Saturday, November 29, 2008

Kadang

kadang..
kebahagiaan itu datang tanpa peduli akan beratnya hari

kadang...
gelap itu menyapa di antara cahaya bintang yang terang

kadang...
tawa terukir di antara torehan luka

aku sadar,
aku telah melupakan 1 hal

di saat keceriaan menyapaku untuk tetap bahagia
di saat gelap seakan tak bermakna karena bintang tetap bersinar
di saat sanjungan dan sendaan itu datang untuk dapat membuatku tetap tertawa

aku sadar akan sesuatu yang hilang yang tanpa berani aku ungkapkan, kesedihan...


poem by Dita Oktamaya

Friday, November 28, 2008

Cintaku

Cintaku…

bukan ucap kosong
bukan pula sebuah pengakuan tanpa makna
bukan sebuah cerita tanpa tokoh
bukan pula mentari tanpa cahaya
dan bukan salju tanpa putihnya

tetapi…

pola yang nyata tak berbentuk
tanpa keindahan melengkapinya
yaitu…dirimu…

poem by Dita Oktamaya

Disinilah...

menjelajah samudera
dengan tatapan nyata
akulah penguasa!

diam dan hening di titik merah itu
bertemu ribuan pasir yang menghempas muka
dinginnya salju yang menusuk jiwa

terhentak aku nyaris terhempas
menemukan diriku berada ribuan mil jauhnya
di mana aku?
dan hilang...

ku pandangi tubuh yang renta ini
aku masih di sini menahan luka
pedih, perih dan sakit...

di sinilah aku berada
di rumah tanpa orangtua
di mana segalanya terasa hina tanpa sentuhan kasih sayang

disinilah aku berada
di ruang gelapku
tanpa cinta juga airmata

disinilah...
di ruang hampa tanpa kobaran jiwa
tanpa kebaikan menyelimutinya, penyesalan...


poem by Dita Oktamaya

Dia Bagiku

Dia Bagiku...
bukanlah nilai juliet di mata romeo yang mencintainya
bukanlah nilai keindahan yang terdapat pada cantiknya bunga
bukanlah nilai uang yang membutakan segala pesona yang ada

Dia bagiku...
bukanlah sekedar kata tanpa makna
bukanlah sekedar fungsi duri pada mawar yang melindunginya

Dia bagiku adalah sederhana
begitu sederhananya hingga ia begitu amat sangat berharga
ia tidak lemah, tapi ia butuh cinta dari setiap orang yang dicintainya
ia tidak indah, tapi senyum yang diukirnya sanggup membuat dunia larut bersama
ia sederhana...

Dia bagiku adalah sederhana
karena kesederhanaannya dapat membuatku tegar menatap dunia
isak tangis dan luapan derita dibalutnya dengan seksama
tangan lembut yang menyambutku di setiap tetes airmata
canda tawa yang membuatku larut dalam fantasi yang bahagia

Dia bagiku begitu berharga
kesederhanannya dan nilai dirinya di mataku
nilai dirinya yang tertanam jauh di lubuk hatiku
membuatku sadar dan mengerti
dia bagiku adalah sahabat untuk selamanya

poem by Dita Oktamaya

Aku VS Mama

Di kantin sekolah saat istirahat.

“Setiap kali selesai nerima telepon nyokap pasti selalu nanya, ‘Itu siapa? Mau apa dia nelepon kamu?’ begitu… terus. bayangin dong, selama 16 tahun hidup gue tersiksa gara - gara nyokap selalu nanya hal - hal nggak penting tentang gue.” ceritaku, pada Reni, sahabat yang selalu setia nyediain telinganya untuk mendengarkan ceritaku kalau lagi kesal sama mama. Reni tersenyum jengah padaku sambil geleng - geleng kepala.

“Ya wajar dong Yas, dia kan nyokap lo.” jawab Reni. Aku merengut sambil menyeruput minumanku.

“Waktu itu gue pernah berantem sama nyokap. Bener - bener berantem, nggak tau deh lo percaya atau nggak.” ujarku sambil menggigit - gigit sedotan. Reni tersenyum.

“Lo udah pernah cerita sama gue sebelumnya. Yang lo bilang lo duet jerit sama nyokap kan?” tanya Reni. Aku mengangguk.

“Gue pengen kabur dari rumah, Ren.” ujarku yakin. Reni melotot padaku.

“Gila ya lo, lo pikir dong gimana nanti nyokap bingung nyariin lo, jangan konyol deh, Yas.”

“Tapi gue udah nggak tahan, Ren. Pengen berontak!” seruku yakin, Aku selalu bersemangat kalau sedang membicarakan minggat dari rumah. Reni menggeleng - gelengkan kepalanya.

“Lo udah nggak waras ya. Coba lo pikir, lo tidur di jalanan, makan dari tong sampah, pake baju bolong - bolong, masuk angin. Nggak mau kan? Makanya nggak enak minggat dari rumah.” mendengar itu nyaliku seketika menciut.

“Terus gimana?” tanyaku bingung.

“Ya nggak ada pilihan lain. She’s your mother , harusnya lo seneng dong diperhatiin.” jawab Reni. Aku menggaruk - garuk kepalaku yang sebenarnya ku rasa tidak gatal.

* * *

Di rumah sepulang sekolah

“Kok baru pulang? Darimana aja kamu? Ponsel pake dimatiin segala.” pertanyaan yang sama yang selalu saja ditanyakan mama padaku.

“Ngerjain PR bareng Reni, Ma. Di rumahnya.” jawabku, malas.

“Tadi mama telepon ke rumah Reni…” ujar mama. Aku melotot, “Jangan coba - coba bohong ya sama mama.” lanjut mama.

“Ok, mama mau aku jujur?” tanyaku tak sabar. mama mengangguk.

Of Course dong, mama nggak pernah ngajarin kamu untuk bohong kan.” jawab mama.

“Aku udah gede, Ma. Umurku 16 tahun, hampir 17. Nggak bisa ya, Ma, sedikit… aja buat aku ngerasa nggak dikekang. Aku capek, Ma. Mama selalu aja nanya ‘Dari mana kamu? Kok baru pulang?’ padahal Mama tau seberapa jauh rumah kita sama sekolahku. Mama tau rumah Reni bersebrangan sama sekolahku kenapa Mama harus nanya Reni? Mama juga sebenarnya tau kan, Aku selalu matiin ponselku setiap naik bus, karena emang Mama yang ajarin Aku untuk ngelakuin itu. Mama juga tau kan kalo kita tinggal di Jakarta, di mana - mana selalu macet, Ma. Aku capek, Ma, selalu jadi anak kecil di mata Mama. Mama kira aku nggak bisa jaga diriku? Aku bisa, Ma. Bahkan jauh dari perkiraan Mama.” Aku pergi meninggalkan mama menuju kamarku, airmataku mulai mengalir, mungkin sudah saatnya Aku pergi dari rumah ini, tapi ke mana?

* * *

Di rumah Reni.

Aku memencet bel rumah Reni, malam ini hujan, Aku tidak membawa payung, alhasil tubuhku basah kuyup.

“Tyas?” Reni menatapku heran. Aku menggigil kedinginan.

“Hai, Ren.” sapaku.

“Dalam keadaan kayak gini lo masih bisa bilang hai. Ayo masuk.” suruhnya padaku. Aku mengikutinya.

“Ya ampun, Tyas. Kamu kok bisa kehujanan? Bik, tolong ambilin handuk dan masakin air hangat buat Tyas mandi ya.” suruh Tante Vera, mama Reni.

“Makasih Tante.” ujarku. Tante Vera tersenyum.

“Tante tinggal dulu ya. Ren, temenin Tyas ya.” Tante Vera berlalu dari hadapan kami berdua.

“Lo gila atau apa sih, Yas? Lo bener - bener kabur dari rumah?” Reni menatapku tak percaya saat melihat tasku yang berisi baju - baju dan buku - buku pelajaranku.

“Abis mau gimana lagi, Ren?” tanyaku, pasrah.

“ ‘Abis mau gimana lagi?’ Lo gila ya, anak macem apa sih lo?” Reni menatapku kesal.

“Ren, tolong… hanya untuk beberapa hari ini aja.” ujarku, yakin.

“Trus kalo udah ‘beberapa hari ini aja’ lo mau kemana? Mau jadi gembel?” Reni bertanya padaku, pertanyaannya sungguh pedas. Aku terdiam, “Nyokap protektif sama lo, itu berarti nyokap bener - bener sayang sama lo, kalo lo nggak suka lo tinggal ngomong.” Reni merangkul pundakku yang masih basah. Aku tetap diam.

“Gue nggak tau harus apa, Ren. Gue capek.” ujarku akhirnya. Reni menatapku.

“Kalo capek lo istirahat aja di kamar gue, tapi mandi dulu, gue nggak mau kamar gue basah gara - gara lo.” jawab Reni. Aku menghela napas.

“Maksud gue bukan itu, Ren.” kataku gemas. Reni menatapku, bingung.

“Maksud lo?” Reni setengah berpikir.

“Udahlah. Gue mau mandi dulu ya?” Reni mengangguk dan tersenyum.

“Ya udah sana, udah basah kuyup gitu, ntar masuk angin lagi lo.”

Selesai mandi rasanya segar, sesaat Aku sedikit merasa bersalah, mama nggak tau Aku ada di sini. Aku terdiam dan menghela napas sejenak, memang terlihat sedikit konyol, kabur dari rumah. Tapi Setidaknya mama tahu apa yang sebenarnya Aku inginkan.

“Iya, Bu… Oh kenapa? Tidak apa - apa tenang saja, anggap saja dia sedang menginap di sini, ya… hitung - hitung menemani Reni. Mereka kan sahabat karib. Nggak ngerepotin kok, justru saya seneng. Iya, tadi dia basah kuyup, tapi sekarang dia lagi mandi. Ya sudah ya, Bu… Maaf mengganggu.” Aku mendengar percakapan Tante Vera yang pastinya dengan mama. Aku menghela napas lagi, mungkin ada baiknya kalau Aku pura - pura tidak tahu.

“Tadi Ibu nelepon mamanya Tyas.”

“Kok Ibu nggak bilang - bilang sama Aku sih?”

“Ibu nggak tega sama mamanya Tyas.”

“Aku juga nggak tega, Bu. Tapi harusnya Ibu bilang ke Aku dulu.”

“Ibunya Tyas bener - bener khawatir, Ren. Masa Ibu nggak mau kasih tau dia?”

“Tapi, Bu… Tyas itu lagi…”

“Udah. Yang penting mamanya Tyas tau kalo Tyas ada di sini. Jadi nggak khawatir.”

Aku mendengar percakapan Reni dengan Tante Vera. Aku tertunduk, mungkin Aku salah atau memang benar - benar salah karena telah pergi dari rumah.

Malamnya Aku tidak bisa tidur. Aku berusaha memejamkan mataku tetapi tidak bisa. Aku menatap Punggung Reni, Aku tahu Aku sangat merepotkannya hari ini, meskipun dia berkata tidak.

“Belom tidur?” tanya Reni tiba - tiba, yang jelas saja membuatku terkejut karena seketika saja dia berbalik badan ke arahku.

“Hah? Belom.” jawabku. Reni menatapku dan membenahi posisi tidurnya.

“Ngerasa bersalah?” tanya Reni. Aku terdiam, “Kalo ngerasa bersalah ya pulang dong!” lanjut Reni. Aku menatap Reni dengan seksama.

“Maaf ya, Ren. Gue udah banyak ngerepotin lo hari ini, dan mungkin untuk beberapa hari nantinya.” ujarku. Reni terkejut atas perkataanku, lalu dia menghela napas.

“Sebagai sobat yang baik. Cuma ini yang bisa gue kasih.” ujar Reni. Aku menatapnya dengan penuh rasa terima kasih

“Makasih ya, Ren.” ujarku sambil memeluknya. Reni tersenyum.

“Eh, tau nggak? Hal apa yang terindah dalam hidup ini?” Reni bertanya sembari melepaskan pelukkanku.

“Persahabatan?” jawabku tak yakin. Reni tersenyum.

“Itu yang kedua.” ujarnya. Aku menatap Reni bingung.

“Jadi apa?” Reni menatapku saat pertanyaan itu ku lontarkan dan duduk di atas ranjang.

“Lahir di dunia ini.” jawabnya. Aku ikut duduk di atas ranjang.

“Kok?”

“Kadang atau mungkin sering, kita selalu nanya kenapa kita dilahirin di dunia ini. Tapi Yas, seberapa banyaknya kita nanya pertanyaan itu nggak akan terjawab dengan sempurna.” jawab Reni. Aku kurang mengerti atas jawabannya.

“Gue nggak ngerti.” ujarku. Reni kembali tersenyum.

“Tadinya gue juga nggak ngerti, Yas. Tapi… akhirnya gue ngerti, saat gue berada di samping orang yang gue sayang.” Reni menepuk bahuku kemudian tidur kembali, “Lo nggak ngantuk?” tanya Reni. Aku terdiam.

“Gue masih nggak ngerti, Ren.” jawabku sambil kembali berbaring.

“Tentang?”

“Yang barusan lo omongin.”

“Udah. Udah malem, gue ngantuk, mau tidur.”

Aku menghela napas. Seperti kata - kata Reni yang tak Aku mengerti, entah kenapa pikiranku saat ini dipenuhi pertanyaan tentang mama. Sedang apa mama saat ini? Apakah mama mengkhawatirkanku atau tidak? Kenapa bukan mama yang menelepon ke rumah Reni melainkan Tante Vera yang menelepon ke rumahku? Aku terus bertanya - tanya dalam hati, Aku memejamkan mataku, meskipun terasa sulit entah kenapa aku sangat berharap bertemu dengan mama di alam mimpi.

* * *

Selamat pagi dunia! Aku tersenyum saat ku sadari Aku telah terbangun dari tidurku yang nyenyak.

“Tyas. benahi diri kamu lalu sarapan. Ok?” ujar Tante Vera. Aku menatap punggung Tante Vera yang berjalan menjauh dari hadapanku. Agak aneh ketika Aku menyadari Aku telah berada di rumah orang lain dan ketika ku sadari orang yang mengatakan hal itu setiap paginya, bukan mama.

“Pagi sobatku sayang, cerah banget.” sapa Reni saat Aku duduk di kursi meja makan. Aku tersenyum.

“Reni, ini ayah mau bicara.” ujar Tante Vera. Reni menanggapi dengan senang, diterimanya gagang telepon dari tangan ibunya.

“Ayah Reni kangen!” seru Reni. Aku terus menatap Reni yang sedang bercakap - cakap dengan ayahnya melalui telepon. Aku terdiam.

Ayah Reni berada di luar kota karena tuntutan pekerjaan, sedangkan ayahku, meninggal sebelum Aku dilahirkan. Itulah, kadang Aku merasa iri terhadap Reni, meskipun ayahnya di luar kota setidaknya dia masih bisa merasakan kasih sayang seorang ayah.

“Woy! Bengong aja lo. Ntar ayam tetangga mati lho.” Reni mengagetkanku. Aku tersenyum.

“Lo udah sarapan?” tanyaku. Reni mengangguk.

“Yas, tau nggak? Bokap gue lusa ini pulang!” seru Reni. Aku tersenyum lagi, ikut senang.

“Dapet oleh - oleh dong?” tanyaku, menggoda. Reni tersenyum.

“Nggak tau. Tapi yang terpenting bokap gue pulang.” jawab Reni. Aku terdiam, “Yas… maaf.” lanjut Reni. Aku tersenyum jengah.

I’m Okay. Nggak apa - apa lagi.”

“Yas… setelah gue pikir - pikir. Mungkin… nyokap lo kelewat protektif sama lo, karena… lo satu - satunya harta milik dia.” ujar Reni. Aku terhenyak mendengar kata - kata Reni. Bodohnya Aku!

“Kata ayah apa, Sayang?” tanya Tante Vera yang tiba - tiba hadir di antara kami berdua. Reni tersenyum.

“Ayah lusa mau pulang, Bu.” jawab Reni. Mereka berdua saling berpelukkan, “Baguslah. Kamu kangen sama ayah kan?” tanya Tante Vera lagi. Reni mengangguk dalam pelukkannya. Aku menatap mereka berdua dengan seksama, Aku tersenyum melihat keduanya. Entah mengapa Aku merasa sangat merindukan rumahku terutama isinya yang sangat berharga… mama.

* * *

“Tyas! Cepet bangun! Apa kamu mau terlambat ke sekolah?!” Ku dengar suara mama memanggilku. Aku terbangun dari tidur nyenyakku, ternyata keberadaanku di rumah Reni hanyalah mimpi. Aku bangkit dari tempat tidurku lalu berlari menuruni tangga menghampiri mamaku, lalu memeluknya.

“Mama!” seruku dalam pelukkannya. Mama terlihat kaget atas sikapku.

“Kamu ini apa - apaan sih? Cepat sana mandi, nanti telat lho!” Aku melepaskan pelukkanku. Mama berjalan menyiapkan sarapan.

“Ma…” panggilku. Mama diam saja tetap sibuk menyiapkan makanan, Aku tidak peduli, Aku harus mengatakan ini, “Makasih ya, Ma, udah ngelahirin Aku ke dunia ini, makasih… banget udah ngerawat Aku dari kecil sampe jadi diriku yang sekarang ini. Makasih karena Mama udah buat Aku ngerasain hal yang terindah dalam hidup ini.” mama menatapku usai ku katakan hal itu.

“Kamu ini kenapa? Kemarin marah - marah. Sekarang… tiba - tiba ngomong kayak gitu, kamu nggak sakit kan?” ujar mama sambil meraba dahiku. Aku tersenyum. Mama menatapku, ku lihat setitik air jernih jatuh dari mata mama. Aku menyapunya.

“Mama nangis?” tanyaku. Mama tersenyum dan memelukku.

“Maafin mama ya, karena udah terlalu protektif sama kamu, jadi buat kamu ngerasa terkekang.” ujar mama. Aku tersenyum lepas. Pelukkan mama sangat hangat terasa di tubuhku.

“Harusnya Aku yang minta maaf, Ma. Aku nggak ngerti dan nggak berusaha nyari tau apa yang Mama mau.” jawabku. Mama melepaskan pelukkannya kemudian mencium keningku.

“Kamu adalah harta berharga dalam hidup Mama. Mama cuma nggak mau kamu kenapa - kenapa. Karena kamu, Mama kuat jalanin hidup tanpa papa.” ujar Mama. Aku tersenyum.

“Aku sayang mama.” mama tersenyum mendengar kata -kataku.

“Mama juga sayang sama kamu.” jawab mama. Kami berpelukkan lagi.

Kini Aku mengerti perkataan Reni waktu di mimpiku. Reni benar, hal terindah dalam hidup ini adalah saat kita terlahir di dunia ini, memang tidak akan terjawab dengan sempurna kenapa kita terlahir ke dunia ini, tapi segalanya akan jadi sempurna ketika kita berada di samping orang yang kita sayangi.

Dan buatku… mama adalah lebih dari orang yang Aku sayang. Mama… adalah harta berharga bagiku dan memiliki mama adalah hal terindah dalam hidupku, saat ini dan untuk selamanya. Terima Kasih Mama.



Tamat


Story by Dita Oktamaya

Pangeran Alam Mimpi

Mungkin kau merasakan ini

Aku pun tertawa geli

Dengan matamu yang jeli

Kau bawa aku ke alam mimpi

Ingin sekali kau ku kelitiki

Agar aku kau bawa pulang kembali

Akhirnya, aku pun kembali

Di saat yang ku nanti - nanti

Kau nyatakan isi hati

Kau ingin memulai percintaan ini

Agar indah hidupku nanti

Namun, kau harus pulang ke alam mimpi

Aku tak tahu harus bagaimana ini?

Aku bersumpah tidak aka melupakan pertemuan ini

Sampai jumpa pangeran alam mimpi

Bila esok kau tidak kembali

Akan ku tunggu kau sampai akhir hidupku nanti

poem by Dita Oktamaya

MY LITTLE GIRL

My Little girl...
u may never know wht i'm feeling inside
when in the sudden u came to my life
u may never know wht i really wnt to do coz feel so happy
when u said u will call me onni from now
u may never know how a big thankful to God
when i found treasure tht is u

my little girl...
u know i love u more
u know i always trying to protect u
u know i always finding hard when heard tht u not ok
u know i always want to accompany u everysecond in my life

my little girl...
did u know i also cry whn u cry?
did u know my heart is so pain whn u said u got heartache?
did u know i will die if i lost u?
did u know i can't do anything if u leave me?
did u know about tht?

my little girl...
i wnt u to know smthng about me
as u know i'm unperfect girl
i can't always beside u everyday even my heart always pretend
i'm just poor girl tht always wnt to provide shoulder to u
i juz an ordinary girl tht had nothing exept my heart and hand
heart to love u and hand to swept away everytears fall down from ur eyes
i juz silly girl tht wnt to make u smile and happy and also comfortable whn u spent time with me
i juz unperfect girl dear...
tht always wnt to give perfect thing in my life to u...

my little girl...
u muz know about it
u muz know i love u not coz of u cute
i care for u not coz of u rich
i wnt to be ur onni forever in my lifetime not coz of people also wnt to be like tht
but...
i love u coz u're my little sister
i care for u coz u're everything for me
i wnt to be ur onni forever coz u're my treausre tht i wnt to keep always

my little girl...
thankful u already enter to my life
choose me as ur onni is my proudness
and i wnt u to know one thing
i always around u, from far away i'll protect u
u may can't see but u can feel tht i'm there, accompany u...
i'll be by ur side and stay there
so u can be strong girl whn u not ok
coz i'm sure in ur heart u already keep me deep inside, as i do for u...
i always keep u in my deep heart and u will stay there forever...
don't ever change ur self little girl...
coz for me u're not juz cyber yuh dong seng but u're real...
and juz wnt one word tht i can say about my life since u came, COMPLETED!

poem by Dita Oktamaya

Nothing But Love

Saat mata ini tertutup rapat
saat keputusasaan merajai diri
saat airmata ini mengalir dengan deras

terlintas dibenakku apa yang dapat membangkitkanku
menjagaku dari kepedihan rasa dalam setiap tawa
menghangatkanku dari dinginnya hujan di setiap deras yang mengalir

bukan perban atau kain kasa
bukan selimut atau baju hangat
bukan tali panjang atau tongkat kuat
bukanlah semua itu yang aku butuhkan!

dan bukan hanya secercah cahaya harapan belaka
tetapi... cinta

poem by Dita Oktamaya

Thursday, November 27, 2008

Perasaan

Saat rasa dalam dada terusik dengan datangnya kegelapan
sering terucap di benak “Apa yang harus dilakukan?”

Saat diri ini mendapatkan pukulan jiwa karena rentannya kasih sayang
sering terucap di benak “Mengapa Ini yang terjadi?”

Saat ego merajai diri tanpa hadirnya sang sahabat
sering terucap di benak “Sedang apa aku di sini?”

Hingga tiba saat di mana raga ini menemukan ribuan kesalahan diri
begitu rapuh…
tanpa adanya kemampuan untuk memperbaiki diri
sering terucap di benak permohonan maaf yang takkan pernah terhenti

poem by Dita Oktamaya

Selamat Tinggal, Rey…

Di teras rumahku. Rey terdiam, sambil sesekali memainkan kunci motornya. Aku pun ikut terlarut dalam diamnya.

Fine. Sekarang… mau apa lagi lo ke rumah gue? Bukankah segalanya udah jelas? Udah nggak perlu diperpanjang lagi kan?” Aku menatap Rey dengan tajam.

“Karra, gue bener - bener minta maaf, gue nggak bermaksud buat lo nggak nyaman karena gue.” ujar Rey yang membuatku tambah muak.

“Karena sifat lo?” tanyaku dengan nada datar.

“Iya.” jawab Rey.

“Dengan perilaku lo yang waktu itu?”

“Iya.”

Rey seketika itu memelukku erat, ku rasakan ketulusan yang murni dari hati Rey, lalu dengan segera ku lepas pelukkannya dari tubuhku.

“Rey, kita tuh nggak ada hubungan apa - apa.” ujar ku tertahankan, Aku pun beranjak dari tempat dudukku, Rey mencegahku untuk pergi dengan menggenggam tanganku, Aku menatapnya malas.

“Kar, maaf… banget, tentang sikap gue yang waktu itu, gue bener - bener nggak sadar.” Aku melepaskan genggaman Rey dari tanganku, Aku kembali duduk di tempat semula.

“Gue nggak harus berhubungan dengan lo lagi kan.” ujarku kemudian.

“Kenapa?”

“Karena kita beda.”

“Kita sama, Kar. Kenapa lo ngerasa kita beda?”

“Apa lo nggak cukup ngerti?”

“Maksud lo?”

Aku mendekatkan wajahku dengan wajah Rey, Aku menatap wajah Rey dengan seksama.

“Gue minta maaf waktu itu udah sembarangan nyium bibir lo.” ujar Rey. Aku diam.

“Rey…” panggilku. Rey menatapku, pasrah, “Kita nggak harus berhubungan lagi kan? Gue udah capek dengan semuanya, Rey.” lanjutku. Rey mengenggam tanganku erat.

“Tolong, Kar. Gue sayang banget sama lo, gue cinta lo.” Rey mencoba meyakinkanku. Aku menggeleng.

“Hubungan kita nggak boleh lebih dari temen. Tolong Rey, ngertiin gue.” ujarku hampir menangis. Rey menatapku sesaat, Rey terdiam. Akhirnya ku lepaskan airmataku yang menggenang, perlahan dia menyapu airmataku.

“Gue ngerti, maaf ya.” ujar Rey, pelan, sembari mencium keningku, lalu dia beranjak dari tempat duduknya. Aku masih menggenggam tangannya. Dia tersenyum, “ Nggak apa - apa. Bukankah perasaan seseorang itu nggak bisa dipaksa? Maaf ya gue udah mengganggu kehidupan lo.” lanjutnya sambil menepuk pundakku dan melepaskan genggamanku.

Rey berjalan menjauh dari hadapanku, menaiki motornya yang mengeluarkan suara bising. Suara bising motor Rey perlahan tidak terdengar lagi di telingaku. Aku menatap berkeliling, kehampaan di teras rumahku makin terasa. Banyak hal yang Aku lewati bersama Rey, banyak pula hal yang membuatku luluh karenanya. Aku memang sangat menyayangi Rey, tetapi rasa sayang yang ku rasakan bukanlah rasa sayang yang dirasakan seorang kekasih terhadap pujaannya melainkan rasa sayang layaknya seorang adik terhadap kakaknya.

Rey telah pergi meninggalkanku, Aku tahu dia tidak akan pernah kembali lagi dalam kehidupanku. Selamat tinggal Rey… bukannya Aku tak menyayangimu, tapi berat bagiku untuk menerimamu sebagai kekasihku. Ingatlah Rey, kau adalah orang yang sangat pantas mendapatkan kasih sayang, Aku yakin suatu saat kau akan menemukan seseorang yang memang benar - benar mencintaimu, tapi yang pasti seseorang itu bukanlah Aku. Dan ingatlah selalu Rey, bagiku kau adalah kakak tercantik yang pernah Aku miliki.


Tamat


Story by Dita Oktamaya

Pulang

Dalam...
hendak ku lihat tatapan nanar itu
tapi urung aku melakukannya

Hening...
hingga begitu keras degup jantungku
"ada apa denganku?"

perlahan ku raih tanganmu, mengusap lembut wajahmu
tangis itu... menyayat hatiku

andai aku dapat memilih
tapi tidak!
Hidup ini bukan hanya sekedar pilihan
tapi tanggung jawab dan keberanian

aku menatap wajahnya sekali lagi
masih menangis...

aku akan merindukanmu, ibu
hingga tiba waktunya pulang
izinkan aku untuk pergi sejenak

dengan sejuta kebanggaan yang akan ku berikan padamu nanti
dengan sejuta ilmu pengetahuan yang baru dari samudera lain itu

untuk sekali ini saja
dan nanti aku kembali bersamamu, pulang...

poem by Dita Oktamaya

You

You know...
i can't focus for everything i do nowadays
i feel strange!
don't know whts wrong with me
i can't stop thinking about it!


i guess, i can't forget...
the way u smile
the way u close ur eyes by ur finger to tease me
the way u joking and say hello to anyone
the way u being humble every situation

whn i thinking back about it, i thought may be i juz adore u...
whn u always do ur best to help all people around u
whn u always be ur self no matter it happen
whn u remind me to always praying to God
whn u give me some advise for my problem
whn u said tht problem muz be has escape

but...
i still feel confuse!
why my heart always beating?
whn u hold my hand
whn u talk to me even it juz say hello
whn u said 'glad to meet u' to me
whn u take me to ur arms whn i'm not ok

then i thinking about it, again!
and i thought u made me going crazy

because...
i juz relize i love every time i spent with u
and i always enjoy tht moment

finally...
my heart make conclusion
tht i love u, ya... i love u...
it's not juz guesses!
and i never hestitate to considered about it
cause my heart has choose u
choose u to filling empty room there, in deep inside...

poem by Dita Oktamaya

Tertatih

menatap sekeliling
sedetik, sedetik..
dan kemudian aku pun terdiam

hampa saat ini,
dengan bermodal airmata, ku balut luka
sedikit, sedikit...
dan aku pun tertatih
merintih karena sakit, terluka...

memandang langit seakan runtuh
dengan menengadahkan tangan ke atas, aku pun berdoa
bersimpuh sujud kepada Yang Kuasa

masih terasa guncangan itu hingga saat ini
jeritan dan isak tangis
dan segala derita

aku menguburnya
dalam, dalam...
meski hingga saat ini
gempa itu merenggut paksa kasih sayang keluargaku

aku masih disini, bertahan dengan kesendirian
tertatih...

poem by Dita Oktamaya