Sunday, September 30, 2012

Substistusti (?)

Hari ini saya menghabiskan waktu dengan seorang teman yang saya kenal dari teman lain. Seorang teman perempuan, teman perempuan yang enerjik yang tingkat ketidakpeduliannya lebih parah dari saya. Cueknya di atas rata-rata orang biasa, tetapi tetap semenyenangkan orang yang paling menyenangkan di dunia. Namanya Mutia atau saya lebih sering memanggilnya Mumut.

Dia adalah seorang gadis yang selalu kesulitan melafalkan huruf R. Mendengarnya bercerita dengan aksen sundanya yang khas dan ketidaksanggupannya melafalkan huruf R adalah sesuatu yang selalu menarik perhatian saya. Unik. Dan itulah saya, saya selalu menyukai aksen setiap teman saya yang berasal dari daerah mana pun. Saya suka cara mereka bercerita yang selalu terdengar unik di telinga saya. Bukankah semua orang memiliki keunikan masing-masing?

Satu hal juga yang tidak bisa saya lupakan dari Mumut adalah ketidaksanggupannya melafalkan kata subtitusi. Ya, baginya kata itu terlalu sulit dilafalkan, hingga ia pun melafalkannya menjadi substistusti. Saya tergelitik mendengarnya yang kewalahan melafalkan kata itu, hingga hasrat saya untuk menggodanya pun semakin tinggi. Namun, melihat tatapannya yang seolah berkata 'Aku beneran enggak bisa melafalkan itu' membuat saya akhirnya memutuskan untuk mengajarinya.

Saya : "Yoo, Mut. Subtitusi. Coba bilang."
Mumut : "Substistusti."
Saya : "Subtitusi, Mut. Bukan substistusti."
Mumut : "Enggak bisa, Dit. Enggak bisa."
Saya : "Coba ya, Sub..."
Mumut : "Sub..."
Saya : "Ti..."
Mumut : "Ti..."
Saya : "Tu..."
Mumut : "Tu..."
Saya : "Si..."
Mumut : "Si..."
Saya : "Subtitusi."
Mumut : "Substistusti."
Saya : "Arrgggghhhh!"

Dan akhirnya saya pun menyerah. Dia memang benar-benar tidak bisa melafalkan kata itu -..-


by Dita Oktamaya

Tuesday, September 25, 2012

Sangat Baik

Hari ini mama saya menelepon saya. Bertanya apa saya berada dalam keadaan baik-baik saja karena beliau tahu keadaan saya di Jogja sudah menjadi manusia setengah pengangguran karena sibuk berkutat dengan skripsi, tetapi tidak melakukan hal lain yang membuat seluruh badan saya bergerak.

Saya menceritakan kepada mama saya, mengenai salah seorang dosen yang pada hari ini mengajak saya bertemu dengan seorang sutradara film. Dunia yang sejak dulu saya minati, tetapi sulit untuk saya raih karena keseganan saya dalam memulai.

Saya suka dunia perfilman, suka menjadi bagian dari mereka (jika saya bisa). Saya suka berada di belakang layar, sibuk berjalan ke sana ke mari, menjadi crew yang bertanggung jawab ini itu. Saya suka pekerjaan yang membuat seluruh badan saya bergerak. 

Saya pernah mendengar cerita salah seorang teman SMP saya yang terjun langsung menjadi asisten sutradara. Dulu sekali, ketika kami sama-sama berada di bangku kelas 2 SMP (atau sekarang kelas 8). Hal itu yang menarik minat saya, berada di belakang layar, bergerak, sibuk, dan hal-hal lainnya yang membuat saya jadi manusia berguna. Penghasil karya. Penghibur orang lain. Bertemu banyak orang baru. Saya berterima kasih dengan dosen saya karena beliau mengajak dan memperkenalkan dunia baru kepada saya. Saya menjadi menemukan dunia yang sejak dulu saya cari. Semua jadi (agak) lebih terlihat jelas, apa yang ingin saya lakukan kelak, setelah saya menyelesaikan skripsi saya. 

Saya menceritakan rencana-rencana saya, bagaimana selanjutnya hal yang saya inginkan ketika saya sudah lulus strata 1 nanti kepada mama saya. Mama terasa mendengarkan dengan baik kata demi kata yang saya ucapkan. Setelah saya menyudahi cerita saya, mama pun memberikan respon yang jauh dari apa yang saya bayangkan.

"Pokoknya yang kamu percaya baik untuk kamu dan kamu suka menjalaninya, ya lakukan saja. Asal ingat satu hal, jangan lupa Tuhan."

Respon mama yang begitu sederhananya membuat saya tersadar bahwa sejak dahulu, orang tua saya tidak pernah menekan saya untuk menjadi ini, menjadi itu. Mereka selalu membiarkan saya memilih apa yang saya suka, apa yang membuat saya nyaman menjalaninya. Orang tua saya membiarkan saya masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial ketika SMA karena mereka tahu saya menyukainya, padahal pada saat itu Ilmu Pengetahuan Alam menjadi jurusan favorit di sekolah saya, hingga terjadi penambahan kelas.

Orang tua saya membiarkan saya memilih jurusan bahasa Korea karena mereka tahu saya menyukainya, padahal pada saat itu bisa saja mereka menyuruh (memaksa) saya memilih untuk masuk ke jurusan ekonomi atau jurusan yang dapat dikatakan lebih memiliki ketenaran yang lebih baik lainnya, tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan sampai sejauh 512 km saya berada jauh dari mereka hanya untuk menyelesaikan hal yang saya sukai, mereka membiarkan saya memilih pilihan untuk berdiri sendiri di sini, di Jogja. 

Orang tua saya memberikan saya gitar, memberikan saya keyboard, memberikan saya ukulele, dan  memberikan alat musik lainnya kepada saya hanya karena saya menyukainya, padahal bisa saja mereka menolak permintaan saya yang tidak pernah becus memainkan alat musik macam apapun. Bahkan sampai detik ini.

Saya jadi membenahi kembali rencana-rencana apa yang akan saya lakukan nanti, setelah saya lulus dari strata 1. Saya ingin memberi pembuktian kepada mereka bahwa mereka tidak akan kecewa dengan menaruh kepercayaan mereka sepenuhnya kepada saya. Saya ingin membuktikan kepada mereka bahwa saya bisa dipercaya, bahwa yang mereka lakukan dengan mengembalikan semua pilihan kepada saya itu benar. Saya ingin melihat mereka tersenyum bangga kepada saya yang selalu bisa menikmati apa yang dilakukan karena saya menyukainya. 

Izinkan saya berterima kasih karena saya selalu merasa bisa diandalkan karena kalian selalu memberi kepercayaan kepada saya. Izinkan saya berterima kasih, meskipun saya tahu rasa terima kasih ini tidak akan pernah bisa menggantikan apa yang telah kalian lakukan untuk saya. Kalian orang tua terbaik, sangat baik. Kalian orang tua yang selalu menjadi semangat saya melakukan berbagai macam hal. Terima kasih karena kalian selalu menerima saya seperti apa pun cara yang saya lakukan dalam menjalani hidup saya. Saya beruntung memiliki kalian. Beruntung sekali. 


-----


NB : Dedicated to lovely mom and dad, you're always be a part of me. Semoga kalian selalu sehat dan berada dalam keadaan baik-baik saja ya. Jangan bersedih karena saya berada di sekian banyak kilometer untuk meraih cita-cita saya. Ingatlah seberapa jauhnya saya, saya akan selalu kembali kepada kalian. Jadi, bersabarlah dan tunggu saya pulang :)

by Dita Oktamaya

Sunday, September 23, 2012

Saya dan Hujan

Belakangan ini banyak hal yang saya pikirkan tentang Jogja. Ah, ya! Salah satunya adalah Jogja butuh hujan! Tolong Tuhan, cuaca Jogja makin hari makin panas dan gersang, saya bahkan selalu menyipitkan mata saya pada siang hari ketika matahari bersinar dengan titik paling teriknya. 

Sebenarnya beberapa hari yang lalu hujan sempat turun di Jogja, hanya sebentar, sangat sebentar sekali teramat sangat! Padahal saya sudah tersenyum sambil mengendarai motor menuju kampus, celana saya juga sebagian sudah basah karena hujan. Namun, ketika saya memarkirkan motor saya. Hujan berhenti bersamaan dengan berhentinya mesin motor saya di parkiran. Saya jadi manyun.

Ada cerita tentang saya dengan hujan, dulu ketika saya masih sekolah menengah atas di Jakarta, salah seorang teman pernah dengan murung menatap saya tanpa daya. Saya yang pada dasarnya suka sekali membuat orang tertawa tidak suka melihatnya seperti itu. Kemudian saya mencoba mencari lelucon agar dia tidak merasa bosan. 

"Hujan nih, lo enggak ngasih selamat ke gue?"

"Ngapain?"

"Gue kan ulang tahun setiap hujan turun."

"Nyahahaha. Kalau lo ulang tahun tiap hujan, gue ulang tahun tiap napas."

Begitulah, dia balik melontarkan lelucon kepada saya. Kami jadi bercerita panjang lebar dan akhirnya saya melihat semangatnya kembali lagi. Syukurlah, saya tidak suka melihat teman saya terduduk lemah atas alasan mengenai beberapa hal (kecuali jika mereka memang sedang lelah), saya mungkin hanya bertanya ada apa dengan mereka. Tidak, saya tidak berharap mereka menceritakan masalah yang dihadapi, saya hanya ingin menegaskan kalau-kalau mereka memang sedang memikirkan sesuatu yang membuat bibir mereka manyun, jadi saya ingin menawarkan tawa untuk mereka. Ya, setidaknya imajinasi saya yang terkadang orang bilang suka di luar akal sehat orang biasa bisa membuat mereka terhibur, setidaknya, saya harap seperti itu.

Saya suka sekali dengan hujan, saya bahkan bisa menatap hujan turun di depan jendela dalam waktu yang cukup lama. Melankolis? Tidak. Menatap hujan seperti itu membuat saya menjadi lebih tenang. Saya suka bau tanah yang terkena air hujan, baunya mendamaikan hati. Sejuk.

Ada satu cerita lagi tentang saya dan hujan. Ya, dulu ketika ada beberapa hal yang membuat saya tidak nyaman dengan lingkungan sekitar, saya sempat menangis di depan teman kesayangan saya. For your information, saya akui saya adalah orang dengan gengsi yang cukup tinggi. Jadi, jika saya tidak yakin dengan orang tersebut, saya tidak akan sembarangan mengeluarkan airmata saya karena saya merupakan orang yang berkeyakinan bahwa titik terlemah seseorang adalah ketika dia mengeluarkan airmata (dalam kondisi tertentu) dan saya bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar airmata atau lebih tepatnya kesedihan saya. 

Saya mengatakan pada teman saya, ketika saya menangis, hujan dapat sewaktu-waktu turun. Entah kebetulan atau memang langit yang ikut bersedih. Setiap saya menangis, langit seolah-olah merasakan kesedihan yang sama, hingga pada akhirnya menurunkan hujan (menangis). Ya, mungkin imajinasi saya yang agak berlebihan, tetapi itulah yang terjadi. Hingga teman saya pun akhirnya melarang saya menangis karena dia lupa membawa jas hujan ketika dia ingin pulang ke rumahnya. Kebetulan yang membingungkan? Ya, nama korea (haneul = langit) yang diberikan kepada saya, seolah-olah menyatu sekali dengan diri saya. Begitulah. Saya juga tidak terlalu mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu.

Saya suka sekali hujan, meskipun terkadang ketika hujan turun banyak agenda atau janji yang tertunda atau bahkan batal begitu saja. Tidak apa. Saya tetap suka hujan. Hujan yang membasahi tanah, hujan yang memberikan aroma tanah menjadi lebih terasa sejuk. Hujan yang membuat saya tidak perlu berpikir seberapa rapinya saya karena sudah terlanjur terkena basah. Hujan yang membuat saya memakai payung (saya suka sekali memakai payung saat hujan). Saya suka hujan karena hujan bisa dengan sekejap memberikan istirahat yang terkadang tidak dapat diraih orang sibuk seperti beberapa teman kesayangan saya. Semoga mereka selalu sehat dan tidak marah ketika kesibukannya diganggu dengan turunnya hujan. Semoga saja. Saya harap seperti itu.


by Dita Oktamaya

Friday, September 21, 2012

Itu Saja

Kita bertemu lagi dalam sapa hangat seperti dulu.

Banyak tawa terbagi karena butuh kuungkapkan semua cerita seperti janji.

Tidak ada kata yang tidak terucap, semua meluap seolah menuturkan kata menjadi ahliku.

Aku tidak ingin diam, menjadikan pertemuan sia-sia.

Membiarkanmu bosan karena sama-sama kehabisan kata.

Aku bercerita, dengan dirimu yang mengangguk dan mengiyakan kata demi kata agar leluasa aku tertawa.

Bukan ego yang merajai masing-masing kita.

Namun, paham untuk saling berinteraksi bertukar cerita.

Begitulah kita dengan berbagai cara.

Aku dengan bercerita, kamu dengan tertawa.

Interaksi yang begitu sulit ditentukan karena imajinasi kata tidak merata.

Namun, kita tetap nyaman. Itu cara kita.

Cara kita untuk mempertahankan kita.

Cara kita untuk tidak kehilangan kita.

Menyesuaikanmu adalah hal tersulit bagiku.

Tentu tak kuungkapkan karena kutahu sulit bagimu menyesuaikanku.

Namun, Kuleluasakan dirimu untuk menjadi apa adanya saat bersamaku.

Itu caraku.

Karena inginku semua berjalan dengan kenyamanan yang apa adanya.

Tanpa dirimu yang menjadi orang lain.

Itu saja.


by Dita Oktamaya

Thursday, September 20, 2012

Aku Ingin Pergi Ke Sana Ke Mari Bersamamu

Aku ingin pergi,
mengunjungi tempat,
ke sana ke mari bersamamu

Namun, inginku kututupi begitu saja,
karena kau terlalu sibuk dengan duniamu

Siapa aku?
Yang kau tahu hanya sebuah pemanis dalam cerita masa lalu

Kemudian kau pun bercumbu dengan waktumu,
yang enggan melepasmu dari belenggu

Sedang apa dirimu?
Melepaskan penat melalui hari tanpa ucapan dalam bisu

Aku yang ingin pergi ke sana ke mari bersamamu,
meninggalkan waktu karena kutahu aku akan senang bersamamu

Dimana dirimu?
Begitu banyak egomu membiarkanku larut dalam sepi,
menunggumu yang bahkan kutahu tak ada setitik juangmu untuk menemui

Aku sendiri di sini,
pergi ke sana ke mari yang kuingin singgahi bersamamu

Namun, kemudian dengan paksa kutahan inginku,
karena menghabiskan waktu bersamaku,
tidak akan pernah menjadi inginmu

Puisi by Dita Oktamaya

Tuesday, September 18, 2012

Saya Hanya Sedang Teringat

Entah sudah berapa lama kamu menahan ketidaknyamananmu untuk menjaga perasaan saya.

Bukan ingin mengeluh, tetapi setiap saya teringat perkataanmu terhadap sikap saya, rasanya saya jadi kembali merasa bersalah.

Saya jadi mempertanyakan bagaimana tulus itu seharusnya.

Maaf jika banyak sikap saya yang tanpa saya duga telah menyakitimu.

Saya tahu saya bukan orang baik, bukan orang yang setiap saat diharapkan kehadirannya.

Maaf jika saya terlalu banyak membuatmu tidak nyaman dengan keberadaan saya di sekitarmu.

Maaf jika banyak sulit saya menunjukkan tulus saya, hingga kamu merasa terpaksa melakukan hal yang berkaitan dengan saya.

Saya tidak tahu yang mana hal yang kamu lakukan terhadap saya dengan suka rela, yang katamu jadi terasa tidak tulus karena kamu lakukan dengan ketidaknyamananmu menyesuaikan saya.

Saya tidak tahu paksaan macam apa atau mungkin hanya dirimu yang sekedar ingin menjaga perasaan saya hingga kamu pun melakukannya terhadap saya.

Namun, apapun itu, selama kamu yang melakukannya saya selalu berusaha untuk tetap baik-baik saja.

Semuanya sudah selesai.

Saya menulis ini bukan karena saya mempermasalahkannya.

Kamu tahu saya, saya akan ingat meskipun saya tidak ingin mengingatnya.

Sekarang saya hanya sedang teringat, kemudian menulis untuk membuat diri saya nyaman atas ingatan yang selalu datang meski saya tidak berusaha mengingatnya, itu cara saya.

Dan maaf jika kamu tidak merasa bisa menyesuaikan dengan cara saya yang seperti ini.

Ada beberapa hal yang saya ingin katakan, hanya sekedar mengatakan.

Saya tidak bermaksud komplain atau memintamu menyesuaikan saya, hanya sekedar ingin bercerita.

Sesungguhnya saya bukan orang yang terbiasa mendominasi pembicaraan.

Menjadi orang yang cerewet dan banyak bercerita adalah hal yang melelahkan bagi saya.

Namun, saya pikir tidak apa jika saya melakukannya bersamamu karena saya ingin semua berjalan baik-baik saja.

Saya pikir saya harus bersikap seperti itu agar keanehan tidak hadir di antara kita.

Saya mengatakan ini bukan untuk mengkomplain atau memintamu menyesuaikan saya, bukan.

Saya terkadang hanya lelah menjadi yang paling dominan ketika kita sama-sama diam, kehabisan kata.

Namun, ketika saya berpikir kembali, sudah seharusnya saya melakukan itu jika ingin suasana di antara kita dan perasaan masing-masing kita terjaga.

Jangan terlalu memikirkannya, saya hanya sekedar bercerita.

Sekarang biar saya memperbaiki semuanya.

Memperbaiki semua hal yang membuatmu banyak berkorban untuk menyesuaikan saya.

Maaf atas ketidaknyamanan yang saya timbulkan selama saya berada di sekitarmu.

Sekarang sudah saatnya memulai semua dari awal.

Dengan kamu yang tanpa beban bertemu dengan saya, apa adanya dirimu,

dan saya yang apa adanya saya, saat saya bersama kamu.



by Dita Oktamaya

Friday, September 14, 2012

Mungkin Saya Belum Beruntung

Hari ini banyak janji yang harus sedikit ditunda karena berbagai kesibukan masing-masing beberapa orang di sekitar saya. Padahal saya sudah menunggu waktu untuk berbincang-bincang dan menghabiskan waktu bersama mereka dengan sangat bersemangat. Salah satu janji bahkan hingga sampai terbawa mimpi karena terlalu kangennya saya terhadap salah satu teman saya itu.

Namun, semua hal harus dijalani sesuai dengan prioritas masing-masing. Mereka memiliki kewajiban yang sudah sangat sepantasnya dijadikan prioritas utama demi kelangsungan kegiatan mereka yang jauh dari urusan saya. Saya tidak boleh menyalahkan, tidak boleh protes, dan tidak akan pernah punya hak untuk mengeluhkannya kepada mereka karena mereka pun pada dasarnya sudah ingin berusaha meluangkan waktu untuk bertemu saya, meskipun ada sedikit kecewa karena merasa janji itu terbengkalai begitu saja.

Semua orang memiliki skala prioritas dalam melakukan kegiatannya. Mungkin kali ini saya saja yang masih belum beruntung untuk dijadikan prioritas utama mereka. Tidak apa. Saya tidak keberatan akan hal itu.

Memikirkan waktu yang begitu sulit ditemukan untuk dibagi bersama, menjadikan diri saya lebih menghargai sedikit waktu yang saya miliki untuk dihabiskan bersama mereka, sedikit waktu yang terkadang membuat hati saya terenyuh ketika waktu itu habis dan kami harus menyudahi pertemuan yang terjadi dalam waktu hanya beberapa jam saja.

Seolah-olah di otak saya tertanam satu kalimat : "Kapan lagi bisa ketemu seperti ini?"

Ya, saya paham betul bagaimana rasanya berada di antara orang-orang sibuk yang memiliki waktu hanya satu dua jam, atau bahkan hanya setengah jam untuk saling sapa atau sekedar bertukar salam. Tidak apa. Saya berusaha belajar menerimanya. Karena menurut saya, ketika kalian sudah memutuskan untuk memiliki keterkaitan hubungan dengan seseorang, ketika itu juga kalian memutuskan untuk rela (bagaimana pun caranya) menyesuaikan diri kalian dengan mereka, tanpa merasa terbebani sedikit pun.



by Dita Oktamaya

Di Ujung Jalan Itu

Di ujung jalan itu,
kenangan terhapus tanpa sisa
satu per satu kembali berjuang untuk hidupnya
tanpa kenal iba

Aku tak menyalahkan,
tak mengeluhkan juga

Di ujung jalan itu,
ada kenangan yang terenggut
terbawa hembusan angin, entah kemana
bersedih pun susah,
karena indah menutupi segala

Ada kenangan yang harus dipuja,
diingat karena indah, dibuang karena luka
aku tak ingin lupa, mengingat kenangan yang dulu
menghabiskan waktu bersamamu, atas nama kita

Ada kenangan yang terbawa karena suka,
yang kemudian disentuh waktu hingga menjadi hampa

Di ujung jalan itu,
hujan telah menghapus semua
hingga luput, tanpa sisa
termasuk kenangan yang direnggut paksa
termasuk kita


puisi by Dita Oktamaya

Wednesday, September 12, 2012

Kejutan (?)

Hari ini cukup banyak kejutan yang saya dapatkan, setelah beberapa hari sebelumnya saya merasa terpuruk dan merasa tidak berguna karena tidak melakukan hal berarti yang membuat saya jadi belajar tentang sesuatu.

Kejutan pertama adalah pengumuman bahwa para mahasiswa tingkat akhir yang bermaksud menyusun skripsi pada semester ini, akan dikumpulkan dan diberikan pengarahan pada tanggal 17 September 2012 depan. Ah, akhirnya kami diberi kepastian setelah beberapa hari digantungkan hidupnya karena tidak ada pengumuman tentang kelanjutan studi kami. Dan ya, Saya berharap saya bisa memanfaatkan waktu sebelum pengarahan skripsi tersebut untuk mematangkan proposal skripsi yang menjadi penentu tema skripsi yang akan saya tulis.

Kejutan kedua adalah saya mendapati teman saya yang menceritakan tentang kehidupannya yang belakangan disadari sedikit (atau banyak, entahlah, dia yang merasakan) terkekang dengan sang pacar yang agak lebih suka mendominasi hidup manusia yang pada dasarnya belum menjadi istrinya.

Begini, saya akui saya adalah orang yang cuek (meskipun beberapa orang sering bilang, jika saya sudah memberi perhatian kepada seseorang, orang lain yang melihat akan merasa luluh dan iri secara bersamaan, entahlah, saya tidak terlalu mengerti maksud mereka itu bagaimana, ya kira-kira seperti itu), tetapi jika saya merasa saya berteman baik dengan seorang teman (karena ketika kita berteman dan merasa dekat dengan seorang teman, tidak menutup kemungkinan bahwa teman tersebut memiliki rasa kedekatan yang sama, tetapi bisa jadi malah sebaliknya, tidak merasa dekat sama sekali) apa yang dia rasakan, menjadi apa yang saya rasakan (meskipun saya tahu saya tidak berada pada posisinya).

Maksudnya begini, ambil satu contoh beberapa waktu lalu ketika teman dekat saya semasa KKN (sampai saat ini saya harap kami akan terus berteman dekat) kemarin, Arin, diberi kuasa oleh koordinator mahasiswa unit, untuk mengurusi ini-itu mengenai laporan program kegiatan KKN, saya merasa khawatir. Bukan, bukan karena saya merasa bahwa Arin tidak bisa diandalkan (justru dia sangat bisa diandalkan), tetapi karena saya merasa itu akan sangat merepotkan Arin yang hanya tinggal seorang diri di Jogja, sementara teman-teman yang lain sudah berada di kampung halaman masing-masing untuk merayakan hari raya idul fitri. Padahal, jika dilihat dari ekspresi wajah Arin, dia terlihat tidak keberatan diberi tugas yang sedemikian menjengkelkannya. Namun, saya masih merasa tidak rela, masih merasa bahwa tidak seharusnya Arin direpotkan. Dia sudah terlalu banyak membantu dalam banyak hal, dia terlalu baik.

Lalu seperti hari ini yang tiba-tiba saya bertemu dengan teman saya, yang mulai menyadari hidupnya terkekang dengan segala macam bentuk peraturan yang dibuat oleh pacarnya. Saya tahu, saya tidak akan pernah menjadi dia, tetapi saat dia menceritakan perasaan yang sesungguhnya (setelah sekian banyak tekanan yang pada akhirnya membuat pertahanan dirinya roboh) saya ingin sekali memeluknya dan mengatakan bahwa saya ada untuk dia.

Saya ingin sekali mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, tetapi saya tidak bisa karena saya tahu saya akan sulit menjamin hal itu menjadi nyata. Saya hanya berpikir bahwa saya ingin membuat dirinya tenang, ingin mengusap bahunya untuk mengatakan bahwa dia tidak sendirian. Saya hanya ingin dia tahu bahwa ada teman yang bersedia mengangkatnya kembali ketika dirinya roboh oleh tekanan dari sana-sini, sehingga dia tidak takut untuk berjalan tegak kembali.

Masalah komitmen, bertahan pada satu hal yang justru hal itu yang membuatnya makin terpuruk. Saya tidak akan pernah berhak untuk mengatakan padanya agar menyerah saja dan mengatakan di ujung sana ada seseorang yang lebih baik. Tidak. Saya tidak pernah punya hak untuk mengatakan itu. Saya tahu siapa diri saya, saya hanya seorang teman, seorang pendengar yang hatinya tertampar karena salah satu teman dekatnya diperlakukan sebegitu tertekannya, hingga bahkan sulit untuk bernapas.

Masalah cinta, jika berpikiran untuk mencari cinta yang lebih baik sesungguhnya tidak akan pernah selesai, tidak akan berujung. Saya tidak pernah berani membicarakan soal cinta. Hanya berani membicarakan suka dan sayang yang bahkan kedua hal itu adalah hal tersulit yang saya ceritakan kepada orang. Saya mengatakan padanya, saya tidak tahu apa-apa masalah cinta, tidak pernah memiliki pengalaman yang cukup baik mengenai kata yang terdiri dari lima huruf itu. Namun, sejauh ini, dari beberapa hal yang saya yakini adalah ketika kamu memilih untuk mencintai seseorang adalah ketika kamu tidak merasa terganggu untuk berbagi dengan orang itu. Apapun itu. Seberapa buruknya keadaanmu, keadaannya, keadaan kalian berdua. Ketika kamu sudah memilih untuk mencintai seseorang adalah ketika kamu sudah bisa menerima kenyataan bahwa di dunia ini kamu tidak hanya hidup untuk dirimu sendiri. Hanya hal itu yang saya tahu, yang saya yakini kebenarannya. Saya tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang, saya hanya ingin nanti dia memiliki keputusan yang tepat untuk melanjutkan hidupnya dan bebas dari kekangan. Saya tidak ingin hal buruk terjadi padanya dan saya harap dia dapat menyelesaikan masalahnya dengan (sangat) baik.

Hari ini saya juga banyak bercerita dengan junior-junior dan senior-senior saya di kampus. Banyak hal yang saya respon hanya dengan satu dua kata, tetapi beberapa hal masuk ke dalam pikiran saya dan saya pelajari baik-baik. Saya bukan orang yang mudah mengungkapkan berbagai macam hal melalui lisan. Melalui tutur kata karena terkadang banyak hal yang terlupa untuk diucapkan sehingga banyak orang menjadi salah paham. Menyadari hal itu saya merasa bahwa saya sering menjadi orang yang sangat amat merepotkan, menjadi orang yang sangat amat egois karena ingin didengar, tetapi apa yang saya maksudkan sulit terungkap dari kata yang terucapkan.

Dulu, sebelum saya disadarkan oleh seorang teman yang tidak cocok dengan cara saya berteman, saya tidak pernah berpikir tentang cara saya, cara dia, atau cara-cara orang lain yang digunakan dalam berteman. Hal yang saya pikirkan, ketika saya ingin melakukan suatu hal kepada seorang teman adalah saya melakukannya apa adanya saya, dengan bekal 'karena saya ingin melakukan hal itu'. Ya, terkadang ketika kita merasa nyaman berteman dengan seorang teman, kita jadi sulit untuk memikirkan kenyamanan teman tersebut terhadap kita.

Saya tidak marah jika orang lain merasa tidak cocok dengan cara saya berteman, saya malah menjadi merasa amat bersalah dan merasa amat egois karena menyadari bahwa sebelum dia mengatakan tidak cocok berteman dengan saya, pastinya dia berusaha mati-matian untuk menyeimbangkan cara saya. Dia mati-matian melakukan apa yang saya mau. Dia mati-matian membuang rasa ketidaknyamanannya karena tahu saya melakukan hal yang justru malah membuat dia tidak nyaman. Saya merasa menjadi teman yang amat tidak berguna.

Banyak hal yang saya pelajari dari semua hal yang belakangan ini terjadi dalam hidup saya. Saya jadi menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan seberapa pun besar ketulusan yang saya tawarkan. Saya jadi mengingatkan diri saya sendiri bahwa setiap saya bertemu dengan satu teman baru maka ada satu pemikiran baru yang memiliki cara berbeda meskipun sama-sama berujung kebaikan. Saya tahu dan sadar bahwa semua orang pada dasarnya adalah baik, hanya kadarnya saja yang berbeda.

Ya, begitulah, semua orang memang memiliki cara masing-masing dalam melakukan sesuatu, saya tidak perlu menyukai semuanya, saya hanya perlu menghargainya. Sesederhana itu.




by Dita Oktamaya

Friday, September 7, 2012

Aku Menunggumu Di Depan Jendela

Aku menunggumu di depan jendela
menunggu bertatap mata dengan wajah penuh tawa

Aku merindumu banyak
hingga logika berkata bosan
hingga hati berontak tak sanggup berkata

Aku menunggumu di depan jendela
dengan berbagai kebodohan yang tak sanggup tercerita
dengan berbagai kekonyolan yang kulalui tanpa setitik tanda kau ada

Aku merindumu banyak
hingga bosan aku berkata
hingga bosan aku menatap ke jendela

Mungkin bukan saatnya kau tahu aku yang menunggumu,
menanti untuk bertemu dengan sejuta tawa yang buatku bahagia

Mungkin bukan saatnya kau sadar bahwa ada aku di depan jendela,
menantimu dengan beribu pengharapan untuk disapa

Aku menunggumu di depan jendela
kata orang rindu itu indah, rindu itu menyakitkan
Namun, bagiku mati rasa

Aku menunggumu di depan jendela dengan kematian rasa
menantimu untuk hadir membangkitkan rasa

Aku menunggumu di depan jendela
rindu itu tidak membuat buta,
tak bisakah kau melihatku yang memendam rasa?


Poem by Dita Oktamaya

Wednesday, September 5, 2012

Yang Ini... Tidak Bisa Kamu Perbaiki

Hari ini saya menghabiskan hampir sepanjang hari dengan teman saya yang sudah sangat lama menghilang dari kehidupan kampus. Ya, Namanya Tita. Pratita Hening Pusparanti.

Dulu, ketika awal masuk kuliah, saya takut berkenalan dengan dia. Alasannya? Karena wajahnya yang terlihat antagonis dan sorot matanya yang tajam. Namun, memang saya yang tidak bisa jika tidak berkenalan dengan orang yang nantinya akan merasa nasib yang sama dengan duduk di dalam ruang kelas yang sama, maka saya pun berkenalan dengan dia. Pada akhirnya pun kami menjadi teman dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, saya, dia, dan Jessica (saya pernah menulis tentang Jessica di postingan yang lalu).

Saat pertama kali kuliah, karena rumah yang berjarak cukup jauh dari kampus, kamar kos saya pun dijadikan rumah kedua bagi mereka. Jika saya dan Tita hanya tidur, makan, menggosip, tertawa tanpa membenahi kamar, maka Jessica yang membenahi kamar saya, bergumam sambil sesekali tertawa melemparkan lelucon bahwa saya dan Tita seperti anak-anak yang merepotkan ibunya (jessica). Begitu seterusnya, keseharian yang dilakukan secara berkala hingga saya terbiasa dengan kebersamaan yang menyenangkan bersama mereka.

Hingga pada semester berikutnya kami disibukkan dengan kesibukan kami masing-masing, Jessica yang melakukan pertukaran pelajar di Korea Selatan, Tita yang diterima kerja di sebuah Wedding Organizer, dan saya yang (tanpa ada perubahan sama sekali) ditinggalkan oleh mereka.

Kesendirian yang saya lalui tanpa mereka membuat saya banyak merindukan rumah di Jakarta. Kerinduan saya akan Jakarta tidak serta merta menjadikan saya anak rantau yang cengeng yang melulu minta pulang ke kampung halaman, tidak. Kesendirian itu membuat saya mencari berbagai macam kesibukan yang saya harapkan bisa membuat otak saya sibuk. Menjadi relawan penerjemah kegiatan sukarela orang-orang Korea, menjadi penulis paruh waktu di sebuah distributor naskah, mengikuti kegiatan kesenian perkusi tradisional Korea Selatan, dan mengikuti perkumpulan tari tradisional Indonesia. Cukup banyak kegiatan, memang, karena yang berada di pikiran saya pada saat itu adalah bagaimana saya menyibukkan diri saya agar saya tidak menjadikan diri saya manusia cengeng yang setiap hari berharap bisa dipeluk oleh mama. Ya, Pada saat itu saya menjadi cukup sibuk, tetapi saya tetap saja masih memikirkan mereka, saya masih merindukan mereka.

Saya rindu kebersamaan saya dengan mereka. Rindu dengan lelucon-lelucon ringan yang sering kami lontarkan. Rindu kenakalan kami yang menyebrang rel kereta api dan memanjat pagar rel kereta api hanya demi Tita yang ingin berburu foto di Festival ulang tahun Jogja. Rindu bermain di sekolah Tita dan Jessica yang dulu berasal dari satu sekolah yang sama. Rindu kebrutalan kami makan nasi dengan lauk banyak karena kami tahu harganya sangat murah. Rindu makan es krim bersama ketika perasaan kami sama-sama tidak baik. Rindu belajar masak sayur dengan teman kos saya yang adalah vegetarian. Rindu memberantaki kamar saya dengan remah cemilan yang tidak pernah sanggup saya habiskan sendirian. Saya rindu waktu yang saya habiskan dengan mereka.

Hari ini saya banyak bercerita dengan Tita. Sepertinya beberapa jam menghabiskan waktu bersama, tidak cukup jika hanya untuk bercerita tentang perubahan yang saya dan Tita rasakan.

"Kayaknya cuma kamu yang enggak berubah ya, Dit."

Pernyataan Tita yang sedemikian itu membuat saya banyak bertanya-tanya. Apa iya?

"Iya ya?"

"Iya. Masih dengan cara dandan yang sama, cara bicara yang sama, cara ketawa yang sama. Masih sama seperti Dita yang pada tahun 2009 itu pertama kali aku temuin, atau mungkin perubahannya enggak kelihatan ya?"

"Enggak tahu juga sih aku, Tit."

Jika saya boleh memberitahu, Tita dan Jessica adalah teman yang mengerti saya ketika mood saya sedang tidak stabil. Ketika saya sedang ngambek, ketika saya sedang kesal (yang kebanyakan saya sebabkan oleh diri saya sendiri). Mereka lah yang memandang saya tanpa protes dengan sikap saya yang tiba-tiba menghebuskan napas berat karena sedang menahan kesal. Jika Jessica menenangkan saya dengan menggoda saya dengan canda ketika saya sedang kesal, maka Tita akan melengos pergi dengan senyum yang seolah-olah berkata 'cari aku lagi nanti ketika kamu sudah tenang'.

Jujur, semua kesal dan marah saya tidak pernah disebabkan oleh mereka, maka dari itu terkadang saya suka terharu ketika mereka masih dengan begitu rela berada di samping saya yang wajahnya ditekuk seperti kertas yang memiliki bekas lipatan, lecek.

"Tidak seharusnya kamu terus yang menyesuaikan, orang lain juga seharusnya nerima kamu, apa adanya kamu kalau mau temenan sama kamu."

Dulu, Tita pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan saya ingin memperbaiki apa yang tidak disukai atau hal apa yang dari saya yang tidak cocok dengan seseorang.

"Kalau dia enggak mau temenan sama kamu, kamu masih punya aku, masih punya Tita."

Dulu, Jessica pernah mengatakan itu, ketika saya mengatakan apa salah saya sehingga saya dijauhkan dengan seseorang yang merasa tidak cocok dengan cara saya berteman.

Mereka yang menenangkan saya ketika saya tidak bisa mengontrol perasaan saya yang tidak stabil. Dulu saya adalah orang yang banyak memikirkan bagaimana saya harus bersikap, sehingga banyak hal yang membuat saya down akibat memikirkan masalah yang tidak penting. Sekarang, berkat mereka saya menjadi pribadi yang lebih rileks, lebih banyak menggunakan logika yang tidak serta merta menjatuhkan diri saya akibat kekesalan terhadap diri saya sendiri karena telah membuat orang lain tidak nyaman.

"Sekali-sekali pikirkan tentang diri kamu, Dit. Tidak semua hal bisa kamu perbaiki sendiri, ada saatnya orang yang harus nerima kamu."

Tita dulu pernah menekankan hal itu pada saya. Saya jadi banyak berpikir sebenarnya cara macam apa yang saya lakukan sehingga mereka menjadi begitu amat sayang terhadap saya, tetapi di sisi lain ada orang yang meninggalkan saya karena enggan berteman dekat dengan saya. Entahlah. Saya juga tidak tahu.

"Banyak hal yang udah berubah di kampus, Dit. Kadang aku jadi semakin enggak nyaman karena sadar aku enggak nerima apa-apa, enggak dapet apa-apa di sini. Aku senang kok, kita balik lagi kayak dulu, cerita-cerita kayak gini. Karena selama beberapa semester kita jarang ketemu karena sibuk masing-masing, aku jadi ngerasa kesepian, kayak enggak ada teman yang benar-benar cocok."

Pernyataan Tita tentang tidak adanya perubahan dalam diri saya perlahan mulai saya mengerti, ya itu bisa jadi harapannya karena terlalu banyak perubahan yang terjadi hingga kami semua dipaksa untuk keluar dari zona nyaman. Jika sudah sama-sama merasa tidak nyaman, biasanya saya sering bertanya kepada mereka apa yang seharusnya saya lakukan untuk membuat mereka merasa lebih baik dan biasanya mereka akan menjawab, "Jajanin es krim, Dit." atau "Makan yuk, tapi maunya dibayarin sama kamu."

Namun, sekarang berbeda, kini mereka hanya tersenyum kecil dengan ketulusan yang masih sama seperti dulu, bedanya senyum itu seolah mengatakan "Tidak, Dit.Yang ini... tidak bisa kamu perbaiki." dan saya pun akan mengangguk tanda mengerti. Ya, saya paham, tidak semua hal bisa saya perbaiki sendiri. Apalagi perubahan yang terjadi secara signifikan.

Saya jadi teringat tulisan Djenar Maesa Ayu, yang membuat saya tergelitik setiap membacanya :

"Ketika tidak ada keabadian, perubahan menjadi proses yang amat membosankan."

Perubahan. Ah, setidaknya saya tahu satu-satunya hal yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri. Well, semoga kalian selalu dalam keadaan baik-baik saja dan apapun perubahan itu, semoga menjadi perubahan yang membawa kalian menjadi orang yang lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya.



by Dita Oktamaya

Monday, September 3, 2012

Sibuk

Kamu yakin bisa meluangkan waktu untuk bertemu malam ini?
Yakin. Aku bisa meluangkan waktu, tetapi aku harus bertugas tiba-tiba, maaf.
Jadi malam ini kita tidak bisa bertemu?
Iya, maaf ya. Kamu ada waktu lain untuk bertemu?
Aku tidak tahu. Aku tidak mau menentukan, takut kamu sibuk dan ternyata tidak bisa bertemu lagi. Nikmati saja kesibukanmu, jaga kesehatan.


Aku menyudahi pesan singkat yang awalnya kukirim ragu padamu. Ya, sibuk. Kita selalu punya kesibukan masing-masing. Kesibukan yang tidak pernah sama. Dulu, ketika banyak aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, kukira hanya aku yang bisa sibuk. Kesana-kemari melakukan berbagai macam hal hingga kamu pun menggelengkan kepala melihatku dikejar deadline ini-itu. Kamu yang dulu sering bertanya, meminta waktuku untuk dibagi. Kini, aku membaca pesanmu berulang kali, mulai menyadari meskipun ingin meluangkan waktu, manusia pasti selalu bisa kalah dengan kesibukannya. Selalu. Aku mengusap pelan dada sebelah kiri yang entah sejak kapan menjadi kebiasaanku saat hal yang kurang nyaman mengganggu perasaanku. Jauh hari sebelum kuinjakkan kaki di kota istimewa, kakakku pernah berpesan untuk selalu menjadi orang baik. Orang baik yang dapat mengatur perasaannya. Orang baik yang tidak mengganggu perasaan orang lain seburuk apapun perasaanku. Jadi kusimpulkan bahwa aku harus menjadi orang baik yang hidup dengan baik. Aku pun memesankan pesan itu padamu, untuk menjadi orang baik yang hidup dengan baik. Banyak cerita pernah kita bagi, tidak, bukan kita, tetapi aku. Kamu biasanya hanya mendengar, tersenyum, mengangguk, mengiyakan. Kamu yang selalu menurut perkataanku, meskipun sering aku bilang jangan. Kamu yang selalu berkata rindu ingin bertemu, tetapi tanpa daya menemukan waktu. Kamu yang tidak pernah terlibat dalam satu kesibukan yang sama denganku. Aku dengan kesibukanku dan kamu dengan kesibukanmu. Banyak kata yang sulit terucap hingga kamu tidak pernah tahu bahwa kamu adalah satu dari berbagai orang yang ingin kutemui ketika kesibukan mulai membuatku ingin menangis. Kamu adalah satu dari berbagai orang yang wajahnya ingin kulihat saat tanpa kira kudapati berita baik. Kamu adalah satu dari berbagai orang yang nomor kontaknya selalu ingin kukirimi pesan singkat untuk hanya sekedar sapaan selamat pagi. Semua itu tidak terucap. Tidak terucap karena kebodohanku dalam mengatakan apa yang ingin diungkap. Aku merindukanmu. Aku merindukan waktu yang kita habiskan bersama untuk bercerita, bertukar pikiran, dan tertawa. Sibuk itu selalu bisa merebut waktumu dariku. Tidak. Aku tidak pernah berani menyalahkan apapun atau siapapun. Seperti yang sering kukatakan, pada akhirnya manusia memiliki kesibukannya masing-masing. Aku hanya iri dengan orang yang banyak memiliki kesibukan yang sama denganmu. Iri dengan mereka yang memiliki waktu lebih banyak bersamamu. Iri ini juga tidak terucap. Rasa iri yang cukup untukku saja. Tidak apa. Jangan khawatir. Aku hanya sekedar iri, bukan iri yang berarti, hanya iri karena jauh dari yang aku bayangkan aku banyak merindukanmu. Seharusnya bisa dengan mudah rindu ini terselesaikan. Aku merindukanmu, kamu merindukanku. Penyelesaiannya hanya bertemu. Ya, seharusnya bisa sesederhana itu yang kemudian menjadi rumit karena sibuk terlalu pelit untuk memberi kita waktu untuk bertemu.


by Dita Oktamaya