Sunday, March 29, 2009

Annyeonghaseyo!

Mereka melengkapi saya, ini benar-benar terjadi. Dengan segala minat saya terhadap negeri ginseng di belahan Asia Timur sana, membawa saya untuk mempelajari lebih dalam bahasa ibu dari negara tersebut, tak terkecuali juga budayanya.

Saya pun pada akhirnya mengikuti kelas bahasa korea yang diadakan oleh sebuah yayasan sekolah bahasa yang dapat membuat siapapun (yang mengikuti pelajaran bahasa asing) dapat dengan lancar mengikuti bahasa yang dipelajari, dan hal itulah yang membuat saya mengenal mereka, keluarga kecil di sudut ruang sederhana yang tergabung dalam kategori yang menyenangkan pada setiap akhir pekannya.

Mereka dengan berbagai macam karakter unik membentuk suatu keluarga baru bagi saya, dengan minat dan kegemaran yang sama, kami menyatu meski tujuan tetap berbeda. Dan yang paling mengherankan adalah jarak umur kami yang berbeda jauh, tidak pernah menyurutkan langkah kami untuk saling mengenal satu sama lain dan karena inilah mereka menjadi keluarga baru yang memberikan saya banyak pelajaran, tidak hanya tentang negri ginseng yang sangat saya gemari, tapi juga tentang pelajaran dan pengalaman hidup yang membuat saya kaya akan elemen-elemen kehidupan yang bergabung dan membentuk keunikan tersendiri untuk saya nikmati.

Dan inilah karakter mereka yang tidak pernah lepas dalam ingatan saya :

1. Andaya Seonsaengnim (seonsaengnim, guru dalam bahasa korea) : Beliaulah yang mengajarkan saya berbahasa korea dengan baik dan benar. Beliaulah yang dengan rela menunggu ketidakhadiran kami yang melebihi tepat waktu saat istirahat kelas berakhir. Beliaulah orang pertama yang sering tertawa ketika saya mengatakan hal-hal aneh dalam bahasa korea. Beliaulah yang sering memanggil saya untuk sekedar berbincang karena saya haksaeng (haksaeng, murid dalam bahasa korea) yang paling tepat waktu (datang terlalu cepat) saat pelajaran baru akan dimulai. Beliaulah orang yang paling sabar ketika saya meminta pengulangan percakapan saat pelajaran listening dimulai, saya sangat menghormati beliau.

2. Hastuti-ssi (-ssi, akhiran sapaan dalam bahasa korea) : Dia adalah seorang perempuan yang sebaya dengan saya, perempuan yang pertama kali saya kenal saat mengikuti kelas bahasa korea tersebut. Seorang perempuan yang dengan suksesnya selalu membuat saya ingin melindunginya. Seorang perempuan yang dengan ringannya selalu menjadikan saya tempat untuk berbagi tawa ataupun sekedar berbagi cerita tentang Dong Bang Sin Gi (grup vokal pria asal korea kesukaan kami berdua). Dia adalah seorang perempuan yang memiliki kecerdasan yang mengesankan, she's great! Dan kekaguman saya terhadap dia membawa saya untuk selalu memujinya dan hal itu membuat dia selalu mencubit pipi saya dan menarik hidung saya hingga merah, di atas semua itu dia adalah orang yang sering kali menggoda tentang betapa konyol dan cerobohnya saya.

3. Jessica eonni (eonni, kakak perempuan dalam bahasa korea) : Dia adalah seorang perempuan yang selalu tersenyum, selalu ceria dan ramah terhadap semua orang. Dia merupakan saudara sepupu dari Hastuti-ssi dan di mata saya, mereka berdua selalu terlihat kompak. Dia adalah seorang perempuan yang selalu mengajak saya untuk membuat kata-kata spesial (atau aneh?) dari berbagai kosakata korea. Jessica bermata kecil (sipit) dan dia selalu tertawa geli dan memukul bahu saya pelan ketika saya menggoda betapa lucunya dia saat sedang tertawa, dia adalah gadis yang manis dan cantik, sangat dewasa, dan merupakan calon psikolog handal lulusan universitas terkemuka di Indonesia, Universitas Indonesia.

4. Meisita eonni : Dia adalah seorang perempuan yang sangat dekat dengan saya, jarak umur kami tidak terlalu jauh (dua tahun). Dia adalah seorang perempuan yang sangat bersemangat dan senantiasa membuat saya memiliki semangat, alasannya mengikuti kelas bahasa korea adalah karena pria kesayangannya adalah seorang pria korea, dia sempat memberi kesempatan kepada saya untuk berbicara kepada kekasihnya melalui telepon dan hasilnya... kami tertawa (silakan tebak apa yang terjadi). Saya sangat menyayangi gadis manis ini, kepribadiannya yang hangat membuat saya merasa sudah mengenalnya jauh melebihi fakta yang ada dan bagi saya, dia adalah kakak kedua saya. Dia pernah memeluk saya begitu erat saat jam pelajaran berakhir, merasa bersalah karena kami tidak dapat pulang bersama hari itu dan bagi saya berat rasanya untuk berpisah darinya, entah kenapa. Jika ditanya bagaimana rupa gadis manis ini, saya akan menjawab : "Bayangkan saja wajah Jjang Nara."
Dan dengan segera saya akan mendapat cubitan kecil darinya karena menyamakannya dengan artis imut asal Korea Selatan itu.

5. Mira eonni : Dia adalah teman beribadah saya saat jam istirahat. Jika sedang malas makan siang, kami menghabiskan waktu berbincang-bincang setelah beribadah. Dia adalah seorang mahasiswi sastra inggris yang tertarik untuk belajar bahasa korea, alasannya :
"Karena telat untuk daftar bahasa Jepang!"
Ironis, dan kami berdua tertawa.

6. Dwi eonni : Dia adalah wanita yang sangat anggun, alasannya belajar bahasa korea sama seperti Meisita eonni. Dia bekerja di salah satu restoran korea di Jakarta dan selalu mengingatkan saya untuk mampir ke rumahnya jika saya berada di mall di daerah sekitar rumahnya, dengan tawaran yang menggiurkan : makanan korea siap disantap bersama.

7. Dewi eonni : Dia adalah wanita yang paling dekat dengan Dwi eonni, mungkin seperti layaknya saya dengan Meisita eonni. Jarak umur saya dan dia sangat jauh (saya tidak tahu tepatnya) dan begitu juga jarak usia saya dengan Dwi eonni. Dewi eonni adalah wanita lulusan sastra Prancis, universitas negri di Bandung.
Alasannya ikut belajar bahasa Korea : "Heran, saya lulus sastra Prancis, relasi saya banyak orang Korea!"

8. Retorika-ssi : Dia adalah haksaeng termuda di kelas bahasa korea ini, berbeda beberapa bulan dari saya. Tetapi, dia jarang sekali masuk karena masih aktif mengikuti kegiatan organisasi di sekolahnya. Dia adalah orang yang selalu tertawa ketika bersama saya (apa saya begitu lucu?) dan dengan rela ikut naik bus (saat tahu saya akan pulang sendiri) untuk mencapai rumahnya dengan alasan : "Untuk nemenin lo, Dit! Dan jujur ini kali kedua gue naik bus."
Dan saya terpaku sambil membuka mulut saya lebar-lebar. Mom's Girl ;p

9. Tika eonni : Perempuan ini adalah perempuan yang paling pendiam di kelas bahasa korea, dia tidak akan berbicara jika tidak disapa, kepribadian yang unik. Dan sampai sekarang saya tidak tahu alasannya mengikuti kelas ini. Maaf, saya agak emosi karena saya bukanlah tipe orang yang suka dengan keheningan jika sedang berinteraksi sosial. Hahaha.

10. Dian eonni : Dia adalah seorang apoteker, sangat ceria dan bersemangat. Dengan rela dia akan begadang hanya untuk menyaksikan pertandingan bola, wanita yang perkasa! Itu komentar saya padanya ;p
Dan alasan dia mengikuti kelas bahasa korea : "Saya akan ke korea! Kapan ya?"

11. Jean eonni : Saya hanya beberapa kali bertemu dengan dia (kesibukannya tidak memungkinkan dia mengikuti kelas bahasa korea secara intensif), dia adalah gadis keturunan china. Wajah yang unik dan cantik. Saya bahkan sempat belajar bahasa china dengannya. Alasan dia mengikuti kelas bahasa korea : "Relasi."
Dan dia tertawa.

12. Yudith eonni : Saya hanya beberapa kali bertemu dengan dia, karena sibuk, ya pasti! Orang dewasa banyak sekali sibuk. Dan ini membuat saya tidak dapat mengetahui mengapa dia mengikuti kelas bahasa korea ini.

13. Malay Oppa (Oppa, kakak laki-laki dalam bahasa korea) : Dia adalah pria satu-satunya yang mengikuti kelas bahasa korea ini, haksaeng paling tampan diantara haksaeng wanita (jelas sekali!) sikapnya yang cuek dan santai membuat dia selalu ketinggalan pelajaran. Dialah orang yang selalu mengerutkan dahi saat pelajaran bahasa korea di mulai, dan dengan lucu dia pernah bertanya : "Harus ada bola-bolanya, ya? Kenapa bulat-bulat gitu sih hurufnya?"
Dan dia adalah satu-satunya haksaeng yang mendapat keringanan untuk tidak mengikuti listening, alasannya : "Nulisnya aja gue nggak ngerti, apalagi denger orang ngomong korea!"
jawabannya sukses membuat kami tertawa. Dan alasan dia mengikuti kelas bahasa korea ini :
"Gue mau nyusul abang gue kerja di sana!"
Dan dengan kemampuannya berbahasa korea hingga level pertama berakhir, kami ragu atas keinginannya itu.

Selesai. Banyak sekali bukan? Tapi mereka sangatlah berarti. Merekalah yang membuat hidup saya semakin mengasyikan untuk dijalani. Jika ditanya alasan saya mengikuti kelas bahasa korea tersebut, saya akan menjawab, tidak tahu. Yang saya tahu adalah saya menyukai kebudayaan dan bahasa negri ginseng itu, tapi selain itu saya tidak tahu. Mungkin dengan pertemuan saya dengan mereka, menjadikan hal itu salah satu alasan saya menyukai kelas bahasa korea ini dan di atas keunikan karakter diri mereka yang telah saya sebutkan di atas, saya sangat merindukan mereka.


by Dita Oktamaya

Thursday, March 26, 2009

Subhanallah.....







by Dita Oktamaya

Karena Aku Wanita

Bermain dengan segala senyum dan keharuan atas perilakumu

Tersiksa dengan rasa dalam hati yang memaksa untuk keluar

Bukan!

Bukan hanya aku yang takut untuk mengakuinya

Bukan hanya karena kehilangan sebagai faktor utama

Tapi karena satu kata yang tidak mungkin kukatakan karena aku wanita,

Cinta.

poem by Dita Oktamaya

Menyapa dalam Hati

Aku menyapamu dalam hati
Merangkai indahnya kisah dalam peti sanubari
Menawarkan sejuta hangat sang mentari kala itu terbit kembali
Mencari celah menuju titik diam menghilangkan mimpi yang tak pasti

Aku menyapamu dalam hati
Membendung egomu yang merajai diri
Merajuk bermain dengan rintihan sakit setiap hari
Belajar bertaruh sakit ini tak akan ada lagi

Aku menyapamu dalam hati
Sambil bermain dengan curahan tawamu bersenang hati
Membalut luka dari tikaman ucap dan laku yang menghempaskan asamu untuk berdiri

Aku menyapamu dalam hati
Katakan padaku apa yang dapat kulakukan selain ini?
Saat melihatmu bahagia dengan segala peluh yang membanjiri
Saat menyadari tak ada lagi sakit yang tersisa untuk kau nikmati

Aku hanya dapat berdiri di sini,
Menatapmu dari jauhnya jarak yang membatasi
Apa yang dapat kulakukan selain ini?

Aku selalu tersenyum di sini untuk semua hal yang kau jalani
Hanya untukmu, aku menyapa dalam hati...


poem by Dita Oktamaya

Monday, March 23, 2009

We Have Memories, See?

Untuk yang tersayang,
Ingat saat pertama kali kita bertemu? Dengan segala ketidaktahuan kami, kamu datang, memakai kemeja dan rok, kecantikanmu yang membuat para lelaki remaja itu tersenyum genit kepadamu.

Sudah ingat sekarang?

Coba tebak, khususnya aku, menyukai setiap hal yang kamu berikan. Persahabatan hangat, bimbingan kedewasaan, canda tawa, pelajaran hidup ataupun pengalaman berharga yang sudah cukup banyak kamu alami dalam perjalanan hidupmu yang panjang.

Sudah ingat sekarang?

Kami mengagumimu, bahkan jauh dari yang kamu bayangkan sebelumnya. Kamu dengan begitu apa adanya menghilangkan "ruang" dan "jarak" yang memungkinkan kami terpisah darimu, dengan kesederhanaanmu kamu memupuk rasa percaya dan takut kehilangan kami terhadapmu.


Ingat sekarang? Kami mulai menyayangimu...

Tahukah kamu?
Dengan begitu banyaknya hal yang terjadi menimbulkan keluhan akan apa yang kami lakukan, tentang rasa penat akan tuntutan pekerjaan yang kami lakukan. Belajar!

Dan kamu...

dengan leluasa membiarkan kami bercermin terhadapmu, kamu membiarkan kami melihatmu. Melihat betapa beraninya dirimu memecah gelap saat menuju istanamu untuk melepas lelah saat harimu telah berakhir, melihat betapa semangatnya dirimu ketika menyapa kami di sudut ruang sederhana yang pintu utamanya harus digeser berulang kali agar dapat terbuka lebar, melihat betapa sedihnya dirimu saat tahu kehadiran kami hanya dapat dihitung oleh jari. Kamu membiarkan kami bercermin terhadapmu. Bercermin tentang betapa semua yang kami lakukan begitu berarti tanpa harus dihiasi oleh rintihan penat setiap harinya.


Tahukah kamu? Kami makin menyayangimu...

Hingga tiba saat ini, pilihan dalam hidupmu memaksamu untuk berpisah dengan kami.

Bukan!

Bukan perpisahan yang menyakitkan, tapi perpisahan yang membuat kami tidak dapat melihat keberanianmu untuk memecah gelap saat menuju istanamu, perpisahan yang membuat kami tidak dapat melihat sorot mata ceriamu di sudut ruang sederhana itu, perpisahan yang membuat kami tidak dapat melihat kekecewaanmu atas ketidakhadiran kami.

Sedih? Pasti!

Jika kamu bertanya tentang seberapa besar kasih sayang kami terhadapmu, kami akan menjawab, kami tidak ingin kehilanganmu.

Tidak ada alasan.

Kami hanya menyayangimu dan kasih sayang ini adalah satu-satunya alasan mengapa kami membiarkanmu pergi, memilih pilihan hidup yang dapat membawamu mendapatkan lebih banyak lagi pengalaman hidup yang dapat kamu bagi kepada kami, nanti saat kita bertemu kembali.


Tahukah kamu? Semua kenangan yang mengundang canda tawa, kekaguman, dan kasih sayang ini adalah alasan utama aku menulis ini untukmu.

We have memories, see?

Dan saat sesuatu yang terlalu tiba-tiba, selalu ada hal yang tertinggal yang tak sempat aku ucapkan, terima kasih. Terima kasih untuk semua hal yang telah kamu berikan karena hanya itu yang membuat kami menyadari ada sosok luar biasa yang sangat kami sayangi, kamu.


NB : dedicated to my lovely young teacher, kak dini. Good luck untuk semuanya kak! Semoga ada banyak hal yang bisa kakak dapatkan di luar sana. Sayonara!







---pic : koleksi pribadi


by Dita Oktamaya

Friday, March 20, 2009

Thursday, March 19, 2009

Am I Thinker?


Hai, apa kabar? Masih dengan keunikan kalian setiap harinya? Senang bila mendengar itu masih berjalan dengan lancar... ;p

Coba tebak, belakangan ini saya sedang gencar-gencarnya belajar MATEMATIKA dan GEOGRAFI! Dua mata pelajaran itu adalah musuh besar saya di Ujian Nasional nanti, well, setidaknya untuk saat ini (Mohon maklum jika saya berbicara soal pelajaran karena sekarang saya duduk di tahun ke tiga sekolah menengah atas ;p).

Kalian tahu? Beberapa hari ini saya dilanda penyakit yang sangat saya benci (saya benci semua penyakit, tentu saja) sehingga saya tidak dapat beraktivitas dengan baik, terlalu, saya benci jika menjadi tidak berguna seperti ini.

Tahukah kalian?
Tadi siang di sekolah, seorang teman perempuan saya, Fazza (masih ingat tentang dia? ;p) memperlihatkan sebuah buku kepada saya, sedikit terkejut karena dia memperlihatkan saya buku berisi kumpulan soal-soal latihan matematika untuk menghadapi UAN nanti, Astaga!
Saya pikir itu hanya gurauannya semata atau hanya sekedar ingin menggoda saya karena nilai ujicoba ujian matematika saya sangat jauh dari prediksi awal? Saya juga tidak tahu...

Dia meletakkan buku itu di atas meja saya dan berkata seolah saya adalah guru yang pantas untuk mengerjakan soal-soal itu :

"Ayo, Dit!"

Saya berpikir sebentar untuk merealisasikan arti dari perkataannya barusan

"Ayo dong!"

Saya menatapnya yang sedang asik mengerjakan soal matematika pada buku itu

"Kerjainlah!"

Saya hampir pingsan mendengarnya,
Hello! Haruskah saya mengacak-acak rambutnya untuk membuatnya mengerti seberapa pusingnya saya menatap angka-angka itu? Sudahlah...

Tak lepas dari itu semua, dia membuka lembar demi lembar buku-buku kumpulan soalnya dan berkata dengan nada sok tahu :

"Nih, Dit. Bacaan ini pasti cocok banget buat lo!"

Saya terdiam, kali ini bukan mencoba untuk merealisasikannya, tapi untuk mengerti mengapa tiba-tiba dia berkata demikian.


Keberanian adalah kesadaran bahwa kau tidak bisa menang dan mencoba ketika tahu kau bisa kalah.


kata-kata sederhana itu menggelitik pikiran saya, saya terdiam. Cukup lama. Dia menatap saya, kemudian tertawa :

"Cocok kan buat lo?"

Cocok? Saya terdiam, entahlah...

"Iya, itu cocok untuk tipe orang pemikir, kayak lo!"

Saya tertawa, belum sempat saya berkata-kata, dia meraih buku yang daritadi berada di atas meja saya :

"Nanti kalo gue curhat, lo pasti mengeluarkan kata-kata itu, ya kan?"

Tawa saya makin kencang mendengar pernyataan sok tahu darinya, ingin rasanya saya mengacak-acak rambutnya, tapi kali ini bukan untuk membuat dia mengerti kepusingan saya terhadap matematika, tapi karena pernyataannya menyadarkan saya tentang siapa diri saya di matanya dan teman-teman saya dalam arti yang sebenarnya.

Bagi semua orang yang senantiasa percaya pada saya untuk berdiskusi ataupun sekedar bertukar pikiran tentang mozaik kehidupan yang tidak dapat ditebak alur ceritanya, terima kasih. Satu hal yang dapat saya katakan (lagi, ini menurut buku yang diperlihatkan teman kepada saya) :

"Jika kalian tidak mau mengambil risiko kehilangan sesuatu yang kalian inginkan, berarti kalian tidak terlalu menginginkannya."

Good luck everyone!
Stay Unique and keep health!



--- pic : http://ananta.files.wordpress.com/2007/08/thinker.thumbnail.gif


by Dita Oktamaya

Monday, March 16, 2009

My 1st Award

Neno's Award



The aims of this award:

• As a dedication for those who love blogging activity and love to encourage friendships through blogging.
• To seek the reasons why we all love blogging!

Wednesday, March 11, 2009

Pacarku... Double!?

“Anti!” teriak Danu tepat di wajahku. Aku terhenyak, lalu memukulnya pelan.


“Sialan lo! Kaget tau!” seruku. Danu duduk di sebelahku sambil membenahi rambut jabriknya.


“Kenapa sih lo?” ujar Danu yang memandangku dengan tatapan sok imut. Aku diam. “Lo nggak tau, apa nggak mau kasih tau?” lanjutnya. Aku tetap diam. Danu terlihat pucat.


“Lo kenapa, Nu?” Aku bertanya khawatir. Sekarang gantian Danu yang diam. “Lo nggak tau, apa nggak mau kasih tau?” godaku, dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaannya. Danu nyengir kuda.


“Gue laper, Ti.” jawab Danu akhirnya. Aku menggelengkan kepala.


"Dasar lo! Ya udah pesen makanan aja, banyak pilihan di sini.” jawabku sambil mempromosikan café keluargaku. Danu beranjak dari tempat duduk, terlihat dia sedang memilah - milih makanan yang pantas dimakannya hari ini.


“Yang ini, Ti?” Danu berteriak padaku sambil menunjukkan sebuah cheese cake. Aku tersenyum sambil mengangkat jempol tanganku. “Ya pastinya lo bilang enaklah, orang ini café lo.” Danu kembali duduk di sebelahku sambil menikmati cheese cakenya.


“Pelan - pelan makannya, kalo pelanggan dateng langsung lo lahap semuanya, biar mereka nggak curiga makanannya terkena racun karena lo.” godaku lagi. Danu hanya nyengir kuda dengan makanan yang memenuhi mulutnya.


* * *


Panas matahari siang menyengat kulitku, Aku duduk di bawah pohon rindang belakang kampusku untuk menghidari sengatan matahari itu. Dari kejauhan ku lihat Danu datang menghampiriku dengan senyum yang sumringah.


“Baru dapet makanan gratisan, Nu?” tanyaku asal. Danu tetap tersenyum.


“Bukan.” jawabnya singkat. Aku mengerutkan dahi.


“Terus?”


“Ya nggak ada terus, pokonya hari ini gue lagi seneng aja.” jawabnya lagi. Aku meletakkan telapak tanganku di dahinya.


“Nu, lo nggak…”


“Ya nggak lah!” potong Danu langsung menepis tanganku. Aku tertawa.


“Maaf sayang aku telat.” Ryan tiba - tiba berada di antara kami berdua.


“Nggak apa - apa kok.” ujarku sambil menggandeng manja lengan Ryan, “Lagi pula Danu dari tadi nemenin, gue pergi dulu ya, Nu.” lanjutku, sambil beranjak pergi bersama Ryan.


* * *


Aku menyelesaikan catatanku dengan cepat, dengan cepat pula Danu datang menghampiriku dengan sorot mata yang tak seperti biasanya.


“Nu, lo kenapa lagi sekarang?” tanyaku, khawatir. Danu menatapku, angkuh.


“Gue nggak suka lo tadi ninggalin gue gitu aja, lo anggep gue apa sih?” tanya Danu geram.


“Lo marah?” tanyaku.


“Marah?!” mata Danu terbelalak, “Masih nanya gue marah atau nggak?!” Danu membanting buku dan duduk dua baris di seberangku. Aku menghampirinya.


“Nunu sayang, maaf ya… tadi gue nggak bermaksud ninggalin lo, tapi lo kan tau sendiri, gue sama Ryan udah jarang ketemu, tadi itu moment - moment yang udah gue tunggu - tunggu dari kemaren - kemaren.”


“Iya! tapi tadi gue dibuang gitu aja!”


“Lho gue bener - bener nggak bermaksud begitu… aha! gue tau… lo pasti cemburu kan sama gue?” Danu terlihat tersentak saat Aku menanyakan hal itu padanya, ku kira… Aku langsung menepisnya. Sahabat saling suka? Bukankah rasanya akan aneh?


“Gue nggak cemburu!” seru Danu. Aku segera memeluknya.


“Maaf, nggak lagi - lagi deh… lain kali, you one. Ok?” rayuku. Danu akhirnya tersenyum membalas pelukkanku seperti anak kecil.


* * *



Aku berpikir keras. Apa mungkin Danu menyukaiku? Lalu bagaimana dengan Ryan? Apa Aku mencintai Ryan? ataukah Danu? Aku memutar otakku, pusing banget!


“Kamu lagi apa sih, sayang?” tiba - tiba Ryan memelukku dari belakang. Aku terkejut.


“Lho, kok kamu ada di sini?” tanyaku, salah tingkah. Ryan menatapku bingung.


“Kamu kok pucat? Mau aku beliin obat?” tanyanya tanpa peduli dengan pertanyaanku. Aku menggeleng.


“Kamu kok ada di sini?” Aku mengulang pertanyaanku. Ryan mengangkat satu alisnya.


“Keluarga kamu buka café untuk umum kan?” tanyanya. Aku baru sadar bahwa ternyata kami berdua berada di café keluargaku.


“Aku lupa.” jawabku. Ryan tersenyum.


“Kamu kurang istirahat tuh, makanya jangan capek - capek.” Ryan memberiku nasehat. Aku mengangguk.


“Tapi aku ada tugas, dikumpulinnya minggu depan, boleh aku ngerjain sekarang?” tanyaku manja. Ryan menggeleng.


“Istirahat dulu lah, babe… kamu tuh udah bener - bener capek. Nanti aku bantuin bikin tugasnya deh, kalo perlu aku yang kerjain.” ujarnya. Aku tersenyum. “Kamu kalo lagi senyum manis deh.” tiba - tiba Ryan mencium keningku, Aku terhenyak, ini memang bukan kali pertama Ryan menciumku. Setiap kali Ryan menciumku pasti ada sesuatu yang membuatku senang, Tapi… kenapa getaran itu sekarang hilang?


* * *



“Ti, tebak sekarang gue lagi bawa apa?” Danu bertanya dengan ceria, sambil menyembunyikan tangannya di belakang. Hari ini dia cukup… keren! Ups!


“Apa?” tanyaku penasaran.


“Tebak dulu dong!” suruhnya. Aku pura - pura berpikir.


“Gue nyerah.” jawabku. Danu tertawa.


“Lo kan belom nebak tau! nih…” Danu menunjukkan blackforest kecil dengan lilin di atasnya bertuliskan 19 kepadaku.


“Buat siapa?” tanyaku, heran.


“Ya buat siapa lagi? Buat lo lah.” ujarnya, “Selamat hari burung!” serunya. Aku tertegun.


“Gila ya, gue lupa ultah gue sendiri.” ujarku. Danu memelukku.


“Ya wajarlah. Lo kan emang suka gitu.” Getaran ini… saat Danu memelukku, sama seperti pertama kali Ryan menciumku! Apa ini berarti…


Happy birthday, honey!” ujar Ryan yang selalu datang tiba - tiba di antara kami berdua.


“Ryan?” Aku bertanya heran, entah kenapa Aku merasa kesal dengan kehadiran Ryan pada saat Aku sedang berdua dengan Danu. Ryan memelukku, pelukkannya masih hangat terasa. Tak sengaja tatapanku tertubruk pada Danu. Danu sedang menatap Aku dan Ryan dengan tatapan dingin yang penuh keangkuhan seperti saat dia marah padaku saat itu. Asyik dia cemburu!


“Aku mau traktir kamu sama Danu bareng - bareng, mau ya?” tanyaku sembari melepaskan pelukkannya. Ryan mengangkat satu alisnya.


“I have something to do. I’m so sorry, honey.” ujarnya seperti biasanya. Tapi entah kenapa Aku amat senang mendengarnya.


“Jadi, cuma aku sama Danu aja? Nggak apa -apa?” tanyaku pura - pura khawatir.


“Lho, bukan biasanya kayak gitu, kenapa harus apa - apa?” Ryan balik bertanya. Aku tersenyum. Ryan mencium pipiku, Aku langsung melepasnya. Aku takut Danu cemburu.


“Aku nggak enak sama Danu.” ujarku. Ryan tersenyum.


I know. Aku pergi dulu ya sayang.” Ryan berlalu dari hadapan Aku dan Danu.


So… Lo mau traktir gue apa?” tanya Danu ketika Ryan menghilang dari kejauhan.


“Yang jelas, gue nggak mau nraktir lo di café gue. Rugi.” jawabku. Danu tertawa sambil mengacak - acak rambutku.


“Yup! kita pergi sekarang?” tanya Danu.


“Gue ganti baju dulu yah.” ujarku. Danu mengangguk.


Don’t be late!” serunya.


“Awas lo, jangan maling di rumah gue!” seruku sambil beranjak menuju kamar.

* * *


Suasananya romantis juga, sayang ini masih agak kesorean, kalau malam hari pasti banyak lilin - lilin dinyalain.


Hello! gue nggak lagi jalan sama patung kan? Lo kenapa sih dari tadi diem aja?” Danu memecah kesunyian.


“Tempatnya bagus, Nu.” jawabku. Danu berhenti berjalan dan menggenggam tubuhku. Aduh Danu mau ngapain ya? jangan - jangan dia mau nembak gue! Aduh… gue harus jawab apa nih? Hatiku terus bertanya - tanya


“Ti, lo nggak apa - apa kan, Ti? Lo nggak inget ya? Kita kan sering ke sini, terakhir kali kita ke sini juga baru seminggu yang lalu.” ujar Danu. Fuh… ku kira dia ingin ngomong apa.


“Oh… Ya ampun! gue lupa Nu!” seruku mencoba menutupi kebodohanku.


“Yaelah, masa tempat bagus gini juga lo lupain sih.” seru Danu. Aku tertawa.


Aku dan Danu melewati hari dengan indah. Entah apa yang di rasakan Danu, tapi saat ini Aku merasa amat bahagia. Kami duduk di antara obor - obor tua, ada satu obor yang membuatku bingung, kenapa masih sore begini, obor itu sudah menyala ya? tetapi kemudian Aku berteriak, obor itu meledak hampir mengenai Danu, Aku langsung menghalangi api itu dengan tangan kananku, Danu terlihat panik ketika menemukanku dengan keadaan telapak tangan terbakar. Aku menjerit kesakitan.


“Nu sakit banget Nu!” ku lihat Danu kebingungan, dan terdengar jelas orang - orang di sekitarku berteriak histeris, Aku tidak ingat lagi, tubuhku lemas, dan…

* * *


Are you ok?” tanya Danu. Aku merasa kepala dan telapak tangan kananku sangatlah sakit.


“Gue di mana, Nu?” tanyaku.


“Di rumah sakit, tadi lo pingsan, mungkin karena kesakitan, sakit banget ya?” tanya Danu. Aku mengangguk.


“Ya lumayanlah, Nu.” jawabku. Danu mengangguk.


“Makasih ya, Ti. Udah nolongin gue.” ujar Danu. Aku tersenyum. That’s what girlfriend are for, ups… that’s what friends are for! hehehehehe…


“Kamu nggak apa - apa?” Ryan seketika itu datang langsung memelukku.


“Nggak apa - apa.” jawabku.


“Tadi aku udah telfon mama sama papa kamu.” ujar Ryan. Aku terkejut.


“Mereka bisa panik! Kamu tuh kalo nelfon orang yang kira - kira dong, mereka tuh ada di Aussie, kerjaan mereka belom tentu juga udah selesai, aku nggak mau tau pokoknya kamu harus nenangin mereka.” ujarku, kesal. Ryan mengangguk.


“Iya, iya. Yang penting kan kamu sekarang nggak apa - apa, tadi waktu aku tanya dokter, aku telfon mereka lagi.” Ryan mencoba menenangkanku. Aku manyun, “Jangan merengut gitu dong sayang, maaf ya.” lanjutnya.


“Aku mau tidur.” jawabku. Ryan mengangguk. Aku langsung memejamkan mata, pura - pura tidur.


“Ya udah gue pulang dulu ya.” ujar Danu.


“Tunggu Nu, ada yang mau gue omongin.” ujar Ryan. Aku terkejut, aduh… apa mereka akan bertengkar gara - gara Aku?


Mereka berdua keluar dari kamarku dan berdiri di ruang tunggu yang suasananya sudah sepi itu. Diam - diam Aku mengintip mereka, suara mereka tidak terdengar! Aku pun membuka pintu supaya ada sedikit celah sehingga Aku bisa mendengar percakapan mereka berdua.


“Aku khawatir banget sama kamu. Kamu nggak apa - apa kan?” Aku mendengar Ryan membuka pembicaraan.


“Aku nggak apa - apa, untung ada Anti.” jawab Danu. Wait a Minute, kok mereka ngomongnya pake aku - kamu?!


“Aku nggak tau apa yang terjadi sama aku kalo kamu sampe celaka.” ujar Ryan sambil membelai bahu Danu. Wait, wait! mereka tuh nggak lagi berantem gara - gara Aku ya?


“Yang penting kan sekarang kamu bisa liat aku di sini.” Danu berbicara sambil tersenyum, senyum itu di balas dengan Ryan. Mereka berpelukkan! Oh God! Aku benar - benar nggak ngerti, bukankah mereka seharusnya bertengkar karena mengkhawatirkan keselamatanku?


“Aku seneng bisa kayak gini sama kamu.” ku lihat Ryan mencium pipi Danu dengan mesra. Wait, wait, wait! Aku tuh nggak mimpi kan? Mereka berdua kan… cowok! KOK?!?! Aku merasakan mataku membesar, membesar dan membesar saat menyaksikan adegan aneh itu. Jadi selama ini… kecemburuan Danu, sorot keangkuhan dari mata Danu, semuanya... ditujukan karena Ryan, bukan karena Aku!


GUBRRAAKK!! Aku terjatuh karena tersandung keset kamar rawat milik rumah sakit.


“ANTI!” seru Ryan sambil melepaskan pelukkannya dari Danu. Ketahuan deh!


“Aku nggak bisa tidur.” ujarku, mengelak, takut dicap tukang nguping. Ryan terlihat salah tingkah begitu pula Danu. Udah nggak usah ditutup - tutupin, gue udah tau semuanya! seruku dalam hati.


“Kamu sejak kapan di situ?” tanya Ryan. Aku pura - pura santai.


“Udah lumayan lama sih.” jawabku. Ryan dan Danu terlihat pucat.


“Ti, Lo nggak… maksud gue, lo…” Danu berbicara dengan gugupnya. Aku tersenyum.


“Lo ngomong yang jelas kenapa sih, Nu.” ujarku. Mereka berdua terdiam. “Fine, mungkin aku emang harus jujur. Yan, tadi aku liat semuanya. Aku nggak nyangka ternyata kamu sama Danu…” Aku menghela napas dengan berat, ternyata masih ada rasa sakit di hatiku, ku kira kejenuhanku pada Ryan menjadikan alasan kenapa Aku tidak menangis melihat ini, tapi kasih sayang dan perhatian Ryan, membuat hatiku merasa tidak rela, “Aku nggak percaya kalo ternyata kamu ‘double’, Yan. Lo juga, Nu… gue kira, lo cemburu karena suka sama gue, ternyata…” Aku tersenyum.


“Ti, Aku…” Ryan mencoba menjelaskan. Aku menggeleng.


“Yan, Aku sayang sama kamu, sama Danu juga. Tapi, Yan… Aku nggak bisa terus.” ujarku, tegas. Ryan mengangguk tanda mengerti.


“Maafin gue ya, Ti. Lo… masih mau jadi sahabat gue kan?” tanya Danu. Aku mengangguk.


Why Not?” ujarku sambil tersenyum. Di balas dengan senyuman Danu dan Ryan.


Ada kelegaan di antara rasa sakit ini ketika ku lihat mereka berdua menatapku sambil tersenyum. Rasa sakit dan ketidakrelaanku memang hanya Tuhan yang tahu kapan rasa ini akan berakhir. Aku tidak tahu apa - apa, yang Aku tahu, Aku masih dapat menerima mereka menjadi ‘seseorang’ dalam hidupku.



Story By Dita Oktamaya

Friday, March 6, 2009

Sebening Cermin di Kamar Kos-mu

Aku menatap sosok tubuh mungil di foto berbingkai itu pada dinding kamar tidurku. Ia tersenyum, hingga beranjak dewasa sekarang ini pun, sosok itu masih suka untuk dipotret atau hanya sekedar mematut diri di depan cermin.


Hubungan kami memang sangat dekat, saat ini pun sanak saudara selalu mengerutkan dahinya bila menyadari kedekatan kami yang tidak dapat ditebak sebelumnya. Aku dan dia adalah dua gadis bersaudara, Dulu kami adalah dua individu yang berbeda yang sengaja disamakan karena mama menginginkan anak kembar meskipun jarak umur kami berbeda tiga tahun.


Kebiasaan mama menyamakan kebutuhan kami, mulai sepatu, baju dan aksesoris anak perempuan lainnya membuat kami iri satu sama lain jika salah satu dari kami dibelikan sesuatu yang lebih bagus atau berbeda. Tak jarang kami pun memaki dan menjambak satu sama lain, menangis iri layaknya anak kecil. Biasanya aku lah yang selalu menjadi pemenang, karena tubuhku lebih besar dan kuat mekipun aku lebih muda darinya, tetapi aku juga lah yang lebih sering menangis karena ulahnya yang sangat suka menjahiliku. Seiring berjalannya waktu, kami pun menyadari bahwa kami adalah individu yang memang benar-benar berbeda. Kini aku menemukan apa yang menjadi kesukaanku, begitu pun dirinya.


Dan kini kecerdasannya pun membawanya untuk menuntut ilmu lebih banyak lagi di universitas negeri terkemuka di Indonesia, Universitas Indonesia. Dengan staminanya yang kurang kuat, jarak antara Depok dan Jakarta pun dihilangkannya, ia pun memutuskan untuk tinggal terpisah dari rumah dan tinggal di salah satu rumah kos dekat kampus kesayangannya.


Setiap akhir pekan ia kembali ke rumah. Meskipun begitu, di hari-hari sebelumnya tanpa kehadirannya di rumah terasa hampa bagiku. Pertengkaran kami saat masih kecil dulu berubah seiring beranjak dewasanya kami berdua, tatapan iri untuk dapat memiliki sesuatu yang lebih bagus, mengubah kami untuk saling memberi yang terbaik satu sama lain. Makian dan jambakan yang sering kami lakukan dulu, kini pun berubah menjadi kecupan dan pelukan kasih sayang penyalur kerinduan selama beberapa hari tak bertemu. Semua hal yang terjadi di antara persaudaraan yang sederhana ini merupakan kedekatan yang berarti bagiku.


Terpisah darinya membuatku lebih sering terdiam di kamar, mengerjakan tugas sekolah atau sekedar menghabiskan waktu mendengarkan musik dan menenggelamkan diri dalam bacaan yang mengantarkanku ke dalam fantasi khayal yang menyenangkan.


Rindu itu menyakitkan?


Begitulah, sering aku menatap foto berbingkai itu, sosok kecil yang dulu dengan giat memaki, manjambak rambutku dan menjahiliku hingga menangis tersedu-sedu, kini berada ribuan mill jauhnya dariku, meskipun hanya untuk beberapa saat. Mungkin inilah proses pendewasaanku, seperti katanya dulu, menjadi mandiri tanpa bergantung pada orang lain dan kini aku mengerti maksudnya.


Tapi tetap saja, ketidakhadirannya membuatku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat amarah menyelimuti diri ini ketika mendapat perlakuan yang tidak adil dari teman-temanku, aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan saat menyadari kebodohan apa yang membuatku hingga tidak mengerti pekerjaan rumahku, aku merindukannya bahkan hanya untuk sedikit mendapat cubitan sayang darinya.


Kerinduanku padanya membuatku selalu mencari tahu apa yang sering dilakukannya di sana, sendiri di kamar kosan. Kadang aku iri dengan cermin yang sering digunakannya untuk mematut diri. Cermin itu dapat menatapnya atau bahkan menertawakannya saat ia tidak cocok mengenakan busana yang akan dipakainya untuk kuliah, cermin yang senantiasa menyaksikannya menangis saat tak kuat dengan mata kuliah yang tidak dikuasainya, cermin yang setia tanpa ragu meskipun hanya sekedar menerima senyumannya saat ia melalui hari yang menyenangkan. Aku ingin menjadi sebening cermin di kamar kos-mu, sedia menerima seperti apapun ekspresi dari raut wajahmu, apa adanya dirimu.




---------------

dedicated to my beloved elder sister, success for you, dear!



story by Dita Oktamaya

Tuesday, March 3, 2009

Balada Peraih Mimpi

Hujan menghampiri kita di sini,
canda tawa menghiasi riak bahagia dalam lembaran lelah buku wajah kita

Pulang, hendak kaki melangkah
menerobos basah hempaan tetes yang turun
menyeringai di balik awan mendung, kembali tertawa

Apa yang kita cari? Hanya Mimpi?
Dalam khidmat yang terpekur dalam doa
Berenang hingga ke tepi, bernapas dalam air, ironi

Belum jua mimpi ini tercapai,
dengan asas asa yang tak boleh terputus
Berada di balik tulisan biru pada dinding keras papan putih, awal perjalanan

Apa yang kita temukan?
beribu pasang wajah dan sejuta ilmu,
pandangan mata dan rintihan penat yang setia membelai lembut pikiran kita, bosan

Ini sungguh berarti, perlahan namun pasti
langkah ini pulih dengan ucapan suci,
meraih dan menggenggam, berlari untuk menjadi bagiannya, mimpi


poem by Dita Oktamaya