Meminta maaf dan memaafkan itu mudah, yang tersulit adalah melupakan persoalan dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.
Saya membaca tulisan itu di sebuah jejaring sosial. Membacanya baik-baik. Kemudian saya teringat beberapa minggu yang lalu, ketika kesalahpahaman terjadi antara saya dengan teman saya. Saya menyebutnya Soul Sister dan teman-teman yang lain menyebut dia sebagai Soul Sister saya karena menurut saya (dan teman-teman lain pun mengakui) sebutan Soulmate terlalu mainstream.
Dia teman yang baik, teman yang sangat baik. Seharusnya saya bisa menjaga perasaannya, tetapi saya terlalu ceroboh untuk menitikkan satu salah yang membuat hatinya sakit (mungkin, saya tidak tahu karena saya tidak pernah bisa menjadi dia). Saya salah, salah yang berawal dari masalah yang sangat kecil. Salah yang membuat dia selama seminggu menghindari kontak mata dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia tidak mau berbicara dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia terlihat merasa terusik dengan kehadiran saya di sekitarnya. Salah yang saya perbuat. Kesalahan konyol yang membuat saya kehilangan perhatiannya yang seperti biasa.
Salah yang terjadi pada sore hari, dengan beberapa jam saya diam karena saya merasa kesal. Jujur, saya bukan kesal karena dia, tetapi saya kesal dengan diri saya sendiri karena tidak bisa menjadi teman yang bisa dia andalkan. Maka dari itu saya diam, saya tidak berani melihat matanya. Saya merasa bersalah karena saya teman yang terlalu lemah, sedangkan dia terlalu tegar. Saya merasa marah pada diri saya sendiri karena saya tidak dapat berbuat apa-apa ketika dia sedang lelah. Saya marah pada diri saya sendiri dan merasa sungkan dengan dia karena dia tidak bisa mengandalkan saya. Saya bukan marah kepada dia, tetapi saya tidak mengatakannya. Ketika saya ingin menjelaskan apa yang saya rasakan, dia sudah menarik hatinya, dia diam, tidak ingin melihat saya.
"Mungkin akunya aja kali yang lagi pengen diem kayak gini. Kamu juga tadi diem kayak gini aku enggak protes, kan? Sekarang aku diem kayak gini, kenapa kamu protes?"
Saya jadi sesak napas mendengar perkataannya pada saat itu. Ya, dia benar. Saya tidak sepantasnya protes dengan aksi diamnya karena kebodohan saya dalam menjelaskan perasaan saya, sehingga terjadi kesalahpahaman yang membuat hubungan kami menjadi tidak baik. Saya diam, hati saya seperti ditempeleng tanpa ampun, saya merasa bodoh. Pada saat itu ingin rasanya saya menjelaskan apa yang saya rasakan, tetapi saya tidak berani. Ya, dia belum tentu ingin mendengarkan saya.
Saya tidak tenang dengan situasi yang berada di antara kami. Saya mencari waktu untuk berbicara berdua dengannya, kalian tahu? Memiliki kesalahpahaman dengan orang yang kalian anggap teman adalah hal yang tidak mengenakan, apalagi jika kalian menganggap teman itu adalah teman dekat yang menjadi semangat kalian dalam menjalani kehidupan seperti karantina relawan.
"Ini bukan masalah minta maaf, aku enggak melarang kamu minta maaf. Hanya saja mungkin aku bukan tipe yang kayak kamu. Orang yang bisa marah, kemudian diam trus beberapa jam kemudian seperti biasa lagi, seperti enggak pernah terjadi apa-apa. Aku enggak kayak gitu, jadi biar aja aku diem kayak gini, mungkin emang akunya yang lagi pengen diem jadi ya biarin aja."
"Trus kamu mau diem sampai kapan? Jangan lama-lama ya."
"Ya, enggak tau. Mungkin besok aku udah biasa lagi, mungkin juga lusa, atau minggu depan, atau dua minggu lagi, atau kapan aku enggak tahu."
Saya terdiam mendengar perkataannya ketika saya menanyakan lagi kenapa dia diam dan meminta maaf atas kesalahan konyol yang saya perbuat. Entahlah, saya tidak sebaik itu, saya bukan tipe yang bisa marah, diam, dan beberapa jam kemudian kembali seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak. Saya tidak sebaik itu, hal yang pada saat itu saya lakukan adalah saya menekan ego saya, menekan rasa kesal saya terhadap diri saya, menekan ekspresi diam saya, menekan perasaan tidak baik saya untuk membuktikan kepada dia bahwa saya tidak marah padanya, untuk membuktikan bahwa saya menganggap dia tidak memiliki salah apa-apa pada saya.
Selama seminggu dia diam kepada saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa, benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Saya jadi sering bengong dan tidak bersemangat melakukan sesuatu. Berlebihan, memang, tetapi saya jamin kalian pasti akan merasakan hal yang sama ketika teman yang kalian anggap teman dekat, menghindari kalian bagaimana pun caranya. Rasanya di kepala kalian tidak terisi pikiran seperti apapun, kosong.
Melihat saya yang pada saat itu terkatung-katung, ada satu teman yang tidak tega melihat saya yang menurutnya seperti orang tidak punya tulang. Tidak bisa diajak berdiri tegak. Dia menatap saya yang pada saat itu sedang membantunya (merecoki, lebih tepatnya) mencuci piring.
"Aku harus gimana lagi ya? Biar bisa dimaafin? Biar dia kembali seperti semula." ketika itu katanya saya menatap tempat cuci piring tanpa kedip, kemudian menggaruk-garuk rambut, kemudian terdiam.
"Masih belum bisa cair ya dia? Mau dimediasiin biar kita ngomong bertiga?" dia mengambil gelas yang daritadi saya pegang, kemudian meletakkannya di tempat yang seharusnya diletakkan.
"Ah, enggak usah. Ngapain pake mediasi segala, jadi berasa dukun, ngeri."
"Ya terus mau sampe kapan kalian diem-dieman? Aku seneng loh lihat kalian yang biasanya bareng-bareng cerita berdua, kayaknya cuma kalian yang tau, seru gitu, kayak beneran liat ada kakak-adek lagi curhat-curhatan."
"Ya, katanya dia butuh waktu. Jadi, kasih dia waktu aja. Biar dia melakukan apa yang dia mau, aku enggak mau buat dia enggak nyaman dengan ngomong bertiga. Enggak apa-apa ya enggak dimediasiin? Ini masalah kami jadi ya sudah, biar kami aja yang ngerasain. Enggak apa-apa ya?"
"Ya enggak apa-apa sih, kan aku cuma menawarkan. Tapi kamunya enggak apa-apa? Udah enggak enak bergerak gitu, enggak ada semangatnya, kita juga pengen liat dita yang dulu, dita yang semangat."
"Enggak apa-apa kok. Kalau dia bilang butuh waktu, ya aku tinggal nunggu. Semua akan baik-baik aja kok, dia kan teman yang baik."
"Kamu juga teman yang baik kok, Dit."
"Oh ya? Tapi dia marah sama aku. Ya sudah, semoga bener aku teman yang baik."
Ya, pada saat itu saya benar-benar berharap kalau saya adalah teman yang baik untuk dia. Saya juga tidak ingin membuat dia tidak nyaman dengan mediasi yang saya tidak tahu akan bagaimana ujungnya. Saya bukan tipe orang yang suka mengumbar-umbar jika sedang memiliki masalah, tetapi ketika ada beberapa orang yang menyadari masalah yang saya hadapi, saya memberi ruang untuk mereka agar mengetahuinya, tetapi tidak membiarkan mereka masuk untuk menyelesaikannya.
Ini salah saya, ini masalah saya, jadi ini tanggung jawab saya. Kalian tidak seharusnya saya repotkan untuk menyelesaikan masalah yang saya timbulkan, tetapi terima kasih karena kalian menjaga perasaan teman dekat saya itu, sehingga dia nyaman meskipun bercanda tanpa saya.
Saya senang karena beberapa hari setelah perbincangan cuci piring itu, dia sedikit-sedikit kembali seperti dia yang dulu. Dia yang mau bercerita dengan saya. Dia yang menggoda saya karena saya selalu pakai segala sesuatu kegedean. Dia yang membalas lelucon saya untuk menjadikan seorang teman lain sebagai objeknya. Dia yang partner in crime saya. Dia yang soul sister saya. Dia yang seperti biasanya.
Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita sebelum kita tinggal bersama dengan enam orang lainnya di tempat yang belum kita datangi sebelumnya itu. Dulu saya mengatakan padamu jangan heran jika kamu mendapati kebingungan orang lain melihat perhatian saya kepada teman yang saya anggap teman dekat saya.
Enam orang itu menganggap perhatian saya kepada kamu, seperti perhatian adik yang menyayangi kakaknya, saya tidak mengerti bagaimana perhatian saya terhadapmu terlihat oleh mereka, tetapi begitulah yang dikatakan semua orang ketika saya memberikan perhatian kepada orang-orang yang saya pedulikan. Orang-orang yang saya anggap teman dekat saya. Maaf jika cara saya membuatmu tidak nyaman, jika memang ada hal yang membuatmu tidak nyaman, katakanlah. Jangan pergi tiba-tiba, Jangan diam tiba-tiba. Karena jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara memperbaiki cara saya yang tidak kamu suka. Jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara mempertahankan kamu menjadi teman saya.
Saya tidak tahu apakah kamu ingat ketika kamu mengajak saya membeli kue ulang tahun untuk timmu, tetapi tidak menanyakan persetujuan saya mengikutimu atau tidak. Pada saat itu saya senang, saya senang karena kamu tidak sungkan meminta persetujuan saya. Saya senang karena kamu mengajak saya. Senang, karena pada saat itu saya merasa kamu mengakui keberadaan saya.
Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita di toko kue ulang tahun, saat kamu sibuk memilih kue dan saya sibuk mengamati merk coklat yang dipajang di sana.
"Trus, Dit. Kok kamu enggak marah kalau aku ngomong kamu kecil, sering pake baju kegedean, dan lain-lainnya yang sering aku omongin? Teman-temanku bilang aku ini orangnya ceplas-ceplos loh, trus bilang kalau ada teman yang enggak terlalu kenal aku, pasti bakalan sebel dan sakit hati. Kamu kok enggak marah?"
"Ah, aku sih enggak apa. Selama kamu bisa jadi teman yang baik."
Kamu tahu? Pada saat itu saya tidak hanya asal bicara. Ya, saat itu saya sangat percaya kalau kamu adalah teman yang baik. Saya sangat percaya kalau kamu nantinya dapat menjadi teman baik yang saya punya.
Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, selama seminggu kamu menghindari saya hingga saya guling-guling, mencari cara bagaimana kamu mau melihat mata saya lagi. Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, kamu diam seribu bahasa karena kamu ngambek dengan saya. Sampai saat saya mengetik blog ini pun, saya masih percaya kamu dapat menjadi teman baik yang saya punya. Maaf jika saya banyak merepotkanmu, banyak membuatmu jengkel, banyak membuatmu risih dengan segala kekurangan saya sebagai temanmu. Maaf jika banyak kata yang sulit terucap hingga kesalahpahaman terjadi di antara kita. Maaf jika begitu banyak saya mengandalkanmu, hingga kamu lelah dengan saya. Maaf dan terima kasih, karena setelah berbagai kesalahan yang saya lakukan terhadapmu, kamu mau memulainya dari awal dan menjadi dirimu seperti semula lagi.
-----
NB : Dedicated to Arindya Ciptasari, saya ingin mempertahankanmu sebagai teman saya, sebagai teman baik yang saya punya. Jika kamu tanya alasannya, saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu, ketika saya sedang pusing memikirkan kuliah saya, tugas saya, persiapan untuk KKN dan segala hal yang membuat saya merasa sendirian. Kamu dengan mudahnya mengajak saya pergi, membuat saya merasa tidak sendirian dengan berbagai cerita yang kamu bagi dan hal itu yang membuat saya percaya kamu adalah teman yang baik dan saya ingin mempertahankanmu menjadi teman baik yang saya punya. Saya akan berusaha semampu yang saya bisa agar kesalahpahaman tidak terjadi lagi di antara kita, karena mendapati teman macam kamu cemberut tanpa mau melihat mata saya adalah hal yang banyak mengusik pikiran saya. You've been a very kind friend to me when i had none and i would never want to make you unhappy.
by Dita Oktamaya