Wednesday, March 11, 2009

Pacarku... Double!?

“Anti!” teriak Danu tepat di wajahku. Aku terhenyak, lalu memukulnya pelan.


“Sialan lo! Kaget tau!” seruku. Danu duduk di sebelahku sambil membenahi rambut jabriknya.


“Kenapa sih lo?” ujar Danu yang memandangku dengan tatapan sok imut. Aku diam. “Lo nggak tau, apa nggak mau kasih tau?” lanjutnya. Aku tetap diam. Danu terlihat pucat.


“Lo kenapa, Nu?” Aku bertanya khawatir. Sekarang gantian Danu yang diam. “Lo nggak tau, apa nggak mau kasih tau?” godaku, dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaannya. Danu nyengir kuda.


“Gue laper, Ti.” jawab Danu akhirnya. Aku menggelengkan kepala.


"Dasar lo! Ya udah pesen makanan aja, banyak pilihan di sini.” jawabku sambil mempromosikan café keluargaku. Danu beranjak dari tempat duduk, terlihat dia sedang memilah - milih makanan yang pantas dimakannya hari ini.


“Yang ini, Ti?” Danu berteriak padaku sambil menunjukkan sebuah cheese cake. Aku tersenyum sambil mengangkat jempol tanganku. “Ya pastinya lo bilang enaklah, orang ini café lo.” Danu kembali duduk di sebelahku sambil menikmati cheese cakenya.


“Pelan - pelan makannya, kalo pelanggan dateng langsung lo lahap semuanya, biar mereka nggak curiga makanannya terkena racun karena lo.” godaku lagi. Danu hanya nyengir kuda dengan makanan yang memenuhi mulutnya.


* * *


Panas matahari siang menyengat kulitku, Aku duduk di bawah pohon rindang belakang kampusku untuk menghidari sengatan matahari itu. Dari kejauhan ku lihat Danu datang menghampiriku dengan senyum yang sumringah.


“Baru dapet makanan gratisan, Nu?” tanyaku asal. Danu tetap tersenyum.


“Bukan.” jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi.


“Terus?”


“Ya nggak ada terus, pokonya hari ini gue lagi seneng aja.” jawabnya lagi. Aku meletakkan telapak tanganku di dahinya.


“Nu, lo nggak…”


“Ya nggak lah!” potong Danu langsung menepis tanganku. Aku tertawa.


“Maaf sayang aku telat.” Ryan tiba - tiba berada di antara kami berdua.


“Nggak apa - apa kok.” ujarku sambil menggandeng manja lengan Ryan, “Lagi pula Danu dari tadi nemenin, gue pergi dulu ya, Nu.” lanjutku, sambil beranjak pergi bersama Ryan.


* * *


Aku menyelesaikan catatanku dengan cepat, dengan cepat pula Danu datang menghampiriku dengan sorot mata yang tak seperti biasanya.


“Nu, lo kenapa lagi sekarang?” tanyaku, khawatir. Danu menatapku, angkuh.


“Gue nggak suka lo tadi ninggalin gue gitu aja, lo anggep gue apa sih?” tanya Danu geram.


“Lo marah?” tanyaku.


“Marah?!” mata Danu terbelalak, “Masih nanya gue marah atau nggak?!” Danu membanting buku dan duduk dua baris di seberangku. Aku menghampirinya.


“Nunu sayang, maaf ya… tadi gue nggak bermaksud ninggalin lo, tapi lo kan tau sendiri, gue sama Ryan udah jarang ketemu, tadi itu moment - moment yang udah gue tunggu - tunggu dari kemaren - kemaren.”


“Iya! tapi tadi gue dibuang gitu aja!”


“Lho gue bener - bener nggak bermaksud begitu… aha! gue tau… lo pasti cemburu kan sama gue?” Danu terlihat tersentak saat Aku menanyakan hal itu padanya, ku kira… Aku langsung menepisnya. Sahabat saling suka? Bukankah rasanya akan aneh?


“Gue nggak cemburu!” seru Danu. Aku segera memeluknya.


“Maaf, nggak lagi - lagi deh… lain kali, you one. Ok?” rayuku. Danu akhirnya tersenyum membalas pelukkanku seperti anak kecil.


* * *



Aku berpikir keras. Apa mungkin Danu menyukaiku? Lalu bagaimana dengan Ryan? Apa Aku mencintai Ryan? ataukah Danu? Aku memutar otakku, pusing banget!


“Kamu lagi apa sih, sayang?” tiba - tiba Ryan memelukku dari belakang. Aku terkejut.


“Lho, kok kamu ada di sini?” tanyaku, salah tingkah. Ryan menatapku bingung.


“Kamu kok pucat? Mau aku beliin obat?” tanyanya tanpa peduli dengan pertanyaanku. Aku menggeleng.


“Kamu kok ada di sini?” Aku mengulang pertanyaanku. Ryan mengangkat satu alisnya.


“Keluarga kamu buka café untuk umum kan?” tanyanya. Aku baru sadar bahwa ternyata kami berdua berada di café keluargaku.


“Aku lupa.” jawabku. Ryan tersenyum.


“Kamu kurang istirahat tuh, makanya jangan capek - capek.” Ryan memberiku nasehat. Aku mengangguk.


“Tapi aku ada tugas, dikumpulinnya minggu depan, boleh aku ngerjain sekarang?” tanyaku manja. Ryan menggeleng.


“Istirahat dulu lah, babe… kamu tuh udah bener - bener capek. Nanti aku bantuin bikin tugasnya deh, kalo perlu aku yang kerjain.” ujarnya. Aku tersenyum. “Kamu kalo lagi senyum manis deh.” tiba - tiba Ryan mencium keningku, Aku terhenyak, ini memang bukan kali pertama Ryan menciumku. Setiap kali Ryan menciumku pasti ada sesuatu yang membuatku senang, Tapi… kenapa getaran itu sekarang hilang?


* * *



“Ti, tebak sekarang gue lagi bawa apa?” Danu bertanya dengan ceria, sambil menyembunyikan tangannya di belakang. Hari ini dia cukup… keren! Ups!


“Apa?” tanyaku penasaran.


“Tebak dulu dong!” suruhnya. Aku pura - pura berpikir.


“Gue nyerah.” jawabku. Danu tertawa.


“Lo kan belom nebak tau! nih…” Danu menunjukkan blackforest kecil dengan lilin di atasnya bertuliskan 19 kepadaku.


“Buat siapa?” tanyaku, heran.


“Ya buat siapa lagi? Buat lo lah.” ujarnya, “Selamat hari burung!” serunya. Aku tertegun.


“Gila ya, gue lupa ultah gue sendiri.” ujarku. Danu memelukku.


“Ya wajarlah. Lo kan emang suka gitu.” Getaran ini… saat Danu memelukku, sama seperti pertama kali Ryan menciumku! Apa ini berarti…


Happy birthday, honey!” ujar Ryan yang selalu datang tiba - tiba di antara kami berdua.


“Ryan?” Aku bertanya heran, entah kenapa Aku merasa kesal dengan kehadiran Ryan pada saat Aku sedang berdua dengan Danu. Ryan memelukku, pelukkannya masih hangat terasa. Tak sengaja tatapanku tertubruk pada Danu. Danu sedang menatap Aku dan Ryan dengan tatapan dingin yang penuh keangkuhan seperti saat dia marah padaku saat itu. Asyik dia cemburu!


“Aku mau traktir kamu sama Danu bareng - bareng, mau ya?” tanyaku sembari melepaskan pelukkannya. Ryan mengangkat satu alisnya.


“I have something to do. I’m so sorry, honey.” ujarnya seperti biasanya. Tapi entah kenapa Aku amat senang mendengarnya.


“Jadi, cuma aku sama Danu aja? Nggak apa -apa?” tanyaku pura - pura khawatir.


“Lho, bukan biasanya kayak gitu, kenapa harus apa - apa?” Ryan balik bertanya. Aku tersenyum. Ryan mencium pipiku, Aku langsung melepasnya. Aku takut Danu cemburu.


“Aku nggak enak sama Danu.” ujarku. Ryan tersenyum.


I know. Aku pergi dulu ya sayang.” Ryan berlalu dari hadapan Aku dan Danu.


So… Lo mau traktir gue apa?” tanya Danu ketika Ryan menghilang dari kejauhan.


“Yang jelas, gue nggak mau nraktir lo di café gue. Rugi.” jawabku. Danu tertawa sambil mengacak - acak rambutku.


“Yup! kita pergi sekarang?” tanya Danu.


“Gue ganti baju dulu yah.” ujarku. Danu mengangguk.


Don’t be late!” serunya.


“Awas lo, jangan maling di rumah gue!” seruku sambil beranjak menuju kamar.

* * *


Suasananya romantis juga, sayang ini masih agak kesorean, kalau malam hari pasti banyak lilin - lilin dinyalain.


Hello! gue nggak lagi jalan sama patung kan? Lo kenapa sih dari tadi diem aja?” Danu memecah kesunyian.


“Tempatnya bagus, Nu.” jawabku. Danu berhenti berjalan dan menggenggam tubuhku. Aduh Danu mau ngapain ya? jangan - jangan dia mau nembak gue! Aduh… gue harus jawab apa nih? Hatiku terus bertanya - tanya


“Ti, lo nggak apa - apa kan, Ti? Lo nggak inget ya? Kita kan sering ke sini, terakhir kali kita ke sini juga baru seminggu yang lalu.” ujar Danu. Fuh… ku kira dia ingin ngomong apa.


“Oh… Ya ampun! gue lupa Nu!” seruku mencoba menutupi kebodohanku.


“Yaelah, masa tempat bagus gini juga lo lupain sih.” seru Danu. Aku tertawa.


Aku dan Danu melewati hari dengan indah. Entah apa yang di rasakan Danu, tapi saat ini Aku merasa amat bahagia. Kami duduk di antara obor - obor tua, ada satu obor yang membuatku bingung, kenapa masih sore begini, obor itu sudah menyala ya? tetapi kemudian Aku berteriak, obor itu meledak hampir mengenai Danu, Aku langsung menghalangi api itu dengan tangan kananku, Danu terlihat panik ketika menemukanku dengan keadaan telapak tangan terbakar. Aku menjerit kesakitan.


“Nu sakit banget Nu!” ku lihat Danu kebingungan, dan terdengar jelas orang - orang di sekitarku berteriak histeris, Aku tidak ingat lagi, tubuhku lemas, dan…

* * *


Are you ok?” tanya Danu. Aku merasa kepala dan telapak tangan kananku sangatlah sakit.


“Gue di mana, Nu?” tanyaku.


“Di rumah sakit, tadi lo pingsan, mungkin karena kesakitan, sakit banget ya?” tanya Danu. Aku mengangguk.


“Ya lumayanlah, Nu.” jawabku. Danu mengangguk.


“Makasih ya, Ti. Udah nolongin gue.” ujar Danu. Aku tersenyum. That’s what girlfriend are for, ups… that’s what friends are for! hehehehehe…


“Kamu nggak apa - apa?” Ryan seketika itu datang langsung memelukku.


“Nggak apa - apa.” jawabku.


“Tadi aku udah telfon mama sama papa kamu.” ujar Ryan. Aku terkejut.


“Mereka bisa panik! Kamu tuh kalo nelfon orang yang kira - kira dong, mereka tuh ada di Aussie, kerjaan mereka belom tentu juga udah selesai, aku nggak mau tau pokoknya kamu harus nenangin mereka.” ujarku, kesal. Ryan mengangguk.


“Iya, iya. Yang penting kan kamu sekarang nggak apa - apa, tadi waktu aku tanya dokter, aku telfon mereka lagi.” Ryan mencoba menenangkanku. Aku manyun, “Jangan merengut gitu dong sayang, maaf ya.” lanjutnya.


“Aku mau tidur.” jawabku. Ryan mengangguk. Aku langsung memejamkan mata, pura - pura tidur.


“Ya udah gue pulang dulu ya.” ujar Danu.


“Tunggu Nu, ada yang mau gue omongin.” ujar Ryan. Aku terkejut, aduh… apa mereka akan bertengkar gara - gara Aku?


Mereka berdua keluar dari kamarku dan berdiri di ruang tunggu yang suasananya sudah sepi itu. Diam - diam Aku mengintip mereka, suara mereka tidak terdengar! Aku pun membuka pintu supaya ada sedikit celah sehingga Aku bisa mendengar percakapan mereka berdua.


“Aku khawatir banget sama kamu. Kamu nggak apa - apa kan?” Aku mendengar Ryan membuka pembicaraan.


“Aku nggak apa - apa, untung ada Anti.” jawab Danu. Wait a Minute, kok mereka ngomongnya pake aku - kamu?!


“Aku nggak tau apa yang terjadi sama aku kalo kamu sampe celaka.” ujar Ryan sambil membelai bahu Danu. Wait, wait! mereka tuh nggak lagi berantem gara - gara Aku ya?


“Yang penting kan sekarang kamu bisa liat aku di sini.” Danu berbicara sambil tersenyum, senyum itu di balas dengan Ryan. Mereka berpelukkan! Oh God! Aku benar - benar nggak ngerti, bukankah mereka seharusnya bertengkar karena mengkhawatirkan keselamatanku?


“Aku seneng bisa kayak gini sama kamu.” ku lihat Ryan mencium pipi Danu dengan mesra. Wait, wait, wait! Aku tuh nggak mimpi kan? Mereka berdua kan… cowok! KOK?!?! Aku merasakan mataku membesar, membesar dan membesar saat menyaksikan adegan aneh itu. Jadi selama ini… kecemburuan Danu, sorot keangkuhan dari mata Danu, semuanya... ditujukan karena Ryan, bukan karena Aku!


GUBRRAAKK!! Aku terjatuh karena tersandung keset kamar rawat milik rumah sakit.


“ANTI!” seru Ryan sambil melepaskan pelukkannya dari Danu. Ketahuan deh!


“Aku nggak bisa tidur.” ujarku, mengelak, takut dicap tukang nguping. Ryan terlihat salah tingkah begitu pula Danu. Udah nggak usah ditutup - tutupin, gue udah tau semuanya! seruku dalam hati.


“Kamu sejak kapan di situ?” tanya Ryan. Aku pura - pura santai.


“Udah lumayan lama sih.” jawabku. Ryan dan Danu terlihat pucat.


“Ti, Lo nggak… maksud gue, lo…” Danu berbicara dengan gugupnya. Aku tersenyum.


“Lo ngomong yang jelas kenapa sih, Nu.” ujarku. Mereka berdua terdiam. “Fine, mungkin aku emang harus jujur. Yan, tadi aku liat semuanya. Aku nggak nyangka ternyata kamu sama Danu…” Aku menghela napas dengan berat, ternyata masih ada rasa sakit di hatiku, ku kira kejenuhanku pada Ryan menjadikan alasan kenapa Aku tidak menangis melihat ini, tapi kasih sayang dan perhatian Ryan, membuat hatiku merasa tidak rela, “Aku nggak percaya kalo ternyata kamu ‘double’, Yan. Lo juga, Nu… gue kira, lo cemburu karena suka sama gue, ternyata…” Aku tersenyum.


“Ti, Aku…” Ryan mencoba menjelaskan. Aku menggeleng.


“Yan, Aku sayang sama kamu, sama Danu juga. Tapi, Yan… Aku nggak bisa terus.” ujarku, tegas. Ryan mengangguk tanda mengerti.


“Maafin gue ya, Ti. Lo… masih mau jadi sahabat gue kan?” tanya Danu. Aku mengangguk.


Why Not?” ujarku sambil tersenyum. Di balas dengan senyuman Danu dan Ryan.


Ada kelegaan di antara rasa sakit ini ketika ku lihat mereka berdua menatapku sambil tersenyum. Rasa sakit dan ketidakrelaanku memang hanya Tuhan yang tahu kapan rasa ini akan berakhir. Aku tidak tahu apa - apa, yang Aku tahu, Aku masih dapat menerima mereka menjadi ‘seseorang’ dalam hidupku.



Story By Dita Oktamaya

6 comments:

Senoaji said...

kemudahan bahasa kamu susun dengan baik, mungkin kalo sekarang bahasa kawula muda adalah bahasa tinlit[bener gak nulisnya?] ceritanya mengalur jelas. dan bobot cerita yaoi banget! asik!

Dita Oktamaya said...

to : senoaji
terima kasih mas...^^
hhahha..iya bahasa teenlit...^^
waaaaahhhh, wahahhh...pujian...bersiap untuk lebih baik dita, semnagat mas!!!~~~^^

NOVAN KURNIAWAN said...

cerpen nya bagus-bagus..
pen deskripsian udh cukup jls...bahasa yang di gunakan juga yang mudah dimengerti..bacaan nya cocok utk di berikan ke ank2 smp/sma
pengambaran dalam cerita lebih di tingkatkan lgi..buat si pembaca lbih seakan2 masuk di dalam cerpennya..kaya cerita karangan raditya dika
hehehe
knapa cerpen nya gak di bukukan aja jagi novel..atau coba tawarkan ke redaksi2 majalah atau apa
kan lumayan bisa dapet duit
hahaha

Dita Oktamaya said...

to : novan kurniawan
terima kasih yaaa...^^
waaahhh...kebetulan sekali,memang ada niatan seperti itu, ingin membantu???hehehehe...^^

Anonymous said...

Suka sama cerpen buatan dita.

Btw,
dita pnah nulis novel yaa ?
Coz, saya dapet alamat blog kamu kalo ga salah dari salahsatu novel yg pernah saya baca.

Selamat menulis Dita.
N gudlak 4 UN.nya !
.
Gimana Simak UInya ?
Lulus ?

Dita Oktamaya said...

to : phi
terima kasih phi...^^

oh, hha..belum phi, saya belum seberuntung itu hingga novel saya sudah diterbitkan, mungkin phi lupa?^^

sekali lagi terima kasih..^^

waahh...saya belum beruntung untuk masuk ke UI lewat SIMAK, mungkin lain kali, doakan saja..^^