Yang dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya. -Donny Dhirgantoro (dalam buku : 5cm)
Cukup lama rasanya tidak berdiskusi dengan kalian lagi. Apa kabar?
Hari ini saya cukup merasa lega karena baru saja menyelesaikan ujian akhir di semester kedua ini. Jika boleh sedikit bercerita, saya ingin mengatakan bahwa saya rindu sekali dengan kota kelahiran saya, Jakarta. Padahal baru saja beberapa minggu yang lalu saya pulang untuk melepas rindu kepada keluarga. Cengeng ya? :)
Dua hari yang lalu adalah ulang tahun Jakarta. Biasanya di Jakarta ada semacam pasar festival untuk menyambut hari ulang tahunnya, namanya Pekan Raya Jakarta (PRJ), berlangsung selama 1 bulan. Waktu yang cukup lama untuk mengadakan sebuah festival untuk sekedar perayaan hari ulang tahun, itulah Jakarta :)
Berbicara tentang kota ini, bagaimana menurut pendapat kalian tentang Jakarta?
Menurut saya, Jakarta itu adalah surga bagi orang yang siap untuk menghadapi perbedaan yang besar. Tempat yang juara bagi orang-orang yang siap terpuruk dan terjatuh ke dalam jurang yang paling dalam sekali pun. Orang yang berani menginjakkan kakinya di Jakarta adalah seorang kompetitor hebat, orang yang terbuka terhadap persaingan yang pesat dalam kehidupan, dan tentu saja orang yang sudah memiliki cukup banyak bekal untuk tinggal di sana, memiliki bekal keberanian dan keyakinan dalam diri mereka untuk dapat menjadi minoritas meskipun tidak ada mayoritas karena semuanya berbeda. Tidakkah kalian sependapat dengan saya?
Saya jadi ingat, jauh hari sebelum saya pindah ke Yogyakarta untuk menempuh studi saya di sini. Papa saya mengatakan tentang pentingnya setiap diri makhluk hidup jika makhluk hidup itu berani menghargai dirinya sendiri. Mengerti maksud saya?
Papa bercerita tentang pentingnya wawancara dalam perekrutan tenaga kerja dalam kantornya, beliau bertanya apakah saya mengerti tentang mengapa setiap kantor melakukan wawancara dan diskusi tentang jumlah gaji yang layak untuk diberikan kepada calon pekerja. Saya menjawab, untuk bertahan hidup karena orang bekerja untuk mencari uang, uang untuk bertahan hidup. Papa hanya tersenyum mendengar jawaban saya.
Beliau menepuk bahu saya pelan, "Ada hal yang lebih penting dari nilai nominal gaji yang diterima oleh para pekerja. Begini saja, apa kamu mau jadi penduduk dunia? Tahu apa itu penduduk dunia?"
Saya memicingkan mata saat itu, penduduk dunia? Bukankah saya sudah hidup di dunia?
Saya menjawab, "Bagaimana jika dedek mau? Apa harus ada banyak hal yang dedek lakukan untuk menjadi penduduk dunia?"
Beliau tertawa, "Yang kamu butuhkan hanya mempelajari dirimu, memaksimalkan potensi yang ada dalam sini." papa menunjuk ke keningnya.
"Bukan kepintaran akademik saja karena kepintaran akademik itu hanya suatu kebutuhan sesaat, bukan kepentingan yang mutlak..." Papa melanjutkan, "Tapi kecerdasaan untuk menghargai segala hal yang terjadi dalam hidup, sekecil apapun itu. Bukan tentang pengalaman, tetapi tentang pelajaran yang kamu ambil dari setiap permasalahan yang kamu lihat tidak dari satu sisi. Dunia itu luas dek, ketika kamu merasa lelah, jangan egois karena masih ada beratus juta orang di luar sana yang juga merasakan kelelahan untuk bertahan hidup dan demi memiliki hidup yang jauh lebih baik. Jadi kamu terlalu sombong jika kamu mengeluh kamu lelah dengan hanya hal-hal kecil yang kamu lakukan."
"Maksudnya?" saya masih mengerutkan dahi. Masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan kami pergi.
"Itulah kenapa setiap kantor membutuhkan catatan riwayat hidup para calon pekerjanya. Mereka yang membutuhkan tenaga kerja menyeleksi pekerja yang memiliki banyak pengalaman, tapi tunggu ini bukan tentang pengalaman tertentu, tetapi ini tentang pelajaran yang kamu dapatkan selama kamu menempuh pengalaman itu. Tahu kan definisi pengalaman itu apa? Pengalaman itu adalah pengetahuan yang di alami dalam kenangan. Sebenarnya tidak terlalu benar jika seseorang menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang tidak memiliki pengalaman, padahal sudah jelas dia menjalani hidupnya, bukan benda mati."
Saya terdiam, lama.
"Kemarin papa sempat mewawancari seseorang yang melamar pekerjaan di kantor papa. Papa bertanya tentang gaji yang dia inginkan. Dan dia menjawab, terserah kantor ingin memberi berapa. Itu salah besar, dek. Jika kamu ingin bekerja dan kamu melamar pekerjaan itu, seharusnya kamu sudah tahu seberapa besar pengetahuanmu tentang pekerjaan itu, kamu tahu seperti apa potensi yang ada dalam dirimu. Ini bukan masalah besar nominal gaji yang akan diberikan, tetapi masalah menghargai dirimu sendiri. Jika kamu menjawab pertanyaan itu seperti calon pekerja tersebut, itu berarti kamu belum sepenuhnya mencintai dirimu sendiri. Meskipun terkadang, ketika kamu menyukai pekerjaan itu, kamu akan lupa tentang materi yang akan kamu terima sebagai imbalan pekerjaanmu. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kerjakan apa yang menjadi kesukaanmu, bukan apa yang orang lain suka dan suruh kamu untuk mengkerjakannya. Karena kamu percaya bahwa setiap manusia akan sukses dalam bidang yang dia suka jika dia menyadari bahwa kesukaannya dapat berguna bagi dia dan tidak membuang waktunya untuk mengalahkan segala aktivitasnya. Bukankah begitu?"
Saya mengangguk.
"Dan penduduk dunia adalah orang-orang seperti itu dek, orang yang sukses dibidang yang dia sukai bagaimana pun bentuknya. Karena orang-orang seperti itu adalah orang yang melakukan semua pekerjaannya dengan ini." Papa menunjuk ke arah dadanya. "Dan ini." menunjuk ke arah keningnya.
Saya mengangguk, "Jadi penduduk dunia adalah orang-orang yang tekun menjalani apa yang dia suka, apa yang berguna bagi dia? Orang yang selalu berani untuk menghargai dirinya, orang yang sadar bahwa tidak hanya dia saja yang membanting tulangnya demi mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik? Orang yang menghargai setiap hal dalam kehidupan, sekecil apapun itu dan melihatnya dari berbagai sisi yang berbeda?"
Papa mengangguk, "Dan orang yang akan menjadi penduduk dunia itu salah satunya sedang duduk di depan papa."
Saya tersenyum, "Pa, dedek mau jadi penduduk dunia. Bukan untuk uang, tetapi untuk membuktikan kepada dunia bahwa ada manusia yang bernama Dita Oktamaya yang siap meraih sukses di bidang yang dia suka. Bukan manusia yang hanya berupa daging yang dapat berjalan dan diberi nama, melainkan manusia yang dapat memberi manfaat kepada manusia lain."
Papa mengangguk, "Dan dunia akan berkata, terima kasih telah hadir di sini."
-----
by Dita Oktamaya