Hari ini saya menghabiskan hampir sepanjang hari dengan teman saya yang sudah sangat lama menghilang dari kehidupan kampus. Ya, Namanya Tita. Pratita Hening Pusparanti.
Dulu, ketika awal masuk kuliah, saya takut berkenalan dengan dia. Alasannya? Karena wajahnya yang terlihat antagonis dan sorot matanya yang tajam. Namun, memang saya yang tidak bisa jika tidak berkenalan dengan orang yang nantinya akan merasa nasib yang sama dengan duduk di dalam ruang kelas yang sama, maka saya pun berkenalan dengan dia. Pada akhirnya pun kami menjadi teman dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, saya, dia, dan Jessica (saya pernah menulis tentang Jessica di postingan yang lalu).
Saat pertama kali kuliah, karena rumah yang berjarak cukup jauh dari kampus, kamar kos saya pun dijadikan rumah kedua bagi mereka. Jika saya dan Tita hanya tidur, makan, menggosip, tertawa tanpa membenahi kamar, maka Jessica yang membenahi kamar saya, bergumam sambil sesekali tertawa melemparkan lelucon bahwa saya dan Tita seperti anak-anak yang merepotkan ibunya (jessica). Begitu seterusnya, keseharian yang dilakukan secara berkala hingga saya terbiasa dengan kebersamaan yang menyenangkan bersama mereka.
Hingga pada semester berikutnya kami disibukkan dengan kesibukan kami masing-masing, Jessica yang melakukan pertukaran pelajar di Korea Selatan, Tita yang diterima kerja di sebuah Wedding Organizer, dan saya yang (tanpa ada perubahan sama sekali) ditinggalkan oleh mereka.
Kesendirian yang saya lalui tanpa mereka membuat saya banyak merindukan rumah di Jakarta. Kerinduan saya akan Jakarta tidak serta merta menjadikan saya anak rantau yang cengeng yang melulu minta pulang ke kampung halaman, tidak. Kesendirian itu membuat saya mencari berbagai macam kesibukan yang saya harapkan bisa membuat otak saya sibuk. Menjadi relawan penerjemah kegiatan sukarela orang-orang Korea, menjadi penulis paruh waktu di sebuah distributor naskah, mengikuti kegiatan kesenian perkusi tradisional Korea Selatan, dan mengikuti perkumpulan tari tradisional Indonesia. Cukup banyak kegiatan, memang, karena yang berada di pikiran saya pada saat itu adalah bagaimana saya menyibukkan diri saya agar saya tidak menjadikan diri saya manusia cengeng yang setiap hari berharap bisa dipeluk oleh mama. Ya, Pada saat itu saya menjadi cukup sibuk, tetapi saya tetap saja masih memikirkan mereka, saya masih merindukan mereka.
Saya rindu kebersamaan saya dengan mereka. Rindu dengan lelucon-lelucon ringan yang sering kami lontarkan. Rindu kenakalan kami yang menyebrang rel kereta api dan memanjat pagar rel kereta api hanya demi Tita yang ingin berburu foto di Festival ulang tahun Jogja. Rindu bermain di sekolah Tita dan Jessica yang dulu berasal dari satu sekolah yang sama. Rindu kebrutalan kami makan nasi dengan lauk banyak karena kami tahu harganya sangat murah. Rindu makan es krim bersama ketika perasaan kami sama-sama tidak baik. Rindu belajar masak sayur dengan teman kos saya yang adalah vegetarian. Rindu memberantaki kamar saya dengan remah cemilan yang tidak pernah sanggup saya habiskan sendirian. Saya rindu waktu yang saya habiskan dengan mereka.
Hari ini saya banyak bercerita dengan Tita. Sepertinya beberapa jam menghabiskan waktu bersama, tidak cukup jika hanya untuk bercerita tentang perubahan yang saya dan Tita rasakan.
"Kayaknya cuma kamu yang enggak berubah ya, Dit."
Pernyataan Tita yang sedemikian itu membuat saya banyak bertanya-tanya. Apa iya?
"Iya ya?"
"Iya. Masih dengan cara dandan yang sama, cara bicara yang sama, cara ketawa yang sama. Masih sama seperti Dita yang pada tahun 2009 itu pertama kali aku temuin, atau mungkin perubahannya enggak kelihatan ya?"
"Enggak tahu juga sih aku, Tit."
Jika saya boleh memberitahu, Tita dan Jessica adalah teman yang mengerti saya ketika mood saya sedang tidak stabil. Ketika saya sedang ngambek, ketika saya sedang kesal (yang kebanyakan saya sebabkan oleh diri saya sendiri). Mereka lah yang memandang saya tanpa protes dengan sikap saya yang tiba-tiba menghebuskan napas berat karena sedang menahan kesal. Jika Jessica menenangkan saya dengan menggoda saya dengan canda ketika saya sedang kesal, maka Tita akan melengos pergi dengan senyum yang seolah-olah berkata 'cari aku lagi nanti ketika kamu sudah tenang'.
Jujur, semua kesal dan marah saya tidak pernah disebabkan oleh mereka, maka dari itu terkadang saya suka terharu ketika mereka masih dengan begitu rela berada di samping saya yang wajahnya ditekuk seperti kertas yang memiliki bekas lipatan, lecek.
"Tidak seharusnya kamu terus yang menyesuaikan, orang lain juga seharusnya nerima kamu, apa adanya kamu kalau mau temenan sama kamu."
Dulu, Tita pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan saya ingin memperbaiki apa yang tidak disukai atau hal apa yang dari saya yang tidak cocok dengan seseorang.
"Kalau dia enggak mau temenan sama kamu, kamu masih punya aku, masih punya Tita."
Dulu, Jessica pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan apa salah saya sehingga saya dijauhkan dengan seseorang yang merasa tidak cocok dengan cara saya berteman.
Mereka yang menenangkan saya ketika saya tidak bisa mengontrol perasaan saya yang tidak stabil. Dulu saya adalah orang yang banyak memikirkan bagaimana saya harus bersikap, sehingga banyak hal yang membuat saya down akibat memikirkan masalah yang tidak penting. Sekarang, berkat mereka saya menjadi pribadi yang lebih rileks, lebih banyak menggunakan logika yang tidak serta merta menjatuhkan diri saya akibat kekesalan terhadap diri saya sendiri karena telah membuat orang lain tidak nyaman.
"Sekali-sekali pikirkan tentang diri kamu, Dit. Tidak semua hal bisa kamu perbaiki sendiri, ada saatnya orang yang harus nerima kamu."
Tita dulu pernah menekankan hal itu pada saya. Saya jadi banyak berpikir sebenarnya cara macam apa yang saya lakukan sehingga mereka menjadi begitu amat sayang terhadap saya, tetapi di sisi lain ada orang yang meninggalkan saya karena enggan berteman dekat dengan saya. Entahlah. Saya juga tidak tahu.
"Banyak hal yang udah berubah di kampus, Dit. Kadang aku jadi semakin enggak nyaman karena sadar aku enggak nerima apa-apa, enggak dapet apa-apa di sini. Aku senang kok, kita balik lagi kayak dulu, cerita-cerita kayak gini. Karena selama beberapa semester kita jarang ketemu karena sibuk masing-masing, aku jadi ngerasa kesepian, kayak enggak ada teman yang benar-benar cocok."
Pernyataan Tita tentang tidak adanya perubahan dalam diri saya perlahan mulai saya mengerti, ya itu bisa jadi harapannya karena terlalu banyak perubahan yang terjadi hingga kami semua dipaksa untuk keluar dari zona nyaman. Jika sudah sama-sama merasa tidak nyaman, biasanya saya sering bertanya kepada mereka apa yang seharusnya saya lakukan untuk membuat mereka merasa lebih baik dan biasanya mereka akan menjawab, "Jajanin es krim, Dit." atau "Makan yuk, tapi maunya dibayarin sama kamu."
Namun, sekarang berbeda, kini mereka hanya tersenyum kecil dengan ketulusan yang masih sama seperti dulu, bedanya senyum itu seolah mengatakan "Tidak, Dit.Yang ini... tidak bisa kamu perbaiki." dan saya pun akan mengangguk tanda mengerti. Ya, saya paham, tidak semua hal bisa saya perbaiki sendiri. Apalagi perubahan yang terjadi secara signifikan.
Saya jadi teringat tulisan Djenar Maesa Ayu, yang membuat saya tergelitik setiap membacanya :
"Ketika tidak ada keabadian, perubahan menjadi proses yang amat membosankan."
Perubahan. Ah, setidaknya saya tahu satu-satunya hal yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri. Well, semoga kalian selalu dalam keadaan baik-baik saja dan apapun perubahan itu, semoga menjadi perubahan yang membawa kalian menjadi orang yang lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya.
by Dita Oktamaya