Hujannya menghapus ukiran kecil di atas tanah kering
membawanya larut dan kembali ke bentuk semula, lenyap
Hujannya kurang santai. Menghujam. Bergemuruh
memekikan telinga dengan petir yang berbincang rindu satu sama lain, bingar
Pintu terketuk. Masih hujan di luar. Hujan deras. Dingin
Bercermin menatap mata yang basah. Bukan karena hujan, menangis
Hujannya terdengar tegas.
Seolah berkata bahwa setelah mereka datang, tidak akan ada kita
Apa maksudnya?
Pintu kembali terketuk. Hujan pergi. Gerimis datang. Di Luar masih dingin
Sekali lagi bercermin menatap mata yang membengkak. Bukan karena tinju, tangis semalaman
Awan gelap mengubah langit menjadi campuran warna hitam putih. Hening. Dingin.
Angin seolah tidak mengerti kata sakit karena dihempas
Petir seolah berburu telinga untuk didengar
Aku yang membuka pintu terketuk. Hujan pergi. Gerimis pergi.
Berdamai dengan rasa dingin dan hempasan angin yang bekejaran, Aku
Siapa yang mengetuk? Tidak ada. Kosong. Langit terlihat gelap. Masih terasa dingin
Hujannya menghapus kita. Di sini tersisa aku. Hanya aku, tanpa kamu
Puisi by Dita Oktamaya
No comments:
Post a Comment