Thursday, August 30, 2012

Jangan Pergi Tiba-tiba. Jangan Diam Tiba-tiba.


Meminta maaf dan memaafkan itu mudah, yang tersulit adalah melupakan persoalan dan bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.



Saya membaca tulisan itu di sebuah jejaring sosial. Membacanya baik-baik. Kemudian saya teringat beberapa minggu yang lalu, ketika kesalahpahaman terjadi antara saya dengan teman saya. Saya menyebutnya Soul Sister dan teman-teman yang lain menyebut dia sebagai Soul Sister saya karena menurut saya (dan teman-teman lain pun mengakui) sebutan Soulmate terlalu mainstream.

Dia teman yang baik, teman yang sangat baik. Seharusnya saya bisa menjaga perasaannya, tetapi saya terlalu ceroboh untuk menitikkan satu salah yang membuat hatinya sakit (mungkin, saya tidak tahu karena saya tidak pernah bisa menjadi dia). Saya salah, salah yang berawal dari masalah yang sangat kecil. Salah yang membuat dia selama seminggu menghindari kontak mata dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia tidak mau berbicara dengan saya. Salah yang selama seminggu membuat dia terlihat merasa terusik dengan kehadiran saya di sekitarnya. Salah yang saya perbuat. Kesalahan konyol yang membuat saya kehilangan perhatiannya yang seperti biasa.

Salah yang terjadi pada sore hari, dengan beberapa jam saya diam karena saya merasa kesal. Jujur, saya bukan kesal karena dia, tetapi saya kesal dengan diri saya sendiri karena tidak bisa menjadi teman yang bisa dia andalkan. Maka dari itu saya diam, saya tidak berani melihat matanya. Saya merasa bersalah karena saya teman yang terlalu lemah, sedangkan dia terlalu tegar. Saya merasa marah pada diri saya sendiri karena saya tidak dapat berbuat apa-apa ketika dia sedang lelah. Saya marah pada diri saya sendiri dan merasa sungkan dengan dia karena dia tidak bisa mengandalkan saya. Saya bukan marah kepada dia, tetapi saya tidak mengatakannya. Ketika saya ingin menjelaskan apa yang saya rasakan, dia sudah menarik hatinya, dia diam, tidak ingin melihat saya.

"Mungkin akunya aja kali yang lagi pengen diem kayak gini. Kamu juga tadi diem kayak gini aku enggak protes, kan? Sekarang aku diem kayak gini, kenapa kamu protes?"

Saya jadi sesak napas mendengar perkataannya pada saat itu. Ya, dia benar. Saya tidak sepantasnya protes dengan aksi diamnya karena kebodohan saya dalam menjelaskan perasaan saya, sehingga terjadi kesalahpahaman yang membuat hubungan kami menjadi tidak baik. Saya diam, hati saya seperti ditempeleng tanpa ampun, saya merasa bodoh. Pada saat itu ingin rasanya saya menjelaskan apa yang saya rasakan, tetapi saya tidak berani. Ya, dia belum tentu ingin mendengarkan saya.

Saya tidak tenang dengan situasi yang berada di antara kami. Saya mencari waktu untuk berbicara berdua dengannya, kalian tahu? Memiliki kesalahpahaman dengan orang yang kalian anggap teman adalah hal yang tidak mengenakan, apalagi jika kalian menganggap teman itu adalah teman dekat yang menjadi semangat kalian dalam menjalani kehidupan seperti karantina relawan.

"Ini bukan masalah minta maaf, aku enggak melarang kamu minta maaf. Hanya saja mungkin aku bukan tipe yang kayak kamu. Orang yang bisa marah, kemudian diam trus beberapa jam kemudian seperti biasa lagi, seperti enggak pernah terjadi apa-apa. Aku enggak kayak gitu, jadi biar aja aku diem kayak gini, mungkin emang akunya yang lagi pengen diem jadi ya biarin aja."

"Trus kamu mau diem sampai kapan? Jangan lama-lama ya."

"Ya, enggak tau. Mungkin besok aku udah biasa lagi, mungkin juga lusa, atau minggu depan, atau dua minggu lagi, atau kapan aku enggak tahu."

Saya terdiam mendengar perkataannya ketika saya menanyakan lagi kenapa dia diam dan meminta maaf atas kesalahan konyol yang saya perbuat. Entahlah, saya tidak sebaik itu, saya bukan tipe yang bisa marah, diam, dan beberapa jam kemudian kembali seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak. Saya tidak sebaik itu, hal yang pada saat itu saya lakukan adalah saya menekan ego saya, menekan rasa kesal saya terhadap diri saya, menekan ekspresi diam saya, menekan perasaan tidak baik saya untuk membuktikan kepada dia bahwa saya tidak marah padanya, untuk membuktikan bahwa saya menganggap dia tidak memiliki salah apa-apa pada saya.

Selama seminggu dia diam kepada saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa, benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Saya jadi sering bengong dan tidak bersemangat melakukan sesuatu. Berlebihan, memang, tetapi saya jamin kalian pasti akan merasakan hal yang sama ketika teman yang kalian anggap teman dekat, menghindari kalian bagaimana pun caranya. Rasanya di kepala kalian tidak terisi pikiran seperti apapun, kosong.

Melihat saya yang pada saat itu terkatung-katung, ada satu teman yang tidak tega melihat saya yang menurutnya seperti orang tidak punya tulang. Tidak bisa diajak berdiri tegak. Dia menatap saya yang pada saat itu sedang membantunya (merecoki, lebih tepatnya) mencuci piring.

"Aku harus gimana lagi ya? Biar bisa dimaafin? Biar dia kembali seperti semula." ketika itu katanya saya menatap tempat cuci piring tanpa kedip, kemudian menggaruk-garuk rambut, kemudian terdiam.

"Masih belum bisa cair ya dia? Mau dimediasiin biar kita ngomong bertiga?" dia mengambil gelas yang daritadi saya pegang, kemudian meletakkannya di tempat yang seharusnya diletakkan.

"Ah, enggak usah. Ngapain pake mediasi segala, jadi berasa dukun, ngeri."

"Ya terus mau sampe kapan kalian diem-dieman? Aku seneng loh lihat kalian yang biasanya bareng-bareng cerita berdua, kayaknya cuma kalian yang tau, seru gitu, kayak beneran liat ada kakak-adek lagi curhat-curhatan."

"Ya, katanya dia butuh waktu. Jadi, kasih dia waktu aja. Biar dia melakukan apa yang dia mau, aku enggak mau buat dia enggak nyaman dengan ngomong bertiga. Enggak apa-apa ya enggak dimediasiin? Ini masalah kami jadi ya sudah, biar kami aja yang ngerasain. Enggak apa-apa ya?"

"Ya enggak apa-apa sih, kan aku cuma menawarkan. Tapi kamunya enggak apa-apa? Udah enggak enak bergerak gitu, enggak ada semangatnya, kita juga pengen liat dita yang dulu, dita yang semangat."

"Enggak apa-apa kok. Kalau dia bilang butuh waktu, ya aku tinggal nunggu. Semua akan baik-baik aja kok, dia kan teman yang baik."

"Kamu juga teman yang baik kok, Dit."

"Oh ya? Tapi dia marah sama aku. Ya sudah, semoga bener aku teman yang baik."

Ya, pada saat itu saya benar-benar berharap kalau saya adalah teman yang baik untuk dia. Saya juga tidak ingin membuat dia tidak nyaman dengan mediasi yang saya tidak tahu akan bagaimana ujungnya. Saya bukan tipe orang yang suka mengumbar-umbar jika sedang memiliki masalah, tetapi ketika ada beberapa orang yang menyadari masalah yang saya hadapi, saya memberi ruang untuk mereka agar mengetahuinya, tetapi tidak membiarkan mereka masuk untuk menyelesaikannya.

Ini salah saya, ini masalah saya, jadi ini tanggung jawab saya. Kalian tidak seharusnya saya repotkan untuk menyelesaikan masalah yang saya timbulkan, tetapi terima kasih karena kalian menjaga perasaan teman dekat saya itu, sehingga dia nyaman meskipun bercanda tanpa saya.

Saya senang karena beberapa hari setelah perbincangan cuci piring itu, dia sedikit-sedikit kembali seperti dia yang dulu. Dia yang mau bercerita dengan saya. Dia yang menggoda saya karena saya selalu pakai segala sesuatu kegedean. Dia yang membalas lelucon saya untuk menjadikan seorang teman lain sebagai objeknya. Dia yang partner in crime saya. Dia yang soul sister saya. Dia yang seperti biasanya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita sebelum kita tinggal bersama dengan enam orang lainnya di tempat yang belum kita datangi sebelumnya itu. Dulu saya mengatakan padamu jangan heran jika kamu mendapati kebingungan orang lain melihat perhatian saya kepada teman yang saya anggap teman dekat saya.

Enam orang itu menganggap perhatian saya kepada kamu, seperti perhatian adik yang menyayangi kakaknya, saya tidak mengerti bagaimana perhatian saya terhadapmu terlihat oleh mereka, tetapi begitulah yang dikatakan semua orang ketika saya memberikan perhatian kepada orang-orang yang saya pedulikan. Orang-orang yang saya anggap teman dekat saya. Maaf jika cara saya membuatmu tidak nyaman, jika memang ada hal yang membuatmu tidak nyaman, katakanlah. Jangan pergi tiba-tiba, Jangan diam tiba-tiba. Karena jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara memperbaiki cara saya yang tidak kamu suka. Jika kamu melakukan hal itu, saya tidak tahu bagaimana cara mempertahankan kamu menjadi teman saya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat ketika kamu mengajak saya membeli kue ulang tahun untuk timmu, tetapi tidak menanyakan persetujuan saya mengikutimu atau tidak. Pada saat itu saya senang, saya senang karena kamu tidak sungkan meminta persetujuan saya. Saya senang karena kamu mengajak saya. Senang, karena pada saat itu saya merasa kamu mengakui keberadaan saya.

Saya tidak tahu apakah kamu ingat perbincangan kita di toko kue ulang tahun, saat kamu sibuk memilih kue dan saya sibuk mengamati merk coklat yang dipajang di sana.

"Trus, Dit. Kok kamu enggak marah kalau aku ngomong kamu kecil, sering pake baju kegedean, dan lain-lainnya yang sering aku omongin? Teman-temanku bilang aku ini orangnya ceplas-ceplos loh, trus bilang kalau ada teman yang enggak terlalu kenal aku, pasti bakalan sebel dan sakit hati. Kamu kok enggak marah?"

"Ah, aku sih enggak apa. Selama kamu bisa jadi teman yang baik."

Kamu tahu? Pada saat itu saya tidak hanya asal bicara. Ya, saat itu saya sangat percaya kalau kamu adalah teman yang baik. Saya sangat percaya kalau kamu nantinya dapat menjadi teman baik yang saya punya.

Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, selama seminggu kamu menghindari saya hingga saya guling-guling, mencari cara bagaimana kamu mau melihat mata saya lagi. Meskipun beberapa minggu setelah mengatakan itu, kamu diam seribu bahasa karena kamu ngambek dengan saya. Sampai saat saya mengetik blog ini pun, saya masih percaya kamu dapat menjadi teman baik yang saya punya. Maaf jika saya banyak merepotkanmu, banyak membuatmu jengkel, banyak membuatmu risih dengan segala kekurangan saya sebagai temanmu. Maaf jika banyak kata yang sulit terucap hingga kesalahpahaman terjadi di antara kita. Maaf jika begitu banyak saya mengandalkanmu, hingga kamu lelah dengan saya. Maaf dan terima kasih, karena setelah berbagai kesalahan yang saya lakukan terhadapmu, kamu mau memulainya dari awal dan menjadi dirimu seperti semula lagi.


-----


NB : Dedicated to Arindya Ciptasari, saya ingin mempertahankanmu sebagai teman saya, sebagai teman baik yang saya punya. Jika kamu tanya alasannya, saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu, ketika saya sedang pusing memikirkan kuliah saya, tugas saya, persiapan untuk KKN dan segala hal yang membuat saya merasa sendirian. Kamu dengan mudahnya mengajak saya pergi, membuat saya merasa tidak sendirian dengan berbagai cerita yang kamu bagi dan hal itu yang membuat saya percaya kamu adalah teman yang baik dan saya ingin mempertahankanmu menjadi teman baik yang saya punya. Saya akan berusaha semampu yang saya bisa agar kesalahpahaman tidak terjadi lagi di antara kita, karena mendapati teman macam kamu cemberut tanpa mau melihat mata saya adalah hal yang banyak mengusik pikiran saya. You've been a very kind friend to me when i had none and i would never want to make you unhappy.


by Dita Oktamaya

Thursday, August 16, 2012

Jangan Bersedih Karena Berpisah


Mereka yang telah membuat saya mengerti keindahan dalam berbagi

-----

Aku mengenal dikau
Tak cukup lama…separuh usia ku
Namun begitu banyak..pelajaran
Yang aku terima

(Padi - Harmoni)

-----
Hai apa kabar? Apa kalian sedang dalam keadaan baik-baik saja? Saya rindu bercengkrama dan bercerita ini-itu dengan kalian. Masih menyimpan banyak hal untuk diceritakan kepada saya? Kalau saya, banyak. Maaf sebelumnya karena sebulan ini saya tiba-tiba menghilang. Saya harus mengabdikan diri kepada masyarkat, membangun desa demi pembangunan negara. Agak berlebihan memang, tetapi sepertinya hal itulah yang menjadi tujuan kegiatan yang saya ikuti ini. Semoga saja benar-benar bermanfaat, saya sangat berharap untuk itu.

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di postingan sebelum-sebelumnya. Mengenai KKN, Kuliah Kerja Nyata yang harus saya lakukan sebagai salah satu syarat kelulusan di kampus saya. Awalnya saya tidak terlalu minat untuk memfokuskan diri untuk menjalani KKN ini, tidak ada hasrat karena pada masa mengurusi ini-itu mengenai KKN, saya juga masih harus mengurusi perkuliahan saya yang tingkat keabsurdannya terlalu berlebihan.

Saya tidak banyak mengenal teman-teman satu unit saya yang keseluruhan ada 23 orang, yang saya tahu adalah mereka semua orang yang baik, tetapi tidak semuanya bisa saya kenal dengan dekat. Kami dibagi per subunit, pada tim saya terdapat 3 subunit, masing-masing subunit ada 8 atau 7 orang.

Sejujurnya saya adalah orang yang sangat terbuka menghadapi sesuatu yang baru, tetapi terkadang saya takut, takut saya tidak sanggup melebur dengan mereka dan takut mereka sulit untuk bisa menerima saya menjadi bagian dari mereka. Hanya sekedar takut, saya tidak mengumbarnya apalagi menunjukkan dengan jelas ketakutan saya itu. Saya bukan tipe pengeluh seperti itu. Hanya dirasakan, cukup saya saja.

Banyak teman bilang saya adalah orang yang cuek dan tidak peka, yang merespon dengan hanya satu dan dua kata. Namun, setelahnya mereka akan bingung ketika saya menyebutkan hal-hal apa yang mereka suka dan tidak suka, cerita apa saja yang pernah mereka katakan kepada saya, yang tetap mereka ceritakan, meskipun mereka mendapat respon hanya satu dua kata. Well, cuek dan tidak peka bukan berarti saya tidak peduli, kan? :)

Saya adalah tipe orang yang sering tebak-tebak tidak pasti mengenai watak seseorang dan anehnya tebakan itu sebagian besar lebih sering terbukti benar daripada terbukti salah.

Tibalah saya ditempatkan di salah satu subunit dengan 7 orang lainnya yang tidak secara keseluruhan saya kenal dengan baik. Selama satu setengah bulan saya hidup dengan mereka dan di sinilah semua bermula...

ini kami berdelapan (kiri-kanan : Reno, Eviyan, Ajeng, Dita, Mba Anggun, Arin, Reza, Seno)

Awalnya saya hanya berpikir bagaimana bisa menyelesaikan tugas saya di KKN ini dengan baik dan cepat agar bisa dengan cepat pula saya pulang ke rumah dan liburan. Namun, lama kelamaan karena keterbiasaan satu sama lain, mereka pun memiliki peran tersendiri dalam keseharian saya. Saya merasa senang mengenal mereka yang pada dasarnya memang orang-orang yang menyenangkan.

Oh ya, apa saya sudah bilang KKN saya dilaksanakan di lereng semeru? Ya, di sana dingin sekali. Saya sampai harus menjerit-jerit kedinginan setiap kali harus mandi dengan air yang diambil langsung dari mata air pegunungan (kenapa terbaca seperti iklan suatu produk minuman ya? =.=).

Dinginnya udara di lereng semeru bisa begitu mudah ditutupi oleh kehangatan sebuah keluarga kecil subunit yang saya huni. Mereka teman-teman yang baik, ah apa saya perlu memperkenalkan mereka satu-satu? Baiklah jika begitu...


kami yang baru saja memberi surprise untuk Mba Anggun yang berulang tahun

Arindya, meskipun seumuran, saya menemukan sosok seorang kakak pada diri Arin. Rasanya nyaman setiap kali bercerita banyak hal dengan dia. Saya sering memanggil dia dengan sebutan Arinski atau Rinski. Dia adalah orang yang fokusnya sering terpecah dan orang yang mudah bosan jika melakukan sesuatu, hingga saya sering menemukan dia tertidur atau terbengong tiba-tiba. Teman-teman subunit sering mengatakan bahwa dia orang yang judes dan antagonis, tetapi menurut saya tidak, dia orang yang menyenangkan dan membuat nyaman. Arin pernah bilang bahwa manusia yang hidup di dunia ini seperti lolipop besar yang berbentuk bundar, warna dalam lolipop itu ibarat manusia yang memiliki warna tersendiri dalam dirinya dan lolipop yang bundar itu ibarat bumi yang bulat. Manusia dengan berbagai warna menjadi satu di dunia dan bersatunya manusia dengan berbagai warna dapat membawa keselarasan yang indah di bumi, sehingga jadi terasa manis seperti permen lolipop. Analogi yang unik, saya suka.


Ajeng, jika buat saya Arin adalah sosok seorang kakak, kali ini ajeng adalah sosok seorang ibu. Saya lebih sering memanggil dia Jengski atau Momski. Dia adalah teman yang sangat pandai memasak. Dia bisa tiba-tiba membuka kulkas dan memandanginya sangat lama sampai terduduk di depannya. Dia adalah orang yang banyak mengalami kepanikan tersendiri terhadap sesuatu dan jika sudah begitu saya bingung harus meninggalkannya dalam keadaan panik atau harus menenangkan dirinya yang sangat sulit untuk ditenangkan.


Anggun, saya lebih sering memanggil dia Mba Anggunski, dia adalah korban pem-bully-an saya dengan Arin. Sebenarnya dia adalah senior satu tingkat di atas kami, tetapi mengambil KKN di tahun yang sama dengan kami. Karena senior satu tingkat, maka kami semua memanggil dia dengan sebutan Mba. Dia sering menyebut saya dan Arin adalah partner in crime tukang mem-bully orang-orang yang lemah seperti dia. Kalau boleh jujur, Mba Anggun ini adalah orang yang sangat sabar karena di-bully seperti apapun dia akan tetap dengan lapang dada membiarkan kami melanjutkannya. Kalau kata Arin, Mba Anggun memiliki selera humor yang rendah, analoginya : bahkan melihat pulpen yang jatuh tidak sengaja pun dia bisa tertawa.


Reno, semua orang di subunit ini bilang saya dan dia seperti bapak dengan anak. Panggilan saya terhadap dia adalah papski. Namun, kalau boleh mengkonfirmasi lebih jelas, jika bersama Arin saya menemukan sosok seorang kakak perempuan, jika bersama Reno saya bisa menemukan sosok seorang kakak laki-laki. Bila sudah berbincang dengan Reno, banyak hal yang dengan sendirinya keluar, tertumpahkan, terceritakan, hampir sama ketika saya menghabiskan waktu bersama Arin. Kalau kata Ajeng, di subunit ini hanya ada 2 orang yang sangat menjadi perhatian saya, yang pertama selalu Arin dan yang kedua Reno. Saya tidak pernah tahu seperti apa perhatian yang saya berikan kepada mereka, tetapi ketika saya peduli dan memberikan perhatian kepada seseorang, itu karena saya benar-benar ingin melakukannya dan benar-benar peduli akan orang itu, bukan sekedar basa-basi atau pura-pura.


Eviyan, saya memanggilnya dengan sebutan omski, dia adalah sosok teman yang sangat mudah diajak bercanda. tingkah laku yang unik dan suka melakukan berbagai kegiatan di luar hal yang sewajarnya dapat menimbulkan berbagai kebingungan tersendiri bagi orang-orang yang tidak terbiasa bersamanya. Dia memiliki panggilan sebenarnya Eep dan sering digoda oleh teman-teman satu subunit menjadi Eep di celana, Eep di sarung, atau hal-hal absurd lainnya. Namun, meskipun unik dan suka bercanda, Eep adalah sosok teman dengan tingkat kepedulian yang tinggi dan ya, dia teman yang menyenangkan.


Seno, dia adalah sosok tetua, sering saya menyebutnya pakdhe, tapi teman-teman sering menyebutnya mbah karena memang fisiknya yang tidak terlalu leluasa untuk mengerjakan pekerjaan yang agak berat. Meskipun begitu dia adalah orang pintar dengan berbagai prestasi dan pengalaman yang baik. Saya banyak mendengar ceritanya dan banyak belajar darinya. Dia pernah mengaku memiliki trauma tersendiri terhadap orang judes dan orang cerewet, sehingga dia meminta maaf kepada Arin karena tidak berani untuk memulai pembicaraan lebih dulu karena merasa bahwa Arin adalah orang yang judes. Kata-kata andalannya ketika terjadi hal tidak baik menimpanya adalah 'aseng' dan orang yang paling bisa menirukan cara bicaranya dengan sangat baik adalah Arin.


Reza, dia adalah orang yang mungkin bisa tidur lebih dari 24 jam dan sepertinya dia bisa tidur dimana saja. Saya memanggilnya Paklek. Dia adalah seorang gitaris yang baik, saya banyak belajar darinya mengenai musik. Saat melaksanakan kegiatan KKN, dia berkenalan dengan seorang gadis, anak dari pemilik toko depan homestay saya. Entah hanya bercanda atau memang perasaannya sudah berkata iya. Saya berharap yang baik untuk dia dan si mba warung depan rumah pondokan itu. Semoga langgeng :D
Saya mengenal mereka tidak cukup lama, tetapi 1,5 bulan berada di atap yang sama dengan mereka dan rutinitas yang membuat saya terbiasa menghadapi perilaku mereka (yang terkadang berada di luar akal sehat saya) membuat saya banyak belajar tentang perbedaan.
Seperti yang sering saya katakan, semua orang punya cara masing-masing dalam melakukan sesuatu, saya tidak pernah punya hak untuk marah, untuk menyalahkan, untuk meremehkan karena saya juga punya cara tersendiri.
Saya bukan tipe orang pemaksa agar orang lain bersedia menerima cara saya, yang terpenting bagi saya adalah ketika orang lain berteman dengan saya, orang tersebut merasa nyaman berinteraksi dengan saya dan tidak merasa terganggu dengan keberadaan saya di sekitarnya.


Jika diberi pilihan saya lebih memilih meleburkan diri untuk mengikuti cara mereka, tetapi itu bukan berarti saya tidak punya cara tersendiri, justru itulah cara saya, melebur dengan mereka, membiarkan mereka masuk dengan cara mereka ke dalam diri saya.


Sekarang kegiatan KKN sudah berakhir, saya tidak tahu harus bagaimana saya ungkapkan perasaan saya karena tahu saya telah berpisah dengan mereka. Keluarga kecil yang membuat saya lebih bisa menata apa yang berada di dalam diri saya. Keluarga kecil yang membuat saya bisa menekan rasa ego saya, sehingga saya menyadari tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginan saya. Keluarga kecil yang membuat saya hangat di tengah dinginnya angin semeru yang menusuk kulit hingga saya malas mandi. Keluarga kecil yang membuat saya tidak pernah berpikiran untuk meninggalkan sholat satu kali pun. Keluarga kecil yang menambahkan banyak tawa di kosongnya hati saya ketika saya merindukan orang-orang rumah di Jakarta.


Saya suka sekali berada di antara kalian. Saya suka makan bersama kalian, menggelar sajadah bersama dan sholat berjamaah dengan kalian, saya suka nonton tv dan mengomentari setiap hal yang ditayangkan di tv bersama kalian. Saya suka ketika saya membuka mata di pagi hari saya menemukan kalian sedang asik bercengkrama satu sama lain membicarakan agenda yang harus dijalani hari itu, saya suka berwisata dengan kalian, saya suka bersenda gurau dengan kalian, saya suka cara kalian memperlakukan saya dan membuat saya tertawa senang.


Kalian orang-orang baik yang menyenangkan. Maaf jika selama 1,5 bulan kalian berada di atap yang sama dengan saya, saya merupakan orang yang susah diatur, orang yang masih kekanak-kanakan, orang yang tidak memiliki keahlian apa-apa, orang yang sering membuat masalah, orang yang menyebalkan, orang yang manja, dan orang yang merepotkan.


Maaf saya hanya bisa menjadi saya yang seperti ini dengan berbagai kecerobohan dan ketidakpastian pemikiran. Terima kasih karena kalian telah bersedia menerima saya yang seperti ini, terima kasih karena kalian begitu baik meninggalkan kenangan yang baik untuk saya.


Nanti, setelah kalian tidak sibuk, saya tidak sibuk, kita sama-sama tidak sibuk, saya ingin kembali bertemu dengan kalian. Saya ingin ketika bertemu dengan kalian, saya masih bisa melihat senyum yang sama menyenangkannya, cerita yang masih sama serunya, dan tawa yang masih sama cerianya.


Sehat terus ya kalian, kalian adalah orang yang baik, jadi seperti hal yang saya pesankan kepada kalian, orang baik harus hidup dengan baik.

Sampai bertemu di waktu yang berbeda dengan pemikiran yang lebih dewasa. Tetaplah seperti kalian yang semenyenangkan seperti sekarang ini, saya mohon jangan berganti. Jika memang harus berganti, jadilah kalian yang beberapa langkah lebih maju dan kalian yang beberapa tingkat lebih baik. Sampai tiba waktunya kita bertemu lagi, selama itu saya akan banyak sekali merindukan kalian.


-----


NB : Dedicated to Subunit 1 Wonorejo, terima kasih kalian sudah menjadi teman sekaligus keluarga yang begitu baik terhadap saya. Maaf jika begitu banyak kesalahan yang telah saya lakukan, jika ada hal yang tidak berkenan di hati kalian, katakanlah. Jangan tiba-tiba pergi meninggalkan saya. Apapun kesalahan itu, please let me know, because i'll try my best to fix it.

by Dita Oktamaya