Friday, February 27, 2009

Mohon Doanya...

Semuanya...

Saya minta maaf belum banyak dapat berbagi cerita lagi belakangan ini. Tentang dunia yang indah, tentang pejalan kaki di trotoar, tentang persahabatan saya dengan lingkungan yang membuat saya tetap mencari tahu kenapa manusia diciptakan berbeda.

Mohon maaf juga karena saya jarang menyapa kalian di sini akhir-akhir ini, percayalah saya pasti kembali, seperti lagunya pasto yang selalu jadi lagu favorit saya =)

Dan saya juga memohon maaf karena saya memohon doa kepada kalian semua, doakan semoga saya menjadi orang yang beruntung di antara orang-orang pintar dan semoga apa yang saya lakukan ditempatkan bersama dengan segala sesuatu yang berhasil.

Sekarang saya sedang berusaha untuk berpikir cerdas bukan berpikir keras.

Sekian dari saya, sungguh saya benar-benar merindukan kalian. Sampai bertemu kembali.

NB : SIMAK UI (Universitas Indonesia Tes) diadakan hari minggu tanggal 1 Maret 2009, doakan saya diterima di pilihan pertama saya (Sastra Korea) tahun ini. Amin.



by Dita Oktamaya

Saturday, February 7, 2009

Syair Untuknya

Syair ini kutulis untuknya yang mulia
yang darinya kupelajari makna kehidupan
yang memancarkan pesona meski enggan hati terpana

Syair ini kuserahkan untuknya yang setia
senantiasa ada ketika hati bergetar karena duka
teman berbagi ketika bahagia menyapa

Syair ini kutujukan untuknya yang duduk lelah di sudut ruang sederhana
menungguku tiba meski lelap ingin dirajuknya
menyeduh air meski enggan melarangnya

Syair ini kupersembahkan yang padanya akan selalu kutitipkan rindu
meski beda dalam kata, rindu ini akan selalu ada untuknya

Syair ini kupeluk erat hanya untuknya
yang selalu tersenyum bangga dan bermain dengan keharuan atas usaha
yang selalu berjalan beriringan dengan langkah gontai yang sesekali mencipta luka

Syair ini selalu untuknya
yang setiap hari bertegur sapa dengan subuh
bermain dengan dinginnya air pembasuh muka
senantiasa berdoa untuk selalu bahagia

Syair ini kudendangkan untukmu
yang selalu membuatku tegar menatap dunia
yang selalu merajuk ketika kesalahan itu menyapa
hanya untukmu, Mama.


poem by Dita Oktamaya

Friday, February 6, 2009

Senandung Hujan di Halte Bus

Aku menutup telepon dari Radith, sempat mengumpat kesal kepada benda mati yang kini masih berada di genggamanku. Mataku berkeliling mencari seorang tukang es atau pedagang keliling lainnya yang dapat menghilangkan rasa dahagaku.

"Mau?" tanya seorang bocah laki-laki itu padaku. Aku menggeleng tapi tatapan mataku tak lekang dari sosok kecil yang sedang menikmati asiknya es potong dalam genggamannya itu.

Dia balik menatapku dengan tatapan curiga, sempat terpikir olehku, jangan-jangan dia curiga aku akan merebut paksa es yang sedang dinikmatinya itu, perasaan haus kadang membuatku berimajinasi berlebihan.

"Abangnya ada di sana!" tunjuknya ke sebrang jalan. Aku menurut, tapi seakan kakiku malas untuk melangkah, panasnya terik matahari enggan membuatku berjalan melalui kemacetan yang berada di jalan raya itu.

"Ayo, Neng!"

"Mau kemana, Bang?" tanyaku, bingung menatap supir bajaj yang sudah tersenyum lebar di hadapanku.

"Sepuluh ribu aja."

Supir bajaj (kendaraan yang dapat membuat dirimu bergetar hebat seperti getaran ponsel) dengan kaos oblong dan handuk lusuh melingkari lehernya, menaikan kedua alisnya, menggodaku.

"Nggak, Bang." jawabku.

Dalam hati aku memaki, kesal dengan keterlambatan Radith menjemputku siang ini.

"Tadi itu dibeliin Tante Vera, Mama." suara lantang dari gadis kecil yang berjalan menghampiriku, membuatku mengalihkan kekesalanku.

"Tante Vera yang anaknya namanya Matthew?"

"Iya Matthew."

"Bukan. Oma tahu kok, Matthew itu anaknya Randa."

"Aduh Mama, iya emang Randa itu Vera, Veranda."

"Oma, tulalit nih."

"Kamu sama oma gitu ya?"

"Sudah-sudah, masa di tempat seperti ini masih aja kalian ini. Dek, kamu ada PR nih. PR Bahasa Inggris, sama mewarnai, coba lihat. Mana ada orang hitam seperti ini, Kamu terlalu banyak mewarnai orang ini dengan warna hitam."

"Biarin dong Mama, kan orang itu banyak rambutnya."

"Ya, tapi nggak sampai seluruh badan begini kan, Sayang. Pantes ibu guru tadi bilang sama mama, Kamu berlebihan."

"Oh, iya. Aku lupa. Tadi aku salah warnain warna hitam itu ke wajahnya, karena udah terlanjur aku warnain aja semuanya."

"Banyak-banyak belajar!"

"Iya Oma, cerewet banget sih. Nih Aaa." gadis kecil itu tertawa mungil sambil menyuapi sang nenek dengan makanan ringan kemasan yang berada di tangannya.

Aku tersenyum ke arah gadis mungil berambut panjang itu, berumur lima tahun ku rasa. Ia menatapku dan tersenyum genit, hanya sesaat, kemudian duduk di pangkuan sang nenek yang sudah lebih dahulu duduk di tempat duduk berwarna biru. Kemudian aku kembali terdiam, menunggu Radith.

Hujan!

Sempurna sudah hari ini. Berbondong-bondong satu per satu orang datang menghampiriku, bukan karena mengagumi pesonaku, bukan! Tapi berteduh dari sibuknya hujan yang turun tanpa peduli dengan aktivitas manusia yang takut basah. Aku menghela napas kesal, awas Radith!

"Iya, saya lagi di jalan, Pak, terjebak hujan. Bukan, bukan karena macet. Tapi hujan. Apa? Tidak, bukan, bukan hujannya yang macet tapi hujan lebat, jadi saya terjebak. Apa? Tidak... Halo? Halo? Halo... Ah... habis baterai!" seorang pria berkemeja biru itu memaki kesal ke arah ponselnya, sama seperti yang sempat aku lakukan beberapa menit yang lalu. Dengan rambutnya yang sudah terlanjur basah karena hujan dan tubuh yang bergetar karena dingin, pria berkemeja biru itu lebih terlihat seperti seorang yang sedang demam tinggi dan berkeringat.

"Ma, aku pulang telat ya. Hujan. Bukan, aku nggak keluyuran lagi kok, beneran. Apa? Iya Mama, aku lagi berteduh di halte. Hah? Iya, tapi kan aku naik motor, susah buat menghindari hujan. Apa? Takut sama hujan? Si Mama ini, udah ya, dah." Pelajar laki-laki berseragam putih abu-abu itu tersenyum ke arahku dan melambaikan tangannya. Aku mengalihkan pandanganku.

Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya, Halte bus ini penuh sesak. Untuk hari ini saja, izinkan aku membenci abang kandungku Tuhan, Radith awas saja dia!

"Kamu nyuruh aku dateng ke sana, nggak mau jemput. Di sini hujan tahu! Apa? Putus? Bukan putus, tapi hujan! Aku lagi di halte bus, kalo Kamu mau putus ke halte bus aja sekarang juga, jemput aku biar nggak kehujanan. Hah? Apa? Nggak nyambung? Ogah? Jadi Kamu nggak mau putus? Hah? Oh, jadi Kamu mau putus tapi nggak mau kehujanan demi aku, lagian siapa yang nyuruh Kamu kehujanan, aku bilang kan jemput aku di halte bus. Udah ah, males ngomong sama Kamu!" Gadis berseragam putih biru itu menatap ke arahku, kesal. Aku meringis, menyadari kesalahanku yang mendengar percakapannya tanpa sengaja.

"Dini!" suara yang sangat ku kenal memanggilku, Radith!

"Kemana aja sih lo?" seruku sembari menutup kepalaku dengan map dan masuk ke dalam mobil.

"Maaf, tadi lagi banyak klien. Lagian udah jadi editor majalah terkenal, masih aja manja sama gue!" Radith menggodaku dan mencubit pipiku, aku menepis tangannya.

"Udah buruan cabut!" perintahku. Radith tersenyum kemudian dengan segera ditancapnya gas mobil yang kami tumpangi.

"Hujan." Radith buka suara. Aku terdiam, "Halte Bus." Radith menatapku. Aku balas menatapnya dan menunjukkan rasa ketidakpedulianku atas ucapannya.

"Lihat apa aja tadi di halte bus?" Radith tetap bertanya. Aku menghela napas, malas menjawab. Tapi pikiranku tertuju kepada bocah laki-laki yang sedang makan es potong, supir bajaj yang sempat menggodaku, gadis kecil bersama ibu dan neneknya, pria sibuk yang ditelepon atasannya, pelajar lelaki SMA yang ditelepon ibunya, dan gadis SMP yang bertengkar dengan pacarnya, melalui telepon juga.

"Sudah mikirnya?" tanya Radith. Aku menatap Radith tak percaya, ia seolah tahu isi kepalaku, selain otak tentunya.

"Halte bus, tempat yang seharusnya menjadi sebuah pemberhentian bus, tetapi justru menjadi awal dari kehidupan dan aktivitas seseorang. Dan jika tadi nggak hujan, lo akan sendirian terus menunggu gue. Bosan. Tanpa mendengar keluh kesah orang lain di sekitar lo yang aktivitasnya terpaksa berhenti karena hujan." Radith tersenyum.

"Itulah kenapa gue suka hujan." Radith mengerlingkan sebelah matanya ke arahku, "Karena dengan hujan, meskipun untuk sesaat, gue bisa menikmati jeda diri gue sendiri untuk berhenti beraktivitas atas kesibukan ibukota yang terlampau padat ini."

Radith mengusap kepalaku dengan sebelah tangannya, "Jangan marah ya." ucap Radith, "Dan kalaupun tadi nggak hujan, gue nggak akan pernah ngerti dan bener-bener ngerasa bahwa gue adalah abang yang sangat dibutuhkan oleh adik kesayangannya."

Aku terdiam, menatap keluar jendela mobil. Radith selalu bisa memberikan sudut pandang yang berbeda dalam setiap kesempatan, dalam butir kehidupan, bahkan ia dapat mewarnai hujan tanpa berharap pelangi muncul setelahnya. Dia abang kesayanganku.

"Kali ini lo gue maafin." ujarku. Tawa Radith terpecah. "Dan makasih karena lo selalu siap menjadi abang yang gue butuhkan kapan aja."

Kemudian Radith tersenyum, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, kami terdiam. Hanya sedikit kata yang terucap dari kalimatnya yang masih terngiang di telingaku. Hujan dan halte bus, aku rasa aku tahu konsep apa yang akan aku tulis untuk menjadi deadline majalah bulan depan nanti.



Story by Dita Oktamaya