Mungkin belakangan ini orang-orang sering melihat saya tergopoh-gopoh berjalan sambil membawa komputer jinjing dan mondar-mandir keluar-masuk perpustakaan kampus. Melihat saya terbengong tiba-tiba sambil memeluk gitar dan sesekali memainkannya dengan tidak sabar. Melihat saya duduk terdiam seperti tidak memiliki daya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ya, saya belakangan ini seperti itu.
Teman-teman mengatakan saya seperti anak ayam yang kehilangan induknya, seperti tubuh yang dipasang mesin kemudian dikendalikan oleh remote kontrol yang bergerak, tetapi tidak berekspresi. Saya menolak beberapa pekerjaan sukarela yang saya sukai untuk satu kewajiban saya. Kewajiban terakhir saya di Jogjakarta sebelum akhirnya saya kembali pulang ke Jakarta. Saya menolak, menolak beberapa hal yang menjadikan diri saya terkurung dengan berbagai macam pikiran membuat saya tidak tenang, menolak dengan berbagai macam pikiran bahwa saya tidak akan mendapat kesempatan yang sama untuk kedua kalinya. Ya, saya menolak hal yang saya sukai untuk kewajiban yang harus saya penuhi. Saya tidak menyesal, tetapi menolak sesuatu selalu membuat perasaan saya tidak baik, apalagi hal itu adalah hal yang saya sukai.
Bukan tanpa alasan.
Saya melakukan semua ini demi kamu, demi membuktikan bahwa apa yang kamu harapkan dari saya, bisa saya penuhi dengan baik. Saya melakukan semua ini demi membuat kamu merasa tidak sendirian lagi di kota metropolitan yang menyebalkan karena tahu saya akan kembali pulang ke sana. Saya melakukan semua ini demi kamu, demi memelukmu ketika kelelahan dan rasa ingin menyerah menghadangmu, demi menjadi samsak ketika kemarahan dan rasa gemas menghantuimu, demi menjadi pendengarmu ketika kebosanan dan kegundahan menyelimutimu. Saya melakukan semua ini demi kamu yang menginginkan saya cepat kembali pulang ke Jakarta. Ya, saya akan segera pulang, tidak lama lagi.
Kamu tidak banyak menghubungi saya belakangan ini karena begitu banyak hal yang harus kamu lakukan untuk kelulusan bidang profesimu. Saya pun begitu. Kita sama-sama tidak saling menghubungi. Sampai tiba beberapa hari yang lalu, saya membaca berita tentang seorang wanita yang mengalami kecelakaan di daerah dekat kampusmu. Saya panik, saya tidak bisa tidur karena khawatir, takut bahwa wanita itu adalah kamu. Saya mengirimkan sebuah pesan ke tempat obrolan online tempat kita sering bercerita dari jauh. Namun, itu sudah malam dan kamu tidak membalasnya. Saya berusaha menenangkan diri saya, mencoba menutup mata saya dan berharap pagi nanti kamu membalas pesan saya.
Paginya kamu membalas pesan saya, saya lega. Kamu bertanya kenapa saya menghubungimu selarut itu, saya hanya berkata iseng karena tidak mungkin saya mengatakan alasan konyol yang membuat tidur saya tidak tenang. Kamu menggoda saya, mengatakan bahwa saya merindukanmu, saya berkelit dengan gengsi untuk tidak mengiyakan itu.
Mungkin iya. Saya rindu kamu.
Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya untuk berbagi berbagai macam hal, ketika saya tahu mama dan papa kesulitan untuk menyeimbangkan pikiran saya yang sering keluar dari jalur yang seharusnya. Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya untuk mejadi semangat saya agar dapat menyelesaikan kewajiban saya dengan baik. Kamu adalah satu-satunya orang yang saya punya ketika saya merasa tidak ada orang yang bisa saya ajak susah atas kekurangan saya.
Kamu adalah orang tercerewet dan menyebalkan yang pernah saya temui di dunia ini, orang yang selalu banyak mau tahu tentang kehidupan pribadi saya, orang yang selalu banyak menyalahkan saya ketika ada beberapa hal tidak bisa kamu tangani dengan baik sendirian. Kamu adalah orang terjahil yang sering menggoda saya ketika saya sedang ingin banyak marah-marah. Kamu adalah orang yang selalu balik marah dengan lebih besar ketika saya memarahi kamu. Kamu adalah orang dengan segudang ketidaknyamanan yang anehnya selalu membuat saya nyaman berada di samping kamu.
Kamu adalah satu-satunya kakak yang saya punya.
Saya tahu, kita harus banyak berkorban untuk menyelesaikan berbagai macam hal yang menjadi kewajiban kita, untuk membuktikan bahwa kita layak disebut sebagai manusia yang baik. Kamu selalu berkata saya bisa, kamu bisa, kita bisa. Kamu sering mengatakan bangga terhadap saya, terhadap karya-karya saya, terhadap apapun hal yang saya lakukan dan ya bagi saya, kamu adalah orang yang perkataannya selalu mempengaruhi jalan pikiran saya, kamu adalah acuan saya.
Di sini saya sedang berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir saya dengan baik dan secepat yang saya bisa. Saya lakukan ini karena saya tahu kamu melakukan hal yang sama di sana. Maaf selama tiga tahun ini saya meninggalkanmu untuk menempuh pendidikan tinggi saya di Jogjakata, maaf tiga tahun lalu saya memutuskan semangatmu untuk berkuliah di tempat yang sama dengan saya, maaf jika banyak harapanmu akan saya belum saya penuhi dengan baik. Sekarang saya sedang berusaha keras untuk bisa sesegera mungkin kembali berkumpul bersama-sama lagi.
I do this for you, Sis.
Sekarang tunggulah dengan manis, saya tidak akan pergi kemana-mana, karena seberapa jauh pun saya pergi, saya akan tetap kembali, saya akan pulang. Sesegera yang saya bisa.
by Dita Oktamaya