luput, tanpa sisa
termasuk kenangan yang direnggut paksa
termasuk kita


puisi by Dita Oktamaya

Wednesday, September 12, 2012

Kejutan (?)

Hari ini cukup banyak kejutan yang saya dapatkan, setelah beberapa hari sebelumnya saya merasa terpuruk dan merasa tidak berguna karena tidak melakukan hal berarti yang membuat saya jadi belajar tentang sesuatu.

Kejutan pertama adalah pengumuman bahwa para mahasiswa tingkat akhir yang bermaksud menyusun skripsi pada semester ini, akan dikumpulkan dan diberikan pengarahan pada tanggal 17 September 2012 depan. Ah, akhirnya kami diberi kepastian setelah beberapa hari digantungkan hidupnya karena tidak ada pengumuman tentang kelanjutan studi kami. Dan ya, Saya berharap saya bisa memanfaatkan waktu sebelum pengarahan skripsi tersebut untuk mematangkan proposal skripsi yang menjadi penentu tema skripsi yang akan saya tulis.

Kejutan kedua adalah saya mendapati teman saya yang menceritakan tentang kehidupannya yang belakangan disadari sedikit (atau banyak, entahlah, dia yang merasakan) terkekang dengan sang pacar yang agak lebih suka mendominasi hidup manusia yang pada dasarnya belum menjadi istrinya.

Begini, saya akui saya adalah orang yang cuek (meskipun beberapa orang sering bilang, jika saya sudah memberi perhatian kepada seseorang, orang lain yang melihat akan merasa luluh dan iri secara bersamaan, entahlah, saya tidak terlalu mengerti maksud mereka itu bagaimana, ya kira-kira seperti itu), tetapi jika saya merasa saya berteman baik dengan seorang teman (karena ketika kita berteman dan merasa dekat dengan seorang teman, tidak menutup kemungkinan bahwa teman tersebut memiliki rasa kedekatan yang sama, tetapi bisa jadi malah sebaliknya, tidak merasa dekat sama sekali) apa yang dia rasakan, menjadi apa yang saya rasakan (meskipun saya tahu saya tidak berada pada posisinya).

Maksudnya begini, ambil satu contoh beberapa waktu lalu ketika teman dekat saya semasa KKN (sampai saat ini saya harap kami akan terus berteman dekat) kemarin, Arin, diberi kuasa oleh koordinator mahasiswa unit, untuk mengurusi ini-itu mengenai laporan program kegiatan KKN, saya merasa khawatir. Bukan, bukan karena saya merasa bahwa Arin tidak bisa diandalkan (justru dia sangat bisa diandalkan), tetapi karena saya merasa itu akan sangat merepotkan Arin yang hanya tinggal seorang diri di Jogja, sementara teman-teman yang lain sudah berada di kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari raya idul fitri. Padahal, jika dilihat dari ekspresi wajah Arin, dia terlihat tidak keberatan diberi tugas yang sedemikian menjengkelkannya. Namun, saya masih merasa tidak rela, masih merasa bahwa tidak seharusnya Arin direpotkan. Dia sudah terlalu banyak membantu dalam banyak hal, dia terlalu baik.

Lalu seperti hari ini yang tiba-tiba saya bertemu dengan teman saya, yang mulai menyadari hidupnya terkekang dengan segala macam bentuk peraturan yang dibuat oleh pacarnya. Saya tahu, saya tidak akan pernah menjadi dia, tetapi saat dia menceritakan perasaan yang sesungguhnya (setelah sekian banyak tekanan yang pada akhirnya membuat pertahanan dirinya roboh) saya ingin sekali memeluknya dan mengatakan bahwa saya ada untuk dia.

Saya ingin sekali mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, tetapi saya tidak bisa karena saya tahu saya akan sulit menjamin hal itu menjadi nyata. Saya hanya berpikir bahwa saya ingin membuat dirinya tenang, ingin mengusap bahunya untuk mengatakan bahwa dia tidak sendirian. Saya hanya ingin dia tahu bahwa ada teman yang bersedia mengangkatnya kembali ketika dirinya roboh oleh tekanan dari sana-sini, sehingga dia tidak takut untuk berjalan tegak kembali.

Masalah komitmen, bertahan pada satu hal yang justru hal itu yang membuatnya makin terpuruk. Saya tidak akan pernah berhak untuk mengatakan padanya agar menyerah saja dan mengatakan di ujung sana ada seseorang yang lebih baik. Tidak. Saya tidak pernah punya hak untuk mengatakan itu. Saya tahu siapa diri saya, saya hanya seorang teman, seorang pendengar yang hatinya tertampar karena salah satu teman dekatnya diperlakukan sebegitu tertekannya, hingga bahkan sulit untuk bernapas.

Masalah cinta, jika berpikiran untuk mencari cinta yang lebih baik sesungguhnya tidak akan pernah selesai, tidak akan berujung. Saya tidak pernah berani membicarakan soal cinta. Hanya berani membicarakan suka dan sayang yang bahkan kedua hal itu adalah hal tersulit yang saya ceritakan kepada orang. Saya mengatakan padanya, saya tidak tahu apa-apa masalah cinta, tidak pernah memiliki pengalaman yang cukup baik mengenai kata yang terdiri dari lima huruf itu. Namun, sejauh ini, dari beberapa hal yang saya yakini adalah ketika kamu memilih untuk mencintai seseorang adalah ketika kamu tidak merasa terganggu untuk berbagi dengan orang itu. Apapun itu. Seberapa buruknya keadaanmu, keadaannya, keadaan kalian berdua. Ketika kamu sudah memilih untuk mencintai seseorang adalah ketika kamu sudah bisa menerima kenyataan bahwa di dunia ini kamu tidak hanya hidup untuk dirimu sendiri. Hanya hal itu yang saya tahu, yang saya yakini kebenarannya. Saya tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang, saya hanya ingin nanti dia memiliki keputusan yang tepat untuk melanjutkan hidupnya dan bebas dari kekangan. Saya tidak ingin hal buruk terjadi padanya dan saya harap dia dapat menyelesaikan masalahnya dengan (sangat) baik.

Hari ini saya juga banyak bercerita dengan junior-junior dan senior-senior saya di kampus. Banyak hal yang saya respon hanya dengan satu dua kata, tetapi beberapa hal masuk ke dalam pikiran saya dan saya pelajari baik-baik. Saya bukan orang yang mudah mengungkapkan berbagai macam hal melalui lisan. Melalui tutur kata karena terkadang banyak hal yang terlupa untuk diucapkan sehingga banyak orang menjadi salah paham. Menyadari hal itu saya merasa bahwa saya sering menjadi orang yang sangat amat merepotkan, menjadi orang yang sangat amat egois karena ingin didengar, tetapi apa yang saya maksudkan sulit terungkap dari kata yang terucapkan.

Dulu, sebelum saya disadarkan oleh seorang teman yang tidak cocok dengan cara saya berteman, saya tidak pernah berpikir tentang cara saya, cara dia, atau cara-cara orang lain yang digunakan dalam berteman. Hal yang saya pikirkan, ketika saya ingin melakukan suatu hal kepada seorang teman adalah saya melakukannya apa adanya saya, dengan bekal 'karena saya ingin melakukan hal itu'. Ya, terkadang ketika kita merasa nyaman berteman dengan seorang teman, kita jadi sulit untuk memikirkan kenyamanan teman tersebut terhadap kita.

Saya tidak marah jika orang lain merasa tidak cocok dengan cara saya berteman, saya malah menjadi merasa amat bersalah dan merasa amat egois karena menyadari bahwa sebelum dia mengatakan tidak cocok berteman dengan saya, pastinya dia berusaha mati-matian untuk menyeimbangkan cara saya. Dia mati-matian melakukan apa yang saya mau. Dia mati-matian membuang rasa ketidaknyamanannya karena tahu saya melakukan hal yang justru malah membuat dia tidak nyaman. Saya merasa menjadi teman yang amat tidak berguna.

Banyak hal yang saya pelajari dari semua hal yang belakangan ini terjadi dalam hidup saya. Saya jadi menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan seberapa pun besar ketulusan yang saya tawarkan. Saya jadi mengingatkan diri saya sendiri bahwa setiap saya bertemu dengan satu teman baru maka ada satu pemikiran baru yang memiliki cara berbeda meskipun sama-sama berujung kebaikan. Saya tahu dan sadar bahwa semua orang pada dasarnya adalah baik, hanya kadarnya saja yang berbeda.

Ya, begitulah, semua orang memang memiliki cara masing-masing dalam melakukan sesuatu, saya tidak perlu menyukai semuanya, saya hanya perlu menghargainya. Sesederhana itu.




by Dita Oktamaya

Friday, September 7, 2012

Aku Menunggumu Di Depan Jendela

Aku menunggumu di depan jendela
menunggu bertatap mata dengan wajah penuh tawa

Aku merindumu banyak
hingga logika berkata bosan
hingga hati berontak tak sanggup berkata

Aku menunggumu di depan jendela
dengan berbagai kebodohan yang tak sanggup tercerita
dengan berbagai kekonyolan yang kulalui tanpa setitik tanda kau ada

Aku merindumu banyak
hingga bosan aku berkata
hingga bosan aku menatap ke jendela

Mungkin bukan saatnya kau tahu aku yang menunggumu,
menanti untuk bertemu dengan sejuta tawa yang buatku bahagia

Mungkin bukan saatnya kau sadar bahwa ada aku di depan jendela,
menantimu dengan beribu pengharapan untuk disapa

Aku menunggumu di depan jendela
kata orang rindu itu indah, rindu itu menyakitkan
Namun, bagiku mati rasa

Aku menunggumu di depan jendela dengan kematian rasa
menantimu untuk hadir membangkitkan rasa

Aku menunggumu di depan jendela
rindu itu tidak membuat buta,
tak bisakah kau melihatku yang memendam rasa?


Poem by Dita Oktamaya

Wednesday, September 5, 2012

Yang Ini... Tidak Bisa Kamu Perbaiki

Hari ini saya menghabiskan hampir sepanjang hari dengan teman saya yang sudah sangat lama menghilang dari kehidupan kampus. Ya, Namanya Tita. Pratita Hening Pusparanti.

Dulu, ketika awal masuk kuliah, saya takut berkenalan dengan dia. Alasannya? Karena wajahnya yang terlihat antagonis dan sorot matanya yang tajam. Namun, memang saya yang tidak bisa jika tidak berkenalan dengan orang yang nantinya akan merasa nasib yang sama dengan duduk di dalam ruang kelas yang sama, maka saya pun berkenalan dengan dia. Pada akhirnya pun kami menjadi teman dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, saya, dia, dan Jessica (saya pernah menulis tentang Jessica di postingan yang lalu).

Saat pertama kali kuliah, karena rumah yang berjarak cukup jauh dari kampus, kamar kos saya pun dijadikan rumah kedua bagi mereka. Jika saya dan Tita hanya tidur, makan, menggosip, tertawa tanpa membenahi kamar, maka Jessica yang membenahi kamar saya, bergumam sambil sesekali tertawa melemparkan lelucon bahwa saya dan Tita seperti anak-anak yang merepotkan ibunya (jessica). Begitu seterusnya, keseharian yang dilakukan secara berkala hingga saya terbiasa dengan kebersamaan yang menyenangkan bersama mereka.

Hingga pada semester berikutnya kami disibukkan dengan kesibukan kami masing-masing, Jessica yang melakukan pertukaran pelajar di Korea Selatan, Tita yang diterima kerja di sebuah Wedding Organizer, dan saya yang (tanpa ada perubahan sama sekali) ditinggalkan oleh mereka.

Kesendirian yang saya lalui tanpa mereka membuat saya banyak merindukan rumah di Jakarta. Kerinduan saya akan Jakarta tidak serta merta menjadikan saya anak rantau yang cengeng yang melulu minta pulang ke kampung halaman, tidak. Kesendirian itu membuat saya mencari berbagai macam kesibukan yang saya harapkan bisa membuat otak saya sibuk. Menjadi relawan penerjemah kegiatan sukarela orang-orang Korea, menjadi penulis paruh waktu di sebuah distributor naskah, mengikuti kegiatan kesenian perkusi tradisional Korea Selatan, dan mengikuti perkumpulan tari tradisional Indonesia. Cukup banyak kegiatan, memang, karena yang berada di pikiran saya pada saat itu adalah bagaimana saya menyibukkan diri saya agar saya tidak menjadikan diri saya manusia cengeng yang setiap hari berharap bisa dipeluk oleh mama. Ya, Pada saat itu saya menjadi cukup sibuk, tetapi saya tetap saja masih memikirkan mereka, saya masih merindukan mereka.

Saya rindu kebersamaan saya dengan mereka. Rindu dengan lelucon-lelucon ringan yang sering kami lontarkan. Rindu kenakalan kami yang menyebrang rel kereta api dan memanjat pagar rel kereta api hanya demi Tita yang ingin berburu foto di Festival ulang tahun Jogja. Rindu bermain di sekolah Tita dan Jessica yang dulu berasal dari satu sekolah yang sama. Rindu kebrutalan kami makan nasi dengan lauk banyak karena kami tahu harganya sangat murah. Rindu makan es krim bersama ketika perasaan kami sama-sama tidak baik. Rindu belajar masak sayur dengan teman kos saya yang adalah vegetarian. Rindu memberantaki kamar saya dengan remah cemilan yang tidak pernah sanggup saya habiskan sendirian. Saya rindu waktu yang saya habiskan dengan mereka.

Hari ini saya banyak bercerita dengan Tita. Sepertinya beberapa jam menghabiskan waktu bersama, tidak cukup jika hanya untuk bercerita tentang perubahan yang saya dan Tita rasakan.

"Kayaknya cuma kamu yang enggak berubah ya, Dit."

Pernyataan Tita yang sedemikian itu membuat saya banyak bertanya-tanya. Apa iya?

"Iya ya?"

"Iya. Masih dengan cara dandan yang sama, cara bicara yang sama, cara ketawa yang sama. Masih sama seperti Dita yang pada tahun 2009 itu pertama kali aku temuin, atau mungkin perubahannya enggak kelihatan ya?"

"Enggak tahu juga sih aku, Tit."

Jika saya boleh memberitahu, Tita dan Jessica adalah teman yang mengerti saya ketika mood saya sedang tidak stabil. Ketika saya sedang ngambek, ketika saya sedang kesal (yang kebanyakan saya sebabkan oleh diri saya sendiri). Mereka lah yang memandang saya tanpa protes dengan sikap saya yang tiba-tiba menghebuskan napas berat karena sedang menahan kesal. Jika Jessica menenangkan saya dengan menggoda saya dengan canda ketika saya sedang kesal, maka Tita akan melengos pergi dengan senyum yang seolah-olah berkata 'cari aku lagi nanti ketika kamu sudah tenang'.

Jujur, semua kesal dan marah saya tidak pernah disebabkan oleh mereka, maka dari itu terkadang saya suka terharu ketika mereka masih dengan begitu rela berada di samping saya yang wajahnya ditekuk seperti kertas yang memiliki bekas lipatan, lecek.

"Tidak seharusnya kamu terus yang menyesuaikan, orang lain juga seharusnya nerima kamu, apa adanya kamu kalau mau temenan sama kamu."

Dulu, Tita pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan saya ingin memperbaiki apa yang tidak disukai atau hal apa yang dari saya yang tidak cocok dengan seseorang.

"Kalau dia enggak mau temenan sama kamu, kamu masih punya aku, masih punya Tita."

Dulu, Jessica pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan apa salah saya sehingga saya dijauhkan dengan seseorang yang merasa tidak cocok dengan cara saya berteman.

Mereka yang menenangkan saya ketika saya tidak bisa mengontrol perasaan saya yang tidak stabil. Dulu saya adalah orang yang banyak memikirkan bagaimana saya harus bersikap, sehingga banyak hal yang membuat saya down akibat memikirkan masalah yang tidak penting. Sekarang, berkat mereka saya menjadi pribadi yang lebih rileks, lebih banyak menggunakan logika yang tidak serta merta menjatuhkan diri saya akibat kekesalan terhadap diri saya sendiri karena telah membuat orang lain tidak nyaman.

"Sekali-sekali pikirkan tentang diri kamu, Dit. Tidak semua hal bisa kamu perbaiki sendiri, ada saatnya orang yang harus nerima kamu."

Tita dulu pernah menekankan hal itu pada saya. Saya jadi banyak berpikir sebenarnya cara macam apa yang saya lakukan sehingga mereka menjadi begitu amat sayang terhadap saya, tetapi di sisi lain ada orang yang meninggalkan saya karena enggan berteman dekat dengan saya. Entahlah. Saya juga tidak tahu.

"Banyak hal yang udah berubah di kampus, Dit. Kadang aku jadi semakin enggak nyaman karena sadar aku enggak nerima apa-apa, enggak dapet apa-apa di sini. Aku senang kok, kita balik lagi kayak dulu, cerita-cerita kayak gini. Karena selama beberapa semester kita jarang ketemu karena sibuk masing-masing, aku jadi ngerasa kesepian, kayak enggak ada teman yang benar-benar cocok."

Pernyataan Tita tentang tidak adanya perubahan dalam diri saya perlahan mulai saya mengerti, ya itu bisa jadi harapannya karena terlalu banyak perubahan yang terjadi hingga kami semua dipaksa untuk keluar dari zona nyaman. Jika sudah sama-sama merasa tidak nyaman, biasanya saya sering bertanya kepada mereka apa yang seharusnya saya lakukan untuk membuat mereka merasa lebih baik dan biasanya mereka akan menjawab, "Jajanin es krim, Dit." atau "Makan yuk, tapi maunya dibayarin sama kamu."

Namun, sekarang berbeda, kini mereka hanya tersenyum kecil dengan ketulusan yang masih sama seperti dulu, bedanya senyum itu seolah mengatakan "Tidak, Dit.Yang ini... tidak bisa kamu perbaiki." dan saya pun akan mengangguk tanda mengerti. Ya, saya paham, tidak semua hal bisa saya perbaiki sendiri. Apalagi perubahan yang terjadi secara signifikan.

Saya jadi teringat tulisan Djenar Maesa Ayu, yang membuat saya tergelitik setiap membacanya :

"Ketika tidak ada keabadian, perubahan menjadi proses yang amat membosankan."

Perubahan. Ah, setidaknya saya tahu satu-satunya hal yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri. Well, semoga kalian selalu dalam keadaan baik-baik saja dan apapun perubahan itu, semoga menjadi perubahan yang membawa kalian menjadi orang yang lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya.



by Dita Oktamaya

Monday, September 3, 2012

Sibuk

Kamu yakin bisa meluangkan waktu untuk bertemu malam ini?
Yakin. Aku bisa meluangkan waktu, tetapi aku harus bertugas tiba-tiba, maaf.
Jadi malam ini kita tidak bisa bertemu?
Iya, maaf ya. Kamu ada waktu lain untuk bertemu?
Aku tidak tahu. Aku tidak mau menentukan, takut kamu sibuk dan ternyata tidak bisa bertemu lagi. Nikmati saja kesibukanmu, jaga kesehatan.


Aku menyudahi pesan singkat yang awalnya kukirim ragu padamu. Ya, sibuk. Kita selalu punya kesibukan masing-masing. Kesibukan yang tidak pernah sama. Dulu, ketika banyak aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, kukira hanya aku yang bisa sibuk. Kesana-kemari melakukan berbagai macam hal hingga kamu pun menggelengkan kepala melihatku dikejar deadline ini-itu. Kamu yang dulu sering bertanya, meminta waktuku untuk dibagi. Kini, aku membaca pesanmu berulang kali, mulai menyadari meskipun ingin meluangkan waktu, manusia pasti selalu bisa kalah dengan kesibukannya. Selalu. Aku mengusap pelan dada sebelah kiri yang entah sejak kapan menjadi kebiasaanku saat hal yang kurang nyaman mengganggu perasaanku. Jauh hari sebelum kuinjakkan kaki di kota istimewa, kakakku pernah berpesan untuk selalu menjadi orang baik. Orang baik yang dapat mengatur perasaannya. Orang baik yang tidak mengganggu perasaan orang lain seburuk apapun perasaanku. Jadi kusimpulkan bahwa aku harus menjadi orang baik yang hidup dengan baik. Aku pun memesankan pesan itu padamu, untuk menjadi orang baik yang hidup dengan baik. Banyak cerita pernah kita bagi, tidak, bukan kita, tetapi aku. Kamu biasanya hanya mendengar, tersenyum, mengangguk, mengiyakan. Kamu yang selalu menurut perkataanku, meskipun sering aku bilang jangan. Kamu yang selalu berkata rindu ingin bertemu, tetapi tanpa daya menemukan waktu. Kamu yang tidak pernah terlibat dalam satu kesibukan yang sama denganku. Aku dengan kesibukanku dan kamu dengan kesibukanmu. Banyak kata yang sulit terucap hingga kamu tidak pernah tahu bahwa kamu adalah satu dari berbagai orang yang ingin kutemui ketika kesibukan mulai membuatku ingin menangis. Kamu adalah satu dari berbagai orang yang wajahnya ingin kulihat saat tanpa kira kudapati berita baik. Kamu adalah satu dari berbagai orang yang nomor kontaknya selalu ingin kukirimi pesan singkat untuk hanya sekedar sapaan selamat pagi. Semua itu tidak terucap. Tidak terucap karena kebodohanku dalam mengatakan apa yang ingin diungkap. Aku merindukanmu. Aku merindukan waktu yang kita habiskan bersama untuk bercerita, bertukar pikiran, dan tertawa. Sibuk itu selalu bisa merebut waktumu dariku. Tidak. Aku tidak pernah berani menyalahkan apapun atau siapapun. Seperti yang sering kukatakan, pada akhirnya manusia memiliki kesibukannya masing-masing. Aku hanya iri dengan orang yang banyak memiliki kesibukan yang sama denganmu. Iri dengan mereka yang memiliki waktu lebih banyak bersamamu. Iri ini juga tidak terucap. Rasa iri yang cukup untukku saja. Tidak apa. Jangan khawatir. Aku hanya sekedar iri, bukan iri yang berarti, hanya iri karena jauh dari yang aku bayangkan aku banyak merindukanmu. Seharusnya bisa dengan mudah rindu ini terselesaikan. Aku merindukanmu, kamu merindukanku. Penyelesaiannya hanya bertemu. Ya, seharusnya bisa sesederhana itu yang kemudian menjadi rumit karena sibuk terlalu pelit untuk memberi kita waktu untuk bertemu.


by Dita Oktamaya

Thursday, August 30, 2012

Jangan Pergi Tiba-tiba. Jangan Diam Tiba-tiba.


Meminta maaf dan memaafkan itu mudah, yang tersulit adalah melupakan persoalan dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.



Saya membaca tulisan itu di sebuah jejaring sosial. Membacanya baik-baik. Kemudian saya teringat beberapa minggu yang lalu, ketika kesalahpahaman terjadi antara saya dengan teman saya. Saya menyebutnya Soul Sister dan teman-teman yang lain menyebut dia sebagai Soul Sister saya karena menurut saya (dan teman-teman lain pun mengakui) sebutan Soulmate terlalu mainstream.

Dia teman yang baik, teman yang sangat baik. Seharusnya saya bisa menjaga perasaannya, tetapi saya terlalu ceroboh untuk menitikkan satu salah yang membuat hatinya sakit (mungkin, saya tidak tahu karena saya tidak pernah bisa menjadi dia). Saya salah, salah yang berawal dari masalah yang sangat kecil. Salah yang membuat dia selama seminggu menghindari kontak mata dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia tidak mau berbicara dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia terlihat merasa terusik dengan kehadiran saya di sekitarnya. Salah yang saya perbuat. Kesalahan konyol yang membuat saya kehilangan perhatiannya yang seperti biasa.

Salah yang terjadi pada sore hari, dengan beberapa jam saya diam karena saya merasa kesal. Jujur, saya bukan kesal karena dia, tetapi saya kesal dengan diri saya sendiri karena tidak bisa menjadi teman yang bisa dia andalkan. Maka dari itu saya diam, saya tidak berani melihat matanya. Saya merasa bersalah karena saya teman yang terlalu lemah, sedangkan dia terlalu tegar. Saya merasa marah pada diri saya sendiri karena saya tidak dapat berbuat apa-apa ketika dia sedang lelah. Saya marah pada diri saya sendiri dan merasa sungkan dengan dia karena dia tidak bisa mengandalkan saya. Saya bukan marah kepada dia, tetapi saya tidak mengatakannya. Ketika saya ingin menjelaskan apa yang saya rasakan, dia sudah menarik hatinya, dia diam, tidak ingin melihat saya.

"Mungkin akunya aja kali yang lagi pengen diem kayak gini. Kamu juga tadi diem kayak gini aku enggak protes, kan? Sekarang aku diem kayak gini, kenapa kamu protes?"

Saya jadi sesak napas mendengar perkataannya pada saat itu. Ya, dia benar. Saya tidak sepantasnya protes dengan aksi diamnya karena kebodohan saya dalam menjelaskan perasaan saya, sehingga terjadi kesalahpahaman yang membuat hubungan kami menjadi tidak baik. Saya diam, hati saya seperti ditempeleng tanpa ampun, saya merasa bodoh. Pada saat itu ingin rasanya saya menjelaskan apa yang saya rasakan, tetapi saya tidak berani. Ya, dia belum tentu ingin mendengarkan saya.

Saya tidak tenang dengan situasi yang berada di antara kami. Saya mencari waktu untuk berbicara berdua dengannya, kalian tahu? Memiliki kesalahpahaman dengan orang yang kalian anggap teman adalah hal yang tidak mengenakan, apalagi jika kalian menganggap teman itu adalah teman dekat yang menjadi semangat kalian dalam menjalani kehidupan seperti karantina relawan.

"Ini bukan masalah minta maaf, aku enggak melarang kamu minta maaf. Hanya saja mungkin aku bukan tipe yang kayak kamu. Orang yang bisa marah, kemudian diam trus beberapa jam kemudian seperti biasa lagi, seperti enggak pernah terjadi apa-apa. Aku enggak kayak gitu, jadi biar aja aku diem kayak gini, mungkin emang akunya yang lagi pengen diem jadi ya biarin aja."

"Trus kamu mau diem sampai kapan? Jangan lama-lama ya."

"Ya, enggak tau. Mungkin besok aku udah biasa lagi, mungkin juga lusa, atau minggu depan, atau dua minggu lagi, atau kapan aku enggak tahu."

Saya terdiam mendengar perkataannya ketika saya menanyakan lagi kenapa dia diam dan meminta maaf atas kesalahan konyol yang saya perbuat. Entahlah, saya tidak sebaik itu, saya bukan tipe yang bisa marah, diam, dan beberapa jam kemudian kembali seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak. Saya tidak sebaik itu, hal yang pada saat itu saya lakukan adalah saya menekan ego saya, menekan rasa kesal saya terhadap diri saya, menekan ekspresi diam saya, menekan perasaan tidak baik saya untuk membuktikan kepada dia bahwa saya tidak marah padanya, untuk membuktikan bahwa saya menganggap dia tidak memiliki salah apa-apa pada saya.

Selama seminggu dia diam kepada saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa, benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Saya jadi sering bengong dan tidak bersemangat melakukan sesuatu. Berlebihan, memang, tetapi saya jamin kalian pasti akan merasakan hal yang sama ketika teman yang kalian anggap teman dekat, menghindari kalian bagaimana pun caranya. Rasanya di kepala kalian tidak terisi pikiran seperti apapun, kosong.

Melihat saya yang pada saat itu terkatung-katung, ada satu teman yang tidak tega melihat saya yang menurutnya seperti orang tidak punya tulang. Tidak bisa diajak berdiri tegak. Dia menatap saya yang pada saat itu sedang membantunya (merecoki, lebih tepatnya) mencuci piring.

"Aku harus gimana lagi ya? Biar bisa dimaafin? Biar dia kembali seperti semula." ketika itu katanya saya menatap tempat cuci piring tanpa kedip, kemudian menggaruk-garuk rambut, kemudian terdiam.

"Masih belum bisa cair ya dia? Mau dimediasiin biar kita ngomong bertiga?" dia mengambil gelas yang daritadi saya pegang, kemudian meletakkannya di tempat yang seharusnya diletakkan.

"Ah, enggak usah. Ngapain pake mediasi segala, jadi berasa dukun, ngeri."

"Ya terus mau sampe kapan kalian diem-dieman? Aku seneng loh lihat kalian yang biasanya bareng-bareng cerita berdua, kayaknya cuma kalian yang tau, seru gitu, kayak beneran liat ada kakak-adek lagi curhat-curhatan."

"Ya, katanya dia butuh waktu. Jadi, kasih dia waktu aja. Biar dia melakukan apa yang dia mau, aku enggak mau buat dia enggak nyaman dengan ngomong bertiga. Enggak apa-apa ya enggak dimediasiin? Ini masalah kami jadi ya sudah, biar kami aja yang ngerasain. Enggak apa-apa ya?"

"Ya enggak apa-apa sih, kan aku cuma menawarkan. Tapi kamunya enggak apa-apa? Udah enggak enak bergerak gitu, enggak ada semangatnya, kita juga pengen liat dita yang dulu, dita yang semangat."

"Enggak apa-apa kok. Kalau dia bilang butuh waktu, ya aku tinggal nunggu. Semua akan baik-baik aja kok, dia kan teman yang baik."

"Kamu juga teman yang baik kok, Dit."

"Oh ya? Tapi dia marah sama aku. Ya sudah, semoga bener aku teman yang baik."

Ya, pada saat itu saya benar-benar berharap kalau saya adalah teman yang baik untuk dia. Saya juga tidak ingin membuat dia tidak nyaman dengan mediasi yang saya tidak tahu akan bagaimana ujungnya. Saya bukan tipe orang yang suka mengumbar-umbar jika sedang memiliki masalah, tetapi ketika ada beberapa orang yang menyadari masalah yang saya hadapi, saya memberi ruang untuk mereka agar mengetahuinya, tetapi tidak membiarkan mereka masuk untuk menyelesaikannya.

Ini salah saya, ini masalah saya, jadi ini tanggung jawab saya. Kalian tidak seharusnya saya repotkan untuk menyelesaikan masalah yang saya timbulkan, tetapi terima kasih karena kalian menjaga perasaan teman dekat saya itu, sehingga dia nyaman meskipun bercanda tanpa saya.

Saya senang karena beberapa hari setelah perbincangan cuci piring itu, dia sedikit-sedikit kembali seperti dia yang dulu. Dia yang mau bercerita dengan saya. Dia yang menggoda saya karena saya selalu pakai segala sesuatu kegedean. Dia yang membalas lelucon saya untuk menjadikan seorang teman lain sebagai objeknya. Dia yang partner in crime saya. Dia yang soul sister saya. Dia yang seperti biasanya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita sebelum kita tinggal bersama dengan enam orang lainnya di tempat yang belum kita datangi sebelumnya itu. Dulu saya mengatakan padamu jangan heran jika kamu mendapati kebingungan orang lain melihat perhatian saya kepada teman yang saya anggap teman dekat saya.

Enam orang itu menganggap perhatian saya kepada kamu, seperti perhatian adik yang menyayangi kakaknya, saya tidak mengerti bagaimana perhatian saya terhadapmu terlihat oleh mereka, tetapi begitulah yang dikatakan semua orang ketika saya memberikan perhatian kepada orang-orang yang saya pedulikan. Orang-orang yang saya anggap teman dekat saya. Maaf jika cara saya membuatmu tidak nyaman, jika memang ada hal yang membuatmu tidak nyaman, katakanlah. Jangan pergi tiba-tiba, Jangan diam tiba-tiba. Karena jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara memperbaiki cara saya yang tidak kamu suka. Jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara mempertahankan kamu menjadi teman saya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat ketika kamu mengajak saya membeli kue ulang tahun untuk timmu, tetapi tidak menanyakan persetujuan saya mengikutimu atau tidak. Pada saat itu saya senang, saya senang karena kamu tidak sungkan meminta persetujuan saya. Saya senang karena kamu mengajak saya. Senang, karena pada saat itu saya merasa kamu mengakui keberadaan saya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita di toko kue ulang tahun, saat kamu sibuk memilih kue dan saya sibuk mengamati merk coklat yang dipajang di sana.

"Trus, Dit. Kok kamu enggak marah kalau aku ngomong kamu kecil, sering pake baju kegedean, dan lain-lainnya yang sering aku omongin? Teman-temanku bilang aku ini orangnya ceplas-ceplos loh, trus bilang kalau ada teman yang enggak terlalu kenal aku, pasti bakalan sebel dan sakit hati. Kamu kok enggak marah?"

"Ah, aku sih enggak apa. Selama kamu bisa jadi teman yang baik."

Kamu tahu? Pada saat itu saya tidak hanya asal bicara. Ya, saat itu saya sangat percaya kalau kamu adalah teman yang baik. Saya sangat percaya kalau kamu nantinya dapat menjadi teman baik yang saya punya.

Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, selama seminggu kamu menghindari saya hingga saya guling-guling, mencari cara bagaimana kamu mau melihat mata saya lagi. Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, kamu diam seribu bahasa karena kamu ngambek dengan saya. Sampai saat saya mengetik blog ini pun, saya masih percaya kamu dapat menjadi teman baik yang saya punya. Maaf jika saya banyak merepotkanmu, banyak membuatmu jengkel, banyak membuatmu risih dengan segala kekurangan saya sebagai temanmu. Maaf jika banyak kata yang sulit terucap hingga kesalahpahaman terjadi di antara kita. Maaf jika begitu banyak saya mengandalkanmu, hingga kamu lelah dengan saya. Maaf dan terima kasih, karena setelah berbagai kesalahan yang saya lakukan terhadapmu, kamu mau memulainya dari awal dan menjadi dirimu seperti semula lagi.


-----


NB : Dedicated to Arindya Ciptasari, saya ingin mempertahankanmu sebagai teman saya, sebagai teman baik yang saya punya. Jika kamu tanya alasannya, saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu, ketika saya sedang pusing memikirkan kuliah saya, tugas saya, persiapan untuk KKN dan segala hal yang membuat saya merasa sendirian. Kamu dengan mudahnya mengajak saya pergi, membuat saya merasa tidak sendirian dengan berbagai cerita yang kamu bagi dan hal itu yang membuat saya percaya kamu adalah teman yang baik dan saya ingin mempertahankanmu menjadi teman baik yang saya punya. Saya akan berusaha semampu yang saya bisa agar kesalahpahaman tidak terjadi lagi di antara kita, karena mendapati teman macam kamu cemberut tanpa mau melihat mata saya adalah hal yang banyak mengusik pikiran saya. You've been a very kind friend to me when i had none and i would never want to make you unhappy.


by Dita Oktamaya